Arga mengeram, tangannya mengepal kuat. Nafas dokter jantung itu naik-turun. Bukan ... bukan karena menahan gairah, tetapi karena menahan amarah. Kalau saja yang duduk di depannya ini bukan perempuan, Arga sudah meraih kerah kemeja lalu memukulinya sampai babak belur. Namun sekali lagi, sayangnya dia perempuan, lebih parahnya lagi, dia menyandang status sebagai isteri Arga! Pasalnya akan cukup berat kalau sampai Arga nekat memukuli Indira saat ini juga. Oh ya, jangan lupakan satu hal, rumah sakit ini milik bapaknya, tentu Arga makin tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku tengah mencari tahu siapa sebenarnya wanita itu, Ga. Dan kau tahu apa yang akan kulakukan padanya?" suara Indira terdengar begitu mengancam, membuat Arga makin terbakar emosi.
"Aku sudah peringatkan kepadamu, bahwa jangan pernah menyentuhnya, In!"
"Sayangnya aku begitu ingin melakukan itu, Sayang!" Indira melipat tangannya di dada, kini dia sadar bahwa dia sebenarnya punya kekuatan yang ti
"APA?" Clara berteriak, sedetik kemudian ia tersadar dan refleks menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Matanya menatap Rudi yang nampak nyengir lebar, sudut matanya menatap Morgan yang sejak tadi serius mengobrol bersama admin bengkel itu sontak menatapnya dengan alis berkerut."Kenapa, Ra? Ada masalah?" tanya Morgan begitu penasaran."Ah ... ti-tidak, tidak apa-apa." Clara nyengir lebar, sungguh bukan salahnya kalau dia sampai berteriak histeris macam tadi.Morgan mengangguk, kembali serius membicarakan sesuatu bersama laki-laki itu. Clara menoleh menatap Rudi yang juga menatapnya sambil menahan tawa."Jadi Ferrari itu mobil Morgan? Yang dipakai buat tabrakan sama aku?" tanya Clara yang berharap bahwa mobil itu bukan mobil Morgan."Iya, itu mobilnya pak Bos, Mbak." jawab Rudi padat, singkat dan jelas.Clara kembali melongo, mobil Morgan sekelas Ferrari dan dengan begitu sombong kemarin Clara menawarkan h
Sedan mewah itu berhenti di area parkir basement apartemen yang Clara tempati, sebuah unit apartemen yang berada di barat kota, sedikit terpinggir memang, tetapi dekat dengan beberapa obyek wisata tersohor.Morgan melepaskan seat belt, menoleh ke arah Clara yang masih bengong di tempatnya duduk. Dia tahu apa yang ada di dalam pikiran wanita itu, pasti dia khawatir dan takut kekasihnya tahu jika Morgan mengantarkan dia pulang, bukan?"Ra, kita sampai. Unitmu di lantai berapa?"Clara tersentak, ia menoleh dan membalas tatapan Morgan. Tersenyum kikuk lantas melepaskan seat belt yang dia kenakan."Lantai tiga," jawab Clara ragu-ragu. "Kamu beneran mau mampir?"Tawa Morgan pecah, ia terbahak sejenak lantas menggeleng perlahan. "Kamu beneran takut banget ya kalau pacar kamu tiba-tiba datang dan aku ada di apartemen mu?""Bu-bukan begitu!" Clara sontak menggeleng, tampak Clara menghela nafas panjang, menatap lurus ke depan. "Seben
"Karena kamu terlalu mengedepankan egomu, Ga. Kamu terlalu memikirkan kepentinganmu sampai tega mengorbankan diriku, merenggut kebebasanku."Sunyi.Arga mengepalkan tangan, menghirup udara sebanyak-banyaknya guna memastikan suplai oksigen ke otaknya tercukupi. Terlalu egois? Begitu yang hendak Clara katakan? Tapi Arga melakukan itu karena dia tidak ingin sampai kehilangan Clara. Karena Arga begitu mencintai Clara!"Tunggu aku di apartemen, kita bicarakan dan perjelas semua!"Tut!Kini Arga yang lebih dulu mematikan sambungan telepon itu. Meletakkan ponsel mahalnya dengan gusar. Ia mencengkeram pelipisnya dengan sedikit kuat, kenapa semuanya jadi seperti ini?Arga meraih kembali ponsel itu, bangkit dan bergegas melangkah keluar dari ruang prakteknya. Baru sampai di depan ruangan itu, insting Arga merasakan bahwa ada yang tengah mengawasi dirinya. Arga menoleh dan menatap ke sekitar. Sepi, hanya ada beberapa perawat tampak te
Clara dirundung ragu, ia berpikir sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Kenapa dia makin lama makin tidak pantas untuk laki-laki ini? Tapi apakah benar perasaan yang dia miliki ini cinta? Dia jatuh cinta pada Morgan? Secepat itu?Ah! Clara menepis semua perasaan tidak menentu yang dia rasakan ini, dengan mantab dia mengangkat panggilan dari laki-laki itu."Hallo?" Clara berusaha mengenyahkan isaknya yang keluar efek perdebatan yang terjadi antara dia dan Arga tadi."Bisa keluar, Ra? Aku di depan pintu apartemen mu."Mata Clara sontak membelalak, ia sampai melonjak dari posisi santainya karena kaget. Mulutnya ternganga, Morgan ada di depan pintu apartemennya? Dengan secepat kilat Clara bangkit, menerjang pintu kamarnya sampat terantuk sudut mini bar yang ada di depan pintu kamar."Aduh!" Clara menggaduh, hanya sebentar karena ia kemudian fokus berlari menuju pintu.Begitu sampai di depan pintu, Clara menghela nafas
Indira melangkah turun dari mobil, ia sudah berencana hendak berendam dengan air hangat barang setengah jam sebelum kemudian makan malam dan bergegas tidur. Indira baru saja melangkah barang dua langkah, ketika suara itu memaksa Indira berbalik dan melihat ke arah suara.Kening Indira berkerut, dia tidak salah lihat, bukan? Itu mobil Arga! Sejak kapan Arga pulang dinas langsung pulang ke rumah? Bukankah biasanya ....Indira tersenyum sinis, dia tahu apa sebabnya! Rupanya rasa cinta Arga pada gundiknya itu tidak lebih besar dari rasa cinta Arga pada saham dan kekayaan. Mudah ternyata mengalahkan laki-laki angkuh itu, Indira bahkan sampai tidak bisa mengenalinya."Tumben langsung pulang?" sindir Indira ketika sosok itu melewatinya.Langkah Arga terhenti, dia menoleh dan menatap Indria dengan tajam. "Ini yang kamu mau, kan? Menyiksaku seperti ini? Jadi diamlah dan nikmati kemenanganmu!"Arga melepaskan snelli-nya, melangkah mel
"Gan, ngapain ke sini?" Clara terkejut ketika Morgan membawanya ke salah satu komplek perumahan elit tersohor di kota.Di mana hanya orang-orang bergaji setara anggota DPR yang bisa membeli rumah di sini. Perumahan dengan akses masuk yang begitu ribet karena harus lapor dan mengisi buku tamu dan lain-lain, menunjukkan kartu Identitas dan menjelaskan keperluan di pos keamanan, kalau tidak mau? Jangan harap bisa masuk ke dalam."Menawarkan bantuan buat kamu!" Morgan menghentikan mobilnya di salah satu rumah."Bantuan? Bantuan seperti apa?" Clara membelalak, menatap Morgan yang tampak begitu santai melepas seat belt lantas membuka pintu."Turunlah, akan kita bahas di dalam, aku harap kau setuju." Morgan melangkah turun, meninggalkan Clara yang masih tertegun di jok tempat dia duduk.Clara menghela nafas panjang, melepaskan seat belt dan ikut melangkah turun mengejar langkah Morgan. Laki-laki itu masuk ke sebuah rumah mewah dengan arsitektu
Clara melangkah keluar dari lift, dia sudah siap dengan setelan scrub dan segala macam perintilan wajibnya ketika berangkat ke rumah sakit. Snelli-nya ada dalam genggaman tangan, dengan perban yang masih membungkus pelipis, perban itu nampak baru karena Clara yang menggantinya sendiri selepas mandi tadi.Clara merogoh ponsel, hendak memesan taxi online ketika melihat sedan hitam yang tempo lalu membawanya pergi, berhenti tepat di depan loby apartemen. Bukan hanya itu, mobil Clara pun turut ada. Sudah kembali utuh dan kinclong seperti baru.Tanpa perlu melihat siapa yang membawa mobil itu, Clara sudah tahu siapa orangnya. Orang yang sama, yang entah mengapa selalu bisa mengukirkan senyum di wajahnya."Selamat pagi bu Dokter," laki-laki itu turun dari mobil Clara, dengan kemeja lengan panjang yang dia gulung sampai siku dan dasi warna biru tua yang membuat wajahnya nampak begitu bersih."Mobilnya sudah jadi?" sebuah pertanyaan sponta
Arga melangkah dengan wajah masam, tidak ada senyum terukir di wajahnya. Semua perawat maupun koas yang berpapasan dengan Arga hanya menundukkan pandangan dan tersenyum simpul, tidak berani menyapa karena sorot mata itu begitu dingin dan sinis.Arga terus melangkah, masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan itu. Ia segera duduk di kursi miliknya, meraup wajahnya dengan kedua tangan."Sial!" Arga mengeram, ia benar-benar bingung sekarang harus berbuat apa.Clara sudah banyak berubah, sementara dia kini berada di bawah tekanan Indira. Dia tidak bisa berbuat apapun, kalau sampai dia nekat berbuat yang tidak-tidak, maka akan banyak masalah yang timbul akibat perbuatan nekat Arga.Arga terjebak sekarang dan rasanya tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti permainan Indira untuk saat ini. Tetapi bagaimana dengan rindunya yang sudah membuncah pada pujaan hatinya itu? Apakah orang suruhan Indira masih mengawasinya? Atau sebenar
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la