Gendis melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit, terkadang dia berlari kecil menoleh ke kanan ke kiri mencari ruangan yabg di sebutkan seseorang yang memberitahukan kejadian sore itu. Arya mengikutinya dari belakang, lelaki itu yang dia mintai tolong untuk mengantarkannya.Langkah Gendis terhenti ketika akhirnya dia menemukan ruangan yang sedang melakukan operasi. Sudah ada ayah dan ibu Rika di sana, dan dua orang polisi yang sedang menanyai beberapa orang yang mungkin menjadi saksi kecelakaan gadis itu."Tante," sapa Gendis pada wanita paruh baya yang duduk sambil menutup wajahnya dengan tangan."Gendis.""Gimana Rika, Tante?" Gendis berjongkok di depan Maria, ibu Rika."Sedang operasi di dalam, tulang kaki dan iganya ada yang patah.""Ya Tuhan." Gendis terdiam, kaki dan tulang iga Rika patah, lalu bagaimana dengan kandungannya, pikir Gendis."Rika juga mengalami keguguran," ujar Maria pelan.Gendis tercekat, matanya berkaca-kaca. Janin kecil itu, janin yang di pertahankan oleh
"Sarapannya, Mas." Tari masuk tanpa mengetuk pintu kamar Sakti. Gadis itu berjalan santai meletakkan nampan berisi satu piring nasi goreng dengan telur ceplok serta secangkir teh hangat. "Ada roti panggang selai coklat, kalo Mas mau bisa aku ambilin," ujarnya tanpa menoleh ke arah Sakti yang sedang memakai kaosnya. "Makasih, Tar." Tari menoleh lalu tersenyum, "sama-sama, Mas. Tari keluar dulu." "Hhmm." Sakti mengangguk. "Tar," panggil Sakti. "Ya, Mas." "Makasih juga udah bantuin gue semalam." Sakti tersenyum. "Itulah gunanya adik, Mas." Sakti mengangguk angguk lagi. "Adik ... adik ya. Umur lo berapa?" "Masuk 20 tahun, Mas." "Oh ... Nggak jauh dari Gendis," ucap Sakti nyaris tak terdengar. "Sudah mulai kuliah?" "Bulan depan," jawab Tari. "Oh, bagus lah ... yang bener kuliah, jangan kecewain orang tua gue." Kali ini wajah Sakti berubah serius dengan satu alisnya ikut naik. "Iya, Mas ... siap. Oh ya, Mas ... semalam Tari dengar, Mas Sakti babak belur karena masalah cinta?" T
Cari siapa?" tanya suara wanita dari dalam rumah. Pintu pun terbuka perlahan, nampak wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibunya keluar dari dalam dengan alis yang mengerut. "Cari siapa?" tanyanya lagi. "Selamat sore, benar rumah Gendis?" tanya Sakti memastikan, karena saat di anak tangga pertama rumah susun tadi dia bertanya pada seseorang dimana letak rumah yang didiami oleh Gendis dan keluarganya. "Benar, tapi Gendis sedang kerja, pulangnya mungkin malam, karena masuk shift siang," kata Wati memperhatikan penampilan Sakti dari bawah hingga ke atas. "Anak ini siapa?" tanyanya. "Siapa, Bu?" Suara bariton terdengar dari dalam melangkah menuju pintu rumah. "Saya teman Gendis, Pak ... Bu," jawab Sakti mengulurkan tangannya. "Sakti," ujarnya lagi. "Oh," ujar Hendro dan Wati bersamaan. 'Ada perlu apa?" tanya Hendro masih memperhatikan Sakti dengan seksama. Sejak kapan Gendis berteman dengan lelaki ini, setahu Hendro hanya Arya dan Andi. Lelaki yang berada di hadapannya ini
Berjalan beriringan sampai di depan gang rumah susun, saling diam melirik pun tidak, asyik dengan pikiran masing-masing. Makan malam yang diwarnai obrolan seru dari seorang supir bemo yang menceritakan awal mula perantauannya ke ibu kota. Sakti benar-benar tidak membayangkan bagaimana perjuangan suami isteri itu menghidupi keluarganya. Sementara Gendis dengan pikiran atau lebih tepatnya menahan amarah pada lelaki di sampingnya itu. Bagaimana mungkin lelaki itu selama dua hari berturut-turut bertandang ke rumahnya. Teman lama katanya, darimana kebohongan itu tercipta. Sakti menggulir layar gawainya, mencari aplikasi taksi online yang akan mengantarkannya kembali ke apartemen malam itu. "Makasih makan malamnya," ujar Sakti. "Makasih sama ibu, dia yang ngajak kamu makan malam," sahut Gendis menatap hilir mudik kendaraan di depan mereka. "Sayur asem nya enak ... ternyata rasanya nggak asem tapi manis," kata Sakti lagi. "Ya iyalah, kalo manis namanya sayur manis," jawab Gendis masih m
Sakti melepaskan pagutannya, kening mereka masih menyatu bahkan bibir Gendis masih basah karena ulah Sakti. Baru saja Sakti ingin menautkan kembali bibirnya, Gendis menarik diri. Melepaskan tangan Sakti yang berada di tengkuk lehernya. "Aku minta maaf," ujar Sakti menahan tubuh Gendis. "Aku minta maaf karena nggak cerita dari awal ke kamu. Aku minta maaf karena aku sudah buat kamu kecewa." Gendis melepaskan tangan Sakti dari lengannya. "Please Gendis, maafin aku," bisik Sakti dari belakang tubuh Gendis. Bisa di ciumnya harum tubuh Gendis, bisa di ciumnya semerbak wangi shampoo yang Gendis pakai, bisa dirasakannya tubuh Gendis menegang karena sentuhan lembut tangannya di lengan gadis itu. "Aku punya masa lalu, kelam kata orang, bebas terlalu bebas. Tapi apa untuk orang seperti aku nggak ada kesempatan untuk berubah? berubah jadi lebih baik lagi. Apa nggak di bolehin aku insaf, tobat atau apalah itu. Salah, ya?" "Aku tau kamu kecewa, aku tau kamu takut kejadian Rika bisa aja menimpa
"Sakti ...," panggil suara wanita itu. "Itu dia datang," ujar Sakti, beranjak dari tempat duduknya menyambut wanita itu. "Kenapa datang sama dia?" tanya Sakti, sementara gadis yang dia bicarakan hanya tersenyum padanya. "Sekalian, setelah ini Mama mau ke butik," ujar Hanna. "Mana?" tanya Hanna "Oh iya." Sakti menoleh ke belakang, Gendis sudah berdiri di sana. "Sini ... kenalin, ini—" "Ya ampun, ternyata ini ... cantik, pantas aja sampe babak belur," ujar Hanna mengulurkan tangan pada Gendis. "Saya Hanna, mama nya Sakti. Ini Tari, adiknya Sakti," kata Hanna. "Tari," ucap Tari. "Cantik, Mas ... pantesan rela babak belur," ujar Tari sambil tersenyum. "Babak belur?" Gendis heran. "Oh, berarti luka di pelipis kamu itu—" "Katanya jagoan," goda Hanna menarik kursi duduk di hadapan Gendis. "Gendis ini yang tinggal di rumah susun itu, kan? gara-gara Gendis sekarang Sakti sering pulang ke rumah. Waktu pertama kali Mama di ceritain, Mama nggak percaya masa seorang Sakti bisa dapet gadis m
Gendis dan Tari duduk di ujung kafe menunggu Hanna yang masih bertemu dengan salah satu pemilik butik di seberang kafe itu. Ini adalah kali ketiga pertemuan mereka, ada saja Hanna atau Tari tiba-tiba mengirim pesan untuk bertemu, sekedar makan atau menemani Hanna berbelanja. "Ibu itu, orangnya asyik Mbak. Beda dengan bapak ... bapak kalo dengan orang lain terkesan dingin. Tapi beda kalo sudah berdua dengan ibu," jelas Tari. "11 12 sama Mas Sakti kalo bapak itu, kalo ngeliat kita pertama kali kayak berasa mau nelan orang. Serem," kekeh Tari. "Tari betah ya tinggal dengan mereka?" tanya Gendis. "Iya, karena memang dasarnya baik sih, jadi ya aku nikmati aja. Apalagi sampe di sekolahin, Mbak ... entah apa aku harus balas semuanya." Raut wajah Tari bersinar. "Tari beruntung," ujar Gendis. "Iya, tapi terkadang banyak juga yang merasa nggak suka sama aku, Mbak. Padahal ibu dengan suka rela menolong aku dan panti asuhan." "Enggak suka gimana?" tanya Gendis mengerutkan alisnya. "Mereka k
"Ngapain kamu kesini? belum puas kamu hancurin hidup aku?!" Rika berteriak hingga seluruh mata menatap dia dan Reno, saat Rika keluar dari ruang terapinya. "Sus, tolong di percepat antar saya ke mobil," ujar Rika pada perawat yang mendorong kursi rodanya. "Ka ... tolong denger dulu. Aku minta maaf, aku salah Ka. Kita bisa bicara baik-baik," mohon Reno. "Sus, tolong lebih cepat." Rika mengacuhkan Reno hingga sampai di depan lobi, supir Rika sudah menunggu. "Ka ...." "Cukup, Reno! Kamu mau bicara baik-baik yang seperti apa? semua sudah aku lakukan, sampai bersimpuh di kaki kamu pun sudah aku lakukan, kalo dulu kamu meng-iyakan permintaan aku, ini semua nggak bakal terjadi. Anak aku pasti masih ada! Hanya sampai dia lahir, lalu kita berpisah hanya itu keinginan aku ... aku nggak nuntut apa-apa. Sekarang setelah dia pergi, kamu baru mau bilang AYO BICARA BAIK-BAIK! kamu nggak punya OTAK! kamu nggak punya PERASAAN!" Suara Rika meninggi, emosinya meledak, semua mata tertuju pada mereka
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu