Laura terbangun dengan kapala yang masih terasa pusing. Ia Bahkan butuh memejamkan matanya sejenak dan memijit kening sebelum benar-benar membuka matanya. Sinar matahari sore yang hangat menerpa wajahnya. Membuatnya merasa nyaman dan lebih baik. Perlahan ia mencoba bangun dengan menyanggakan tubuhnya pada kedua tangan, ketika ia melihat sosok Dylan yang tertidur di sisi tubuhnya sambil terduduk. Laura tersentak. Membuat tubuhnya otomatis bergerak mundur. Kenapa laki-laki itu bisa di kamarnya? Apakah tanpa sadar ia telah menghubungi Dylan? Laura tak berhenti berpikir, mencoba menginat-ingat apa yang sudah terjadi selama ia tak sadarkan diri. Namun sayangnya ia tak mengingat apa pun. Di tengah kebingungannya, Dylan yang nyaris terjatuh dari tempat tdiur seketika membuka mata karena terkejut. Namun, ia jauh labih terkejut ketika melihat Laura sudah banung dan sedang menatapnya.
“Hei, Lau. Gimana perasaan kamu?” tanya Dylan, seketika duduk di atas kasur dan membelai w
Dylan melajukan mobilnya dengan tenang menuju kantor Laura. Di samping tubuhnya, gadis itu duduk terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya, ia sudah mearang Laura untuk bekerja hari ini. Kondisi gadis itu masih terlalu lemah ketika terakhir kali Dylan meninggalkannya. Sayangnya, ia tak bisa terus memaksa Laura untuk tak masuk ke kantor. Ia tahu bagaimana pekerjaan akan menunggunya jika ditinggalkan semakin lama. Namun, ia kembali merasa berat hati ketika melihat Laura yang jelas tak dapat menutupi pucat wajahnya saat Dylan datang.“Mikirin apa sih?” tanya Dylan mencairkan suasana yang terasa begitu kaku. Laura yang sedang menatap ke luar jendela, spontan menoleh menatap Dylan. Ia menyunggingkan seulas senyum kemudian menggelengkan kepala. Namun Dylan tahu, terlihat jelas ada banyak pikiran yang sedang menghantui perempuan itu. Diulurkannya sebelah tangan, mengelus puncak kepala Laura.“Aku gak pernah mau membebani kamu dengan hubungan
Raynald mencoba mengejar langkah laura yang entah mengapa terasa begitu cepat dari biasanya. Persetan dengan egonya. Ia tahu ini sangat menyakitkan dan tak adil bagi Laura. Dan mungkin bagi Dylan juga. Mereka melakukan kesalahan dengan jatuh cinta di situasi yang tidak tepat. Namun tetap saja, apa pun yang dilakukan dengan hati, sudah pasti akan terasa sulit untuk mengakhirinya. Raynald berusaha menggapai pintu lift yang dinaiki Laura, sayangnya ia kalah cepat. Pintu lift menutup sempurna tepat saat ia baru tiba di depannya. Raynald merutuk. Ia mencoba beralih ke lift yang satu lagi. menunggu dengan tidak sabaran hingga pintu itu terbuka. Ia melesat menuju loby. Di dalam lift, Raynald tak berhenti berdoa agar Tuhan menyulitkan jalan Laura keluar dari rumah sakit, sehingga ia bisa dengan mudah menggapai perempuan itu. Kalau ditanya bagaimana perasaannya terhadap Laura saat ini, tentu saja ia masih sangat kecewa pada kekasihnya itu. Namun saat ini yang lebih penting adalah perasaan da
“Saya gak tahu apakah hubungan saya dengan Alexa bisa kembali seperti semula.”Raynald terdiam mendengar kalimat pertama yang terlontar dari mulut Dylan. Ia tak terlalu terkejut, mengingat bagaimana kedekatan laki-laki itu dengan kekasihnya. Sudah pasti, perasaannya terhadap Alexa tak seutuh dulu ketika hatinya sudah terbagi untuk perempuan lain.Saat masih di rumah Laura tadi, Raynald mendapat telepon dari Dylan. Mereka berjanji temu di taman belakang rumah sakit. Ketika ia datang, Dylan sudah duduk di salah satu kursi taman di bawah sebuah pohon besar. Kepalanya menunduk dalam. Wajahnya tampak frustasi. Raynald tahu, Laura dan Dylan masih belum siap atas semua keadaan ini. Keduanya seperti tak menantikan kedatangan hari ini. Dylan mengalihkan pandangannya dari hamparan rumput di bawah kakinya, ke wajah Raynald yang sejak tadi menatapnya dengan kening berkerut.“Sebelum kecelakaan terjadi, hubungan saya dengan Alexa sedang retak. Dia … mengembalikan cincin pertunangannya pada saya.”
Tiga hari berlalu setelah kabar mengejutkan yang diterima Laura. Kini ia merasa sudah cukup waktu untuk sendiri dan memikirkan semuanya. Ia tak boleh egois dan berlarut terlalu lama. masih ada Raynald yang harus ia temui untuk menyelesaikan hubungan mereka. Masih ada Dylan yang harus ia tanya perihal hubungan mereka selanjutnya akan seperti apa. Tentu saja, laura putus asa dengan hubungannya dan Dylan. Pun dengan Raynald. Namun tak dapat dipungkiri, ia masih menaruh harap atas hubungannya bersama Dylan. Meski belum sanggup untuk memilih, tapi Laura berharap ada kabar baik yang bisa didengarnya. Pagi itu, Laura mengambil ponselnya di nakas dan mengaktifkannya setelah dua hari dibiarkannya dalam kondisi mati. Seketika notifikasi tak henti berdatangan. Sahut menyahut tak sabaran. Namun, Laura sedikit kecewa karena di antara notifikasi yang masuk, tak ada satu pun pesan, atau panggilan dari Dylan. tak ada satu pun di antara 32 pesan dan 17 panggilan. Laura membuka notifikasi satu persat
Kesepakatan yang dibuat Raynald dengan laura tanpa pikir panjang, sesungguhnya membuatnya merasa nyeri di dalam hati. Berulang kali, sepanjang perjalanan, Raynald mengusap wajahnya yang terasa kaku. Ia baru memikirkan semuanya setelah meninggalkan cafe tempatnya bertemu dengan Laura. Membantunya bertemu dengan laki-laki itu? Raynald mendengus dan merutuk. Apa ia sudah benar-benar siap mendengar jawaban Laura? Sejujurnya belum. Namun, bukankah semua memang harus segera diakhiri? Terlalu lama menunggu ketidakpastian hanya akan menambah sakit semuanya. Kalau memang ia yang harus pergi, meski belum siap, tapi Raynald merasa harus menghadapinya.Ia menepikan mobilnya di depan sebuah rumah. Rumah yang dulu sering dikunjunginya ketika sedang penat atau tak ada tujuan seperti sekarang. Ia menatap rumah itu dan mengembuskan nafas yang terasa berat. Dengan berat hati Raynald membuka pintu mobilnya dan berjalan mendekati pintu bercat putih. Ia masih belum bisa mengontrol kesedihan
Dylan merenungi semuanya di dalam ruang gelap sendirian. Segala hal berputar di atas kepalanya. Berbagai macam pertanyaan tak henti menjejal di sana. Pertanyaan-pertanyaan tentang Laura. Bagaimana kabar perempuan itu? Apa yang sedang dikerjakannya saat ini? Sudahkah ia makan? Sehatkah dirinya? Lalu …. apakah hubungannya dengan Raynald baik-baik saja? Ia sadar, dirinya terlalu pengecut untuk menghadapi semua. Ia hanya terlalu tak ingin menyakiti siapa pun. Menyakiti Laura dan Alexa. Namun ternyata menyepi membuatnya semakin jatuh ke jurang paling dalam. Ia merindukan Laura. Iya, sepertinya perasaannya terhadap Alexa sudah benar-benar habis tak bersisa. Semua sudah dibawa pergi oleh Laura sejak pertemuan-pertemuan mereka yang pernah tercipta. Dylan tak pernah menyesali semuanya. Ia justru menikmati kebersamaannya bersama Laura. Hanya saja, ia tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Alexa tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi tanpa menyakiti perasaan perempuan itu. Ia memang
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Angel menginjakkan kakinya kembali di rumah Alexa. Dulu pernah beberapa kali ia datang ke sini. Bertemu dengan ibu Alexa dan mengobrol dengannya. Tentu saja semua dilakukannya untuk Raynald. Laki-laki itu pernah meminta Angel menjemputnya di rumah Alexa. Suatu kali pernah juga Raynald memintanya mengantarkan sesuatu ke rumah Alexa karena ia akan menuju ke suatu tempat yang melewati rumah perempuan itu. Pertemuan-pertemuan mereka menciptakan kedekatan yang tak pernah terprediksi sebelumnya. Angel pernah mengagumi bagaimana perempuan itu berdiri di atas kakinya sendiri. Mengagumi bagaimana ibu Alexa yang seorang single parent mampu membesarkan anaknya dengan sangat baik.Pernah ibu Alexa bercerita padanya tentang kehidupan pribadi mereka. Hari itu Angel mendapat undangan ulang tahun ibu Alexa. Tak banyak tamu yang datang. Undangannya memang tertutup hanya untuk orang terdekat saja. Hari sudah mulai larut ketika Angel menunggu ked
Laura tenggelam dalam sofa yang didudukinya. Sudah hampir satu jam ia duduk seperti itu sambil menyumpal headset di telinganya. Melantunkan lagu-lagu lawas dari miliknya Rossa, Terre dan Shanty. Apa yang didengarnya seolah mewakili apa yang dirasanya. Kerinduannya terhadap Dylan sungguh tak terbendung lagi oleh dadanya. Segala yang pernah mereka lakukan dulu seakan berputar-putar di atas kepala Laura. Kebersamaan yang tercipta, makan malam-makan malam yang pernah ada, perbincangan-perbincangan tentang kesakitan. Laura tak menyangka semua akan berakhir seperti ini. Ia sangat menyukai kebersamaan mereka. Masih lekat diingatan Laura bagaimana pertemuan pertamanya dengan Dylan. Senyuman pertama Dylan untuknya. Kekhawatiran laki-laki itu terhadapnya. Bunga pertama yang diberikannya. Terlebih masih jelas rasanya ketika Dylan menggenggam tangannya. Merangkul tubuhnya. Sentuhan-sentuhan laki-laki itu seakan masih tinggal dan tak mau pergi bersama raganya.Di mana Dylan?