"Sore ini bisa langsung pulang."
Sontak mata Clara berbinar, tampak dokter Jennie tersenyum, menatapnya dengan ramah. Clara balas tersenyum dan mengangguk, akhirnya dia sudah tidak lagi jadi tahanan pesakitan macam ini.
"Terima kasih, Dokter. Terima kasih sudah merawat saya."
Tampak wajah cantik itu tertawa, memamerkan giginya yang masih dalam perawatan orthodonti. Ia tampak ikut berbahagia dengan pulihnya kondisi Clara.
"Sama-sama, Dek. Nanti saya buatkan surat kontrol, ya. Saya permisi dulu."
Sekali lagi Clara mengangguk, ia menatap langkah dokter itu ketika tiba-tiba pintu ruang inapnya terbuka. Morgan muncul dari balik pintu langsung menyetop dokter Jennie dan mencecar beberapa pertanyaan yang membuat Clara kembali tersenyum melihat berapa khawatir raut wajah Morgan.
"Nanti sore sudah bisa pulang, Bapak. Tunggu surat dari saya dan dokumennya." jelas dokter Jennie sabar.
"Syukurlah kalau begitu, Dokter. Semu
Arga baru saja selesai menerima pasien, hendak pergi ke kamar mandi sejenak ketika sosok itu mendadak muncul dari balik pintu ruang prakteknya. Arga sontak kembali duduk, memasang senyum manis pada lelaki yang melangkah mendekati meja praktek Arga."Sibuk, Ga?" Dicky tersenyum, duduk di kursi yang ada di depan meja praktek Arga."Sedikit, Pa. Ada yang bisa Arga bantu, Pa?" Arga tersenyum, sebuah senyum palsu karena dalam hati Arga memaki, mengumpat kedatangan mertuanya itu.Tampak Dicky dengan santai menyilangkan kaki, menatap Arga yang masih dengan senyum kepalsuan miliknya. Mata mereka beradu, Arga sudah bisa menebak apa maksud kedatangan mertuanya itu kemari."Sudah ketemu sama dokter Adam?"'Dokter Adam?'Sontak Arga menipuk jidatnya dengan gemas. Gegara kejadian kemarin, dia lupa belum mengunjungi androlog itu! Ah! Sebenarnya Arga tidak perlu melakukan tes kesuburan dan segala macam! Dia terbukti fertil! Clara bahkan h
"Sumpah deh, kalau besok dokter Arga masih kayak tadi, rasanya aku mau bolos aja!""Iya nih, panas kuping aku. Kalo ngomong pas lagi emosi gitu kayak nggak direm."Indira mendengar percakapan dua gadis dengan seragam biru muda itu. Senyum Indira merekah, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi melihat bagaimana masam wajah dua perawat itu, mendadak hati Indira ikut trenyuh juga. Mereka tidak tahu apa-apa dan harus ikut kena getah jeleknya suasana hati Arga hari ini."Lagi perang dingin sama dokter Indira kali, ya? Jadi uring-uringan mulu."Hampir tawa Indira meledak, namun dia berhasil menahan tawanya agar dua gadis itu tidak menoleh dan menyadari keberadaan Indira yang tidak jauh dari mereka. Perang dingin? Bukan dia yang tengah perang dingin dengan sosok itu, tetapi ada masalah lain yang membuat Arga begitu lain hari ini. Masalah yang pasti memukul perasaan Arga dengan luar biasa."Moga damai deh nanti malam. Biar suasana hati d
"APA?"Clara hampir saja berteriak. Bagaimana sih orang satu ini? Dia kan sudah berkali-kali bilang kalau dia selama ini bergantung pada Arga. Dan dia masih menanyakan hal tersebut perihal mobil tadi?Tawa Morgan pecah, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengacak gemas rambut Clara. Terlihat dengan jelas wajah itu terkejut, syok dan entah apa lagi. Sungguh semakin lama Morgan semakin gemas pada sosok ini."Ba-bagaimana bisa kau tanya soal itu ke aku, Gan? Kan tahu sendiri kal-.""Sssttt!" Morgan spontan menempelkan telunjuknya di bibir merona itu. Membuat Clara terbungkam seketika.Mata mereka beradu, cukup lama hingga kemudian Morgan lebih dulu sadar dan mulai kembali fokus pada obrolan mereka."Kau pikir aku mau menerima uang dari kamu? Nggak Sayang, kalau bisa malah aku pengen ngasih uang ke kamu, nafkahin kamu."Clara tertegun, sebuah kalimat yang benar-benar merasuk masuk ke dalam hatinya. Kalimat yang memun
"Aku masih belum percaya, a-.""Please, tolong buang rasa tidak percayamu padaku!" potong Morgan cepat. Matanya menatap serius wanita yang berada di depannya.Clara tersenyum getir, kepalanya menggeleng perlahan, "Kita ketemu baru beberapa hari yang lalu karena secara tidak sengaja mobil kita saling berbenturan. Kamu bertanggung jawab atas kecelakaan itu dan sekarang kamu hendak mengajak aku menikah? Menikah tidak sebercanda itu, Gan!"Morgan mendengus perlahan, tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala. "Kau lupa bahkan dipertemuan kita yang katamu baru beberapa hari, kita sudah saling menikmati tubuh satu sama lain, Ra."Clara tercekat, ia seperti ditampar dengan perkataan yang meluncur dari mulut Morgan itu. Ya ... Morgan benar! Mereka sudah saling menikmati satu sama lain, berkeringat bersama guna mencapai puncak nikmat itu. Tapi sekali lagi, pernikahan tidak bisa-"Ra ... apa yang membuatmu tidak yakin padaku?"Clara menatap Morgan de
Mobil sedan itu berhenti di halaman depan rumah mewah yang Clara pernah kunjungi dulu. Semua masih sama seperti kedatangan Clara pertama kalinya kemari."Welcome back, Sayang!" Morgan mematikan mesin mobil, menoleh dan tersenyum ke arah Clara.Clara tersenyum, ada secercah perasaan rendah diri yang muncul dari dalam dirinya. Perasaan yang makin membuat pikirannya melayang makin jauh, perasaan yang membuat dia makin tidak pantas untuk lelaki di sebelahnya ini."Aku berterima kasih banyak kepadamu, Gan." untuk sekarang, baru kalimat itu yang meluncur keluar dari mulut Clara. Otaknya hanya bisa memikirkan kalimat itu saat ini."Mmm ... bisa kita buat kesepakatan?" Morgan nampak menggaruk kepalanya, membuat kening Clara sontak berkerut."Kesepakatan apa?" kesepakatan apa lagi yang hendak Morgan minta darinya? Apakah sama dengan kesepakatan gila yang pernah Clara buat dengan Arga dulu?"Hmmm ... bukan hal yang
"Sudah jelas?" Morgan menatap mata itu, nampak mata itu berkaca-kaca, membuat Morgan lantas meraih Clara dalam pelukannya.Tangis Clara pecah, terisak dalam pelukan Morgan yang nampak menghela nafas panjang. Entah ini sudah kali keberapa Morgan menjelaskan pada Clara kenapa Morgan melakukan semua ini. Morgan harap Clara bisa paham dan mengerti. Berhenti bertanya dan overthinking kepadanya."Bukan salahmu kalau kamu mempertanyakan hal itu, Sayang!" bisik Morgan kemudian. "Tapi kumohon ... berhentilah mempertanyakan itu. Aku sudah menjelaskannya, bukan?"Clara mengangguk pelan, masih dalam dekapan Morgan. Sebuah dekapan yang begitu hangat dan terasa sangat nyaman. Morgan melepaskan pelukannya, menengadahkan wajah itu dan menyeka air mata yang membasahi wajah Clara."Tidurlah, kau baru saja melewati masa-masa beratmu, Sayang." jemari Morgan mengelus lembut pipi itu, bibirnya menyunggingkan senyum. Sebuah senyum yang mampu memancing senyum Clara t
Clara mengerjapkan matanya, ia terkejut ketika mendapati sosok itu sudah lenyap dari sisinya. Clara mencebik, kemana Morgan? Sepagi ini dan dia sudah pergi? Clara menatap jam dinding. Masih pukul lima. Dan dia sudah harus bersiap kembali ke rutinitas rumah sakit. Akhir-akhir ini Clara sudah banyak izin.Clara menguap, merentangkan kedua tangan di atas kepala. Ia baru saja hendak turun ketika pintu kamar terbuka. Clara sontak menoleh dan mendapati Morgan melangkah masuk dengan sebuah nampan di tangan."Morning my beloved doctor!" senyumnya merekah, membuat Clara ikut tersenyum melihat betapa manis dan menawan senyum itu."Kupikir sudah pergi." Clara pura-pura manyun, membuat Morgan bergegas meletakkan nampan itu di nakas dan memeluk Clara yang duduk di tepi ranjang."Nggak lah, tadi ke dapur, suruh bibi bikinin toast. Sarapan sama-sama ya, terus nanti aku antar ke rumah sakitnya."Clara terdiam sejenak. Sebenarnya dia lebih suka ba
"Telepon saja nanti kalau sudah selesai, aku jemput."Clara mengangguk pelan, ia melepaskan seat belt-nya, hendak melangkah turun ketika tangan Morgan mencekalnya turun."Eh, langsung main turun saja?" protes Morgan dengan wajah mencebik.Clara membulatkan matanya, sedetik kemudian dia sadar bahwa ada sesuatu hal yang harus dia lakukan pada lelaki ini. Clara tersenyum, mendekatkan wajahnya dan ...CUPSebuah kecupan mesra dan hangat mendarat di pipi Morgan. Kecupan yang membuat senyum Morgan merekah sempurna."Have a nice day, Babe!" bisik Clara mesra sambil kembali menjatuhkan kecupan di pipi satunya."You too!" Morgan mengacak gemas rambut itu. "Bilang padaku kalau Bajingan itu sampai macam-macam padamu."Clara tertegun sejenak, ia hampir lupa kalau tempat dia bekerja satu lingkup dengan Arga! Mendadak ketakutan itu muncul, apakah ia benar-benar bisa terlepas dari Arga, atau ketika di rumah sakit begini hidup Clara akan sama
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la