Anggita menghela napas panjang. Dia menatap sendu wajah pucat Devan yang baru saja tertidur.
Pria itu memaksanya berjanji untuk tidak meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Devan juga mengancam tidak mau melakukan pengobatan jika ia tidak datang mengunjunginya setiap hari.Tangan Anggita terulur mengusap wajah pucat itu dengan sangat lembut dan hati-hati.Sebuah bayangan kenangan masa lalu berputar bagaikan kaset film yang terpampang jelas di dalam benaknya.Anggita menangis dalam diam menyesali semua yang telah terjadi kepadanya. Anda ia tahu Devan masih hidup, tak mungkin ia akan memberikan hatinya kepada pria lain."Maafkan aku, Mas Devan. Maaf!" lirih Anggita menyesal.Dia tidak bisa mengatur perasaannya agar kembali seperti semula. Kembali ke masa di mana hatinya dan cintanya hanya untuk Devan seorang.Anggita segera mengusap jejak air mata di wajahnya. Hari sudah sore, dia harus segerMahesa memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah berukuran sedang. Ia turun dari mobil dan berjalan memutar untuk membukakan pintu penumpang.Seorang wanita paruh baya bergegas turun dari dalam mobil Mahesa. Senyum di bibir tua itu mengembang tetapi pendar matanya sendu.Laras yang sudah bersemangat karena akan segera menemukan putranya, Tiba-tiba harus menelan kekecewaan saat temannya mengabari bahwa orang yang mengaku putranya itu seorang penipu yang sedang memanfaatkan keadaan Laras."Terima kasih, Nak Mahesa sudah mengantarkan Ibu pulang," ucap Laras.Mahesa tersenyum ramah. Ia pun sama hal nya dengan Laras. Sedang menyembunyikan kekecewaannya karena tidak jadi bertemu dengan orang yang mengaku mengenal ibunya. Bahkan orang itu tak menjawab panggilan Mahesa hingga sekarang."Sama-sama," sahut Mahesa. "Kalau begitu, aku pamit untuk langsung pulang," sambungnya lagi berpamitan."Apa kamu tidak mau mampi
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan toko roti. Pemiliknya tidak langsung ke luar dari mobil itu. Ia lebih memilih untuk diam dan bersandar di kursi kemudi.Mencoba menenangkan hati dan pikiran yang bercabang ke mana-mana. Pria tampan itu menghela napas berkali-kali sambil memejamkan matanya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut sakit akibat terlalu banyak beban yang sedang ia pikirkan.Suara ketukan dari luar menyadarkan pria itu dari lamunannya. Perlahan dia membuka matanya dan melihat ke arah jendela mobil."Anggita?" gumamnya saat melihat sosok wanita yang dikenalnya sedang berdiri di samping mobilnya.Mahesa melepaskan sabuk pengaman, kemudian turun dari mobilnya."Sedang apa kamu berlama-lama di dalam mobil?" tanya Anggita menyelidik."Aku ... Ah, tidak apa-apa," sahut Mahesa gugup.Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas mengulas sebuah senyum lega. Tanpa aba-aba Mahesa menarik t
Mahesa bergeming, terpaku menatap bayangan tubuh Aluna yang mulai menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Ia masih mencerna akan percakapannya baru saja dengan wanita itu.Mahesa menghela napas panjang dan mengendurkan dasi yang dikenakannya. Kemudian menyenderkan punggung pada penyangga kursi kerjanya. Napasnya terasa sangat sesak begitu pun dengan hati dan pikirannya.Sebuah getaran cukup lama di atas meja kerjanya menarik Duda tampan itu dari lamunannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum manis tatkala sederet angka yang sangat familiar terpampang jelas pada layar ponselnya."Halo? Aku baru saja akan menghubungimu, Gita." Mahesa langsung menyapa seseorang yang menghubunginya."Kamu sedang apa sekarang?" tanya Mahesa lagi.Hening. Mahesa tak mendengar sahutan dari Anggita dari seberang telepon. Ia mengernyitkan alisnya dan mengira kalau jaringannya sedang tidak bagus."Halo?
"Ada apa ini? Apa yang sudah terjadi kepada putraku?" tanya Radeya panik kepada dokter dan suster yang merawat Devan.Pria paruh baya itu bergegas ke rumah sakit bersama Aluna setelah mendapat kabar kesehatan Devan memburuk."Tuan, saya sudah memperingatkan Anda untuk berhati-hati dan tidak membuat putra Anda merasa setres sedikit pun. Itu akan sangat membahayakan kondisi kesehatannya. Devan mengalami kecelakaan dan juga koma selama dua tahun, dia bisa bangun saat ini karena sebuah mukjizat Tuhan. Kepalanya mengalami benturan yang sangat kuat, beruntung Devan tidak hilang ingatan. Namun, meski pun begitu kita harus tetap menjaga kesehatannya dengan baik. Stress sedikit saja akan membuat jaringan otaknya terganggu dan itu sangat berbahaya," jelas dokter pria bername tag Anto kepada Radeya dan Aluna."Stress? Memangnya apa yang baru saja terjadi kepada kak Devan sehingga membuat dia jadi seperti ini?" tanya Aluna penasaran.Di atas r
Diam-diam Devan mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras merasakan kekesalan atas perubahan sikap sang istri yang sangat dicintainya."Apa waktu juga telah merubah perasaanmu kepadaku?" tanya Devan setelah beberapa saat terdiam.Anggita bergeming. Dia bingung harus menjawab bagaimana kepada Devan mengenai perasaannya saat ini.Jujur saja, dia sangat bahagia melihat Devan kembali. Namun, entah kenapa Anggita merasa separuh hatinya terasa kosong saat bersamanya.Devan semakin tak senang atas diamnya Anggita. Ia semakin meyakini bahwa istrinya itu benar-benar sudah tak memiliki perasaan apa pun kepadanya lagi.Sesuatu seperti sedang mengiris-iris hatinya, sehingga terasa begitu perih dan juga sakit.Satu-satunya alasan ia bertahan dari kematian adalah ingin selalu bersama Anggita. Namun, saat ia sadar dari koma, yang didapat sang istri telah berpaling ke lain hati.Devan menghela napas pan
Anggita duduk terdiam seorang diri di taman di bawah cahaya lampu yang temaram. Hatinya sangat kacau memikirkan hubungannya dengan Devan dan juga Mahesa.Rasanya saat ini ia sudah menjadi wanita yang sangat buruk. Ia telah menyakiti hati dua pria yang sangat baik kepadanya.Anggita menghela napas panjang yang begitu menyesakkan dadanya hingga beberapa kali. Pandangannya tertunduk melihat tanah yang dipijakinya."Tuhan ... kenapa semuanya jadi seperti ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sudah menjadi wanita yang sangat buruk dengan hadir di antara Mahesa dan Devan," keluh Anggita lirih.Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Merasa frustrasi dengan keadaannya.Sebuah getaran disertai dering yang cukup lama menyadarkan Anggita dari lamunannya. Dia merogoh ponsel di dalam tasnya.Sederet angka yang ia kenal terpampang jelas di layar ponselnya. Dia langsung menggeser ico
"Lama kita tidak bertemu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya seorang pria paruh baya kepada Laras.Siang ini Laras sedang berada di sebuah kafe ternama. Ia sengaja datang untuk bertemu dengan teman lamanya yang tempo hari membatalkan pertemuan secara sepihak."Aku baik-baik saja seperti yang kamu lihat sekarang. Hanya saja, hatiku yang merasa tersiksa karena selalu dirundung rasa rindu kepada putraku," sahut Laras dengan nada suara bergetar menahan tangis."Maafkan aku. Aku pikir aku benar-benar menemukan putramu, tetapi ternyata dia hanya seseorang yang mencoba ingin menipuku dengan berpura-pura menjadi putramu," sahut pria paruh baya itu kepada Laras."Sayang sekali. Padahal aku sudah sangat berharap bisa bertemu dengan putraku," tutur Laras lirih. "Tapi, dari mana kamu bisa tahu kalau dia seorang penipu?" tanyanya merasa penasaran.Pria paruh baya itu terdiam selama beberapa detik. Dia telah berjanji kepada Radeya tida
Mahesa baru saja sampai di sebuah kafe ternama. Dia bergegas turun dan berjalan memasuki kafe itu.Pandangannya menyisir seluruh ruangan, mencari sosok seseorang yang hendak ia temui.Begitu matanya menangkap siluet yang diduga orang yang sedang menunggunya, Mahesa langsung berjalan menghampiri.Ragu-ragu ia memberanikan diri untuk menyapanya duluan takut salah orang."Maaf, apa betul Anda ini Pak Gunawan?" tanya Mahesa.Pria paruh baya yang sedang duduk di meja paling pojok dekat jendela kafe itu menoleh ke arah Mahesa. Dia beranjak dari tempat duduknya, lantas menatap wajah Mahesa dengan seksama."Ya, betul. Maaf, Anda ini ...." Gunawan sengaja tidak melanjutkan perkataannya."Oh, syukurlah saya tidak salah orang," sahut Mahesa sambil mengembangkan senyumnya. "Saya Mahesa, orang yang tadi bicara di telepon dengan Anda."Mahesa mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Pria paru
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu