Gilang mendaratkan bibirnya dengan lembut di kening Naya. “Kita sudah sampai, Cantik,” ucap laki-laki tampan itu setelah mencium kekasihnya.
“I-iya, Mas,” jawab Naya sambil tersenyum. “Mas Gilang mau mampir dulu?” tanya Naya sebelum keluar dari mobil.
Naya meras malu sendiri. Ia sudah memejamkan matanya, dia kira Gilang hendak mencium bibir, tapi ternyata laki-laki itu sekarang lebih menghargai pasangannya. Tidak lagi mengedepankan hasrat birahinya lagi.
“Aku mau pamit aja sama Bunda dan Ayah. Habis itu aku langsung pulang,” jawab Gilang sambil mengacak-acak rambut Naya. “Kamu suka nggak ponselnya?”
“Suka banget, Mas,” jawab Naya sambil melirik paper bag yang ada di pangkuannya. Senyum bahagia terukir di wajah cantiknya sambil memeluk jinjingan berisi ponsel, tapi senyum itu pudar seketika saat ia teringat sesuatu. “Mas Gilang menginap aja ya di sini!”
“Kalau
Naya menegakkan duduknya, ia menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingnya. “Maksud Mas Gilang apa?” tanya Naya yang tidak mengerti maksud hubungan terlarang itu seperti apa.“Nay, aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku sampai aku menutup usia, tapi sebelum itu terjadi, aku tidak mau merahasiakan apa pun tentang diriku kepada calon istriku,” ucap Gilang dengan serius sambil menatap wajah kekasihnya.“Rahasia apa?” tanya Naya yang semakin penasaran dengan apa yang akan diungkapkan oleh laki-laki tampan itu.Melihat wajah sang kekasih yang serius, Naya menjadi waswas. Ia menebak-nebak apa yang akan diucapkan kekasihnya itu.‘Apa yang mau dia katakan? Hubungan terlarang? Apa Mas Gilang pernah menyukai sesama jenis? Mungkinkah kecemburuannya saat aku dekat dengan Mas Haris karena dia mencintai asistennya itu, bukan aku?’ Naya bertanya-tanya dalam hatinya sambil menatap wajah tampan sang kekasih yang h
"Berjuanglah kalau kamu mencintai Naya! Ubahlah kebiasaan burukmu!" titah Bunda Maya kepada calon menantunya."Siap, Bun," jawab Gilang dengan penuh semangat. "Kalau begitu saya permisi dulu. Nitip ini buat Naya." Gilang menyerahkan paper bag berisi ponsel kepada calon mertuanya."Iya, nanti Bunda sampaikan," ucapnya sembari tersenyum. "Kamu hati-hati di jalan!""Iya, Bun."Gilang segera pergi dari rumah kekasihnya setelah berpamitan dengan Bunda Maya.'Nay, aku janji akan berubah,' ucapnya dalam hati sebelum menancap gas kendaraannya, dan meninggalkan kediaman sang kekasih.Gilang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedang. Ia berharap dengan keberadaan Haris bisa membawa pengaruh baik dalam hidupnya."Suatu saat nanti Naya pasti bisa menerimaku dengan tulus," gumam Gilang sembari tersenyum, menyemangati dirinya sendiri.Mendapat dukungan dari calon mertuanya membuat semangatnya kembali. Ia akan berusaha keras memperbaik
"Bos laki-laki yang baik. Nona sangat beruntung jika mendapat suami seperti anda," jawab Haris dengan yakin."Saya butuh nasihat seorang teman, bukan pujian bawahan terhadap atasannya."Gilang merasa sejak tadi Haris hanya memujinya saja. Padahal yang ia butuhkan nasihat dari seorang teman."Saya berbicara yang sebenarnya," sahut Haris, "Kalau Bos bukan laki-laki yang baik, anda tidak akan membongkar aib sendiri kepada Nona Naya di saat cinta sudah mulai tumbuh di hati.""Benarkah?"Haris mengangguk. "Orang lain akan berpikir dua kali untuk menyatakan kejujuran yang mungkin membuat Nona menjauh. Bos tidak akan memikirkan perasaan Nona ke depannya.""Apa Naya bisa memaafkan saya?""Saya yakin Nona akan memaafkan, walau tidak sekarang. Mungkin nanti ketika hatinya sudah mulai tenang. Pemikiran Nona Naya sangat dewasa. Ia pasti bisa menerima masa lalu dari orang yang dicintainya.""Terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesah s
"Mas Gilang," gumam Naya pelan. 'Kenapa tuh orang malah ke sini? Aku benci melihat kamu, Mas,' ucap Naya dalam hatinya. "Kamu udah siap, Nay?" tanya Gilang kepada kekasihnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ia tidak peduli gadis itu masih marah padanya atau tidak. Ia akan berusaha terus tersenyum walau mendapat penolakan dari calon istrinya. "Aku nggak mau pergi sama kamu," jawab Naya dengan sinis. "Tapi, kamu bisa telat, Nay." Gilang mencoba membujuk Naya supaya mau ikut bersamanya, tapi, gadis itu menolak. Bahkan ia tidak mau menatap wajah kekasihnya. Sementara Haris berdiri di samping mobil, menunggu bos-nya sembari menonton drama antara atasan dan calon istrinya. "Nay, kamu udah telat. Waktumu tersisa setengah jam lagi. Kamu mau berangkat dengan siapa? Ayah udah pergi sejak tadi." Bunda Maya berusaha membantu Gilang. Apa pun caranya ia akan berusaha mendekatkan kembali Naya dan Gilang karena dia ta
Naya berteriak setelah Gilang melepas ciuman bibirnya di depan Haris.Memang ini bukan yang pertama Gilang melakukannya di depan sang asisten, tapi dulu berbeda. Haris sibuk dengan kemudinya, jadi tidak melihat langsung seperti sekarang."Biar kamu lebih semangat belajarnya, Nay." Gilang terkekeh saat Naya berulang kali membersihkan bibirnya dengan tisu."Cepetan jalan!" titah Naya sambil berteriak.Ia terus mengusap bibirnya dengan tisu, hingga di dalam mobil itu berserakan tisu bekas dirinya."Baik, Nyonya Gilang!" Jawab Gilang dengan tegas."Kenapa Nyonya Gilang? Aku nggak suka, aku nggak mau menikah dengan kamu!" tegas Naya."Baiklah, tidak masalah," balas Gilang pelan tanpa ekspresi. Ia segera menancap gas, melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh.Tidak ada pembicaraan lagi di dalam mobil. Semua hening, tidak ada yang memulai percakapan.'Kenapa dia langsung diam? Apa nggak mau berusaha membujukku?' ucap Naya
"Ris, saya pulang duluan. Kepala saya pusing sekali."Gilang melongokkan kepala ke dalam ruangan sang asisten sambil memijat pelipisnya."Saya antar, Bos." Haris bangun dari duduknya, melihat kepala atasannya yang menyembul dari balik pintu."Tidak usah. Biar supir yang mengantar saya ke apartemen.""Baik, Bos!"Haris pun menuruti semua perintah atasannya. Sebenarnya ia sangat khawatir dengan kesehatan sang bos, tapi pekerjaan kantor begitu menumpuk, walau ia sudah dibantu rekannya.'Apa si Bos, pusing memikirkan masalahnya dengan Nona?' batin Haris.Dengan langkah pelan, Gilang pergi dari ruangan asistennya.'Kenapa kepalaku sakit sekali,' ucap Gilang dalam hatinya.Akhirnya Gilang pulang ke apartemennya untuk beristirahat. Pekerjaan yang begitu menumpuk ditambah masalahnya dengan sang kekasih membuat fokusnya terbagi, dan membuat kepalanya sakit.Gilang merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruang tamu.
Gilang sudah membuka kancing atas kemejanya, lalu mengusap tengkuknya karena ramuan cinta itu sudah mulai bereaksi."Buka aja, Sayang! Sini aku bantu."Gadis berjalan memutar, lalu duduk di samping Gilang. Ia membuka kemeja sang pejantan tangguh itu, lalu melemparnya ke sembarang arah.Gilang yang sudah merasakan gejolak di tubuhnya akibat ramuan cinta, tidak memedulikan apa yang dilakukan wanita muda itu.'Aku harus menuntaskannya, tapi aku sudah berjanji sama Mami dan Naya. Tapi ... ouh ...."Desahan Gilang lolos begitu saja ketika Gadis mengulum keperkasaannya dengan penuh nikmat.Wanita muda itu berjongkok di hadapan Gilang yang sedang duduk bersandar di sofa.Entah kapan wanita itu membuka ritsleting celananya, Gilang tidak sadar karena sedang melawan gairah yang bergejolak akibat ramuan cinta itu."Tenanglah Sayang. Aku akan mengobatimu. Kamu santai aja!"Gilang kembali mengerang saat wanita seksi itu memanja
"Mas Gilang ... Mia ... kalian ...."Air mata Naya mengalir deras melihat sahabat dan calon suaminya berduaan di dalam apartemen dalam keadaan telanjang bulat.Dengan hati yang hancur Naya berlari keluar dari apartemen sambil menangis. Meninggalkan Mia dan Gilang."Tunggu, Nay!" teriak Mia sambil menangis.Ia tidak akan berani menampakkan wajahnya kepada Naya setelah kejadian ini.Persahabatan yang sudah ia jalin bertahun-tahun harus putus karena satu kesalahan yang fatal."Kenapa menjadi seperti ini," gumam Mia sambil menyeka air matanya.Mia segera memunguti pakaian dalamnya yang tergeletak di mana saja."Mas, cepat kejar Naya! Dia pasti hancur karena dia sangat mencintaimu," titah Mia sambil menyeka air mata yang tidak berhenti mengalir.Naya tidak menyangka kalau laki-laki yang sangat ia cintai, melakukan hubungan terlarang bersama sahabatnya sejak kecil.'Kenapa dia harus bercinta dengan sahabatku?' gum
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te