"KAU JADI KAWIN BENERAN, RA?" Bagas berteriak heboh ketika pagi itu Clara memberinya undangan pernikahan. Amplop dengan sampul warna keemasan itu terlihat begitu elegan dan mewah.
Beberapa orang yang ada di ruang residen ikut terkejut. Dilihat dari desain dan cetakan undangan, ini undangan mahal! Tidak mungkin, kan, Clara halu dan rela merogoh kocek dalam cuma demi nge-prank mereka?Clara menepuk jidat dengan kesal, menggelengkan kepala sambil menghirup udara banyak-banyak. Dia harus banyak bersabar menghadapi teman-temannya yang rese namun cukup dia butuhkan kehadiran mereka ini."Bang, please! Aku udah susah-susah desain undangan dan cetak, kamu masih meragukan kalau aku beneran mau nikah?" Mata Clara membelalak, menatap gemas ke Bagas yang masih syok tidak percaya dengan undangan yang dia terima.Nampak sosok itu masih memasang wajah terkejut, membuat Clara rasanya ingin mencakar wajah melongo itu. Kenapa begini amat sih punya senior? Memang"Kenapa? Ada apa lagi? Kalau kamu hanya hendak membahas kecurigaan tidak beralasan kamu tentang tuduhan bahwa suami kamu berselingkuh, maaf Papa nggak punya waktu banyak, In!" Tegas Dicky yang sudah tidak mau dengar apa-apa lagi tentang apa tuduhan anaknya pada sang suami. Indira nampak menghela napas dalam-dalam, masih menatap sang ayah yang kini menatapnya dengan sorot mata tajam. "Indira sudah tidak mau membahas itu lagi, Pa. Agaknya sia-sia karena Papa tidak akan percaya juga, kan?" Indira tersenyum kecut, ada hal penting lain yang hendak dia bahas dan itu bukan soal perselingkuhan Arga lagi. Toh sekarang Arga berselingkuh dengan siapa memangnya? "Bagaimana mau percaya? Kami tidak punya bukti apapun bahkan pernah bikin malu karena salah grebek, In. Lantas Papa mau percaya dari mana? Coba katakan!" Dicky tidak mengerti, mungkin efek Indira terlalu mencintai suaminya atau gimana? Jadi selalu curiga terus bawaannya. Kembali Indira mendesah, b
"Mungkin sepertinya semesta nggak kasih izin kita buat sama-sama, Ga." Desis Clara ketika kemudian ia berhasil merangkai kata dan mengucapkan. Arga kini berdiri, tangannya kembali meraih dan menggenggam erat tangan Clara. Tidak peduli Clara kembali mencoba melepaskan genggaman Arga. "Kau tau, Ra? Dia licik! Dia menjebakku entah bagaimana caranya aku sendiri tidak tahu! Memaksaku menandatangani semua berkas itu, menekanku untuk mau tidak mau menyetujui perjanjian yang bahkan aku baru membacanya setelah tanda tangah di atas materai!" Jelas Arga nampak emosi. "Aku nggak pernah mau nukar kamu pakai apapun, Ra! Bahkan tidak dengan Supercar itu, aku lebih ingin kamu! Kamu lebih berarti dari segala-galanya buat aku!"Air mata Clara menitik. Arga memang masih sama. Cinta yang dua punya untuk Clara maksudnya. Selain itu, semuanya sudah berubah. Begitu pula dengan nasib cinta mereka berdua dan jangan lupa, cinta Clara untuk Arga yang bahkan sama sekali tidak bersi
Arga mengeram, ia melangkah dengan gusar menuju ruangan milik papa mertuanya. Ada apa lagi sih Dicky memanggilnya menghadap? Apakah rewel hendak minta cucu lagi? Hah! Menjemukan sekali kalau Dicky meneleponnya hanya untuk itu! Kini Arga sudah berdiri di depan pintu itu, mengetuk pintu perlahan lalu menekan knop pintu dan melangkah masuk ke dalam. Nampak Arga terkejut ketika mendapati sang istri sudah berada di dalam ruangan, duduk bersama Dicky yang wajahnya nampak begitu kaku. Kening Arga berkerut, apa yang terjadi memangnya? Indira mengadu? Apa lagi yang dia adukan? Saat ini Arga sudah tidak lagi menjalani hubungan terlarang dengan siapapun. Malah Indira kini yang bermain api dengan lelaki lain. Seorang R1 di pendidikan spesialis anak. "Duduk, Ga!" Titah Dicky dengan suara datar dan kaku. Arga menghela napas panjang, ia lantas melangkah menuju kursi yang masih tersisa di dekat sang istri. Bisa Arga lihat bahwa Indira sama sekali tidak mau me
Clara masuk ke dalam kamar mandi. Matanya memerah, kini tangisnya pecah. Tangannya menutup bibir yang tadi Arga curi cium darinya. Bibir yang dulu memang sering Arga nikmati, sering Arga kecup dan pagut dengan begitu liar sesaat sebelum mereka bercinta, ketika Arga sampai di apartemen dan sebelum pergi meninggalkan apartemen. Tapi kini, Arga tidak lagi berhak atas dirinya, bibirnya dan tentu saja tubuhnya! Arga tidak lagi berhak apa-apa, mereka tidak ada hubungan lagi sekarang. Bayangan bagaimana Arga menangis sambil bersimpuh tadi terngiang di dalam pikiran Clara. Banyak kenangan indah yang memang Arga tanamkan dalam hidup Clara. Dulu ... dulu sekali sebelum kemudian kabar perjodohan dan pernikahan Arga dengan Indira berdengung dan memporak-porandakan semua harapan dan cita-cita indah yang selama ini Clara dan Arga lukis berdua selama menjalani keras dunia pendidikan dokter. "Cukup, Ra! Kisah kalian sudah cukup sampai di sini!" Clara kembali mengingatk
Arga bisa lihat wajah dan mata Dicky memerah. Lelaki paruh baya itu nampak mengepalkan tangan. Sebagai lelaki, Arga tahu mertuanya itu tengah menahan amarah. Sekarang rasanya hati Arga benar-benar lega. Dia ikhlas kehilangan semua sahamnya setelah ini. Dia ikhlas dimusuhi orang tuanya karena masalah ini, apapun itu Arga sudah tidak peduli. Dia sudah terlanjur hancur, jadi sekalian saja! "Siapa lelaki itu?" Entah pada siapa Dicky bertanya, namun Arga inisiatif menjawab lebih dulu. "Masalah itu, tanyakan saja pada yang bersangkutan, Pa. Dia yang lebih tahu. Daripada nanti Arga yang ngomong malah jadi salah tuduh orang." Arga bersandar dengan begitu bantai di kursi. Padahal Arga sudah tahu betul siapa orang itu, siapa lelaki yang jadi pria idaman lain Indira, tetapi biarlah itu jadi urusan Indira dengan bapaknya. Indira menatap Arga dengan tatapan mata tajam, ia lantas menatap Dicky dengan tatapan tidak terima."Kenapa hanya aku yang di tanya? Dia
"Sekarang talak aku, Mas!" Titah Indira setelah mereka habiskan jam makan siang untuk membahas permasalahan rumah tangga Indira. Dicky mengusap wajahnya dengan tangan. Nampak ia masih begitu syok dan kecewa dengan apa yang terjadi. Semua yang dia sangka baik-baik saja, ternyata begitu rumit dan pelik."Indira Yustina Pramudita, saya talak kamu. Mulai sekarang kamu bukan istri saya lagi!" Jika ketika mengucap ijab qobul dulu Arga bisa dengan satu tarikan napas. Maka ketika mengucap kalimat barusan, Arga tidak bisa dengan satu tarikan. Tetapi setelah kalimat itu terucap dari bibirnya, entah mengapa hati Arga lega luar biasa. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menghimpit luruh dan lepas seketika. Dicky menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh berderai setelah kalimat itu ia dengar. Anak gadis kesayangannya. Anak gadis yang dia usahakan bisa mendapatkan partner hidup terbaik, ternyata harus berakhir seperti ini rumah tangganya? Tidak pernah
"Baik!" Arga kembali buka suara setelah mereka cukup lama terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. "Kalau memang itu yang kamu mau, Ra, akan aku lakukan dan turuti."Arga bangkit, sebuah tindakan yang membuat hati Clara lantas tenang dan jauh lebih baik. Dia hendak pergi keluar dari ruangan ini, bukan? "Tapi satu yang perlu kamu tahu dan ingat betul-betul, Ra, bahwa aku tidak akan pernah bisa bunuh cinta yang aku punya buat kamu! Sampai kapanpun!" Clara menahan diri untuk tidak menoleh menatap wajah itu. Dia tidak mau terjebak dalam sorot mata yang memohon belas kasihan. Clara tidak mau kembali masuk perangkap. "Kelak, suatu saat jika dia mengecewakanmu, menyakiti atau berhenti mencintaimu. Tolong, kembali padaku, Ra! Aku akan dengan senang hati menerimamu kembali bagaimanapun kondisimu, berapapun anakmu. Tolong ingat betul-betul ucapanku!"Arga melangkah keluar dari ruangan itu. Membuat Clara langsung menghela napas lega dan me
“Kau gila, In! Serius kau benar-benar gila!”Tangan Morgan mengepal, napasnya naik-turun. Ia benar-benar tidak menyangka wanita yang selama ini dia pikir juga merupakan korban dari lelaki berengsek macam Arga, ternyata bahkan lebih berengsek dari Arga itu sendiri.Di saat hari bahagia Morgan dan Clara sudah di depan mata, Indira malah membuat gara-gara dengan meminta cerai pada Arga! Lelaki yang Morgan tahu betul masih begitu berambisi pada calon istrinya.“Lantas maumu aku harus bagaimana? Berdiam diri terus?” ujar wanita itu balik bertanya.Morgan membelalak, rasanya ia ingin memukul wanita itu dengan tangannya sendiri secara langsung. Siapa memangnya yang menyuruh dia bertahan? Bukankah dulu dia sendiri yang bilang kalau dia memutuskan untuk masih tetap bersama Arga karena ingin membalas dendam atas apa yang sudah Arga lakukan kepadanya? Kenapa sekarang dia bertingkah seperti Morgan yang menyuruh dia bertahan menjadi istri Arga?
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la