Sekitar satu jam lamanya kaisar bersama kedua orang kepercayaannya mendiskusikan jalan keluar dari masalah yang tengah mengguncang kedamaian kekaisaran. Mereka akhirnya mampu menemukan kesepakatan yang membuat sang kaisar cukup puas. "Parveen, ketika matahari tepat berada di atas kepala, umumkan dekritku ini ke seluruh penjuru Bavelach," perintah Vernon menyerahkan gulungan dekrit kaisar yang baru saja selesai ia tulis. Parveen membungkukkan badannya menerima gulungan itu dengan tangan terbuka. "Baik, Yang Mulia, titah anda akan saya lakukan segera." Setelah itu Parveen pamit untuk pergi ke kediamannya sembari bersiap untuk mengumumkan dekrit satu jam lagi. Vernon akhirnya kini dapat beristirahat dengan tenang, meskipun dalam batinnya masih terdapat sedikit kekhawatiran mengingat betapa liciknya Kerajaan Muez. "Huh, semoga Tuhan melindungi Kekaisaranku ini." Baru beberapa saat sang kaisar beristirahat, seorang pengawal menghadap kepadanya. "Ada apa lagi? Apakah kau tidak meliha
"Yang Mulia mungkin tidak akan percaya dengan apa yang saya katakan. Tapi di sinilah saya mulai berpikir sebenarnya Pangeran Adrian yang sekarang dan dengan Pangeran Adrian yang dahulu merupakan dua entitas yang berbeda. Pangeran Adrian memiliki pengetahuan yang tidak diajarkan di kekaisaran ini."Sang kaisar yang sedari tadi menyimak penjelasan Zilano mendadak mengernyit. "Apa maksudmu?" Zilano lantas mendongak menatap sang kaisar tak lama. "Tadi saat kami melewati pavilium pelayan, tiba-tiba pangeran berhenti dan merasa heran dengan para pelayan pria yang sedang mengambil air tanah. Setelah itu pangeran meminta saya untuk mengambilkan sebuah tali. Lantas pangeran mengikatkan tali tersebut pada bejana kayu yang digunakan pelayan untuk mengambil air. Kemudian tanpa di sangka pangeran melemparkan bejana tersebut ke lubang air kemudian menarik bejana tersebut dengan tali yang ia kaitkan dan tanpa disangka bejana tersebut benar-benar sampai ke atas dengan berisi air. Hal itu jujur saja
"Nyonya ... Nyonya .... "Sebuah suara panggilan di depan peraduannya membuat Jirea terusik. Ia yang sedang menyulam, mendadak menghentikan kegiatannya begitu mendengar suara gaduh.Kriett ..."Selly, apa kau ingin mati?!" seru Jirea berteriak marah.Selly yang nenyadari tadi mengetuk pintu dengan tak sopan segera bersimpuh di depan nyonyanya."Mohon ampun, Yang Mulia, saya pantas dihukum," ucapnya memohon ampun.Jirea yang malas meladeni lebih lanjut, memilih mengajukan pertanyaan lain. "Baiklah, katakan ada apa? Kenapa kau menggedor pintuku?" Selly akhirnya mendongak. Ia menatap nyonyanya panik."Gawat, Nyonya, sepertinya Pangeran Adrian membuat kekacauan lagi," beritahunya membuat bola mata Jirea melotot."APA KAU BILANG?!"Masih dalam posiai bersimpuh, Selly mulai menceritakan kejadian yang ia saksikan di dekat pavilium pelayan. Ia menceritakan mulai dari sang kaisar yang datang dan menegur Adrian. Selly juga bercerita jika Adrian melarikan diri tanpa hormat.Tangan Jirea terkepa
Derap langkah menyusuri lorong demi lorong. Sampai di depan sebuah pintu langkahnya terhenti. "Izinkan aku untuk bertemu Yang Mulia Kaisar," ucapnya kepada dua pengawal yang menjaga pintu pavilium kaisar. Kedua prajurit itu lantas membungkuk hormat. Kemudian salah satu di antarnya menjawab, "mohon maaf, Tuan Putri, Yang Mulia sedang beristirahat. Mungkin Tuan Putri dapat kembali nanti." Mendengar jawaban tersebut, mau tak mau Laveena menurut. Meskipun sebenarnya ia semakin gusar karena tak kunjung mendapat kepastian. Laveena lantas berjalan pergi. Ia hendak kembali ke pavilium tempatnya menginap, tapi ketika ia melewati sebuah lorong, langkahnya terhenti. "Apa yang ia lakukan?" Untuk melihat lebih jelas, ia berjalan lebih dekat. Rupanya ia tengah menyaksikan seorang pemuda yang sedang kerepotan melakukan sesuatu. Sosok yang menarik perhatiannya itu terlihat mendirikan sebuah palang kayu di atas sebuah lubang. Tentu saja hal itu membuat banyak pelayan berkerumun penasaran.
"Hey, kau mendengarku?" seru Adrian kepada sesosok pemuda yang tengah menari-nari mengayunkan pedang dengan lihai. Bukannya menjawab, pemuda itu justru masih membisu karena terfokus kepada gerakaan berpedangnya. Merasa tak dihargai, Adrian melemparkan sebuah apel di tangannya yang tadinya sedang ia makan. Dan begitu apel tersebut melayang di udara, dengan sadisnya Zilan menebas apel tersebut menjadi dua bagian. "Woaa, amazing!" seru Adrian takjub melihat permainan berpedang yang Zilano kuasai. Ia bahkan sampai melupakan rasa kesalnya akibat gerakan refleks menakjubkan yang Zilano tunjukkan. Slup .... Cendikiawan yang bukan hanya pandai dalam berpikir melainkan juga pandai bertarung itu menyakukan pedangnya pada selongsong pedang. Ia lantas berjalan mendekat. "Bahasa apa lagi yang kau gunakan itu, Pangeran?" tanya Zilan santai. Nyatanya pertanyaan santai itu membuat Adrian kelimpungan. Ia lagi-lagi kelepasan mengucapkan bahasa asing tersebut. "Hehehe, kalau begitu kau hapalkan
"Dan kini Adrian mulai bergerak mengambil hati pelayan dan pengawal istana. Jika sudah seperti ini apakah kau akan diam saja, Putra Mahkota George?" Mendengar penuturan sang selir George terpaku. Ia begitu tertampar mendengar perkataannya. Pangeran yang ia kenal lugu, bodoh dan selalu berbuat mencolok untuk menarik perhatian orang-orang yang mengacuhkannya, terdengar mustahil bisa berfikir licik seperti itu. "Tidak! Kau pasti hanya ingin semakin memicu kebencianku kepada anakmu itu kan?" jawab George menyadari dirinya sedang di provokasi. Ia sebetulnya masih tidak mempercayai sepenuhnya wanita di depannya itu. Jirea terkekeh geli mendengar jawaban George yang menurutnya masih berpikir lugu. "Putra Mahkota George, apa kah kau sebenarnya memang selugu itu?" Alis George mengerut marah. Namun belum sempat ia menyanggah, Jirea kembali menyerobot. "Aku tidak membual untuk menakut-nakutimu, tapi Yang Mulia Kaisar mulai terkesan dengan kemampuan Adrian. Apa kau tidak merasakan akhir
"Sudah berapa lama?""Tiga hari, Pa. Mama mohon lakukan sesuatu, Pa," mohon seorang wanita paruh baya kepada suaminya yang terlihat malas.Suaminya menepis tangan istrinya yang menggelayuti lengannya. Ia merasa tak senang melihat sebuah pintu dan isterinya secara bergantian."Sialan, beban satu belum juga tuntas, sekarang ada satu lagi yang bertingkah. Kenapa kau hanya melahirkan anak bermasalah sih?"Hati Heyne menceplos mendengar perkataan suaminya. Namun ia tak bisa membantah demi keselamatan keluarga mereka.Brakk ... brak ..."KIM, BUKA PINTUNYA SEKARANG!" Dengan tenaga kuat, Leonard menggebrak pintu sang anak. Sudah tiga hari anak bungsunya itu mengurung diri di dalam kamar. Entah apa yang terjadi, semenjak pulang dari berdagang empat hari lalu, sikap sang anak berubah pendiam. Puncaknya ketika tiga hari lalu Kim berteriak histeris kemudian mengunci diri di kamar."Nak, ayo buka kita bicarakan permasalaham yang sedang kau hadapi," ucap Heyne membujuk dengan lembut.Namum nyatan
"CUKUP KALIAN BERDUA, HENTIKAN!!" Sesosok wanita anggun dengan gaun mewah berdiri menatap syok di hadapan Adrian yang kini sudah menindih tubuh George yang tak berdaya. Sebenarnya keadaan Adrian tak kalah memprihatinkan dengan banyaknya luka sayatan pedang, sedangkan George didominasi dengan luka lebam. "Permaisuri?" Tangan lembut sang permaisuri mendorong tubuh Adrian kuat-kuat. Adrian turun dari atas tubuh George, bukan karena kuatnya dorongan Audreya, melainkan karena rasa malunya dan bersalahnya kepada sang permaisuri. Audreya menatap anak kandungnya yang sudah hampir tak sadarkan diri. Ia menggenggam tangan George sembari menitihkan air mata. "Ibunda?" lirih George dengan suara parau. Adrian melirik sosok Audreya yang menangisi George yang terluka. Dengan perlahan ia bergeser sedikit menjauh dengan tertatih. Luka-luka pada tubuhnya mendadak terasa nyeri. "Pangeran?" Zilano memanggil pelan Adrian yang sibuk memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Tadi sebetul
Di dalam ruangan yang begitu gelap, Adrian berdiam diri. Ia masih terhenyak dengan kejadian hari ini. Dimulai dengan sosok Kimberly yang tiba-tiba muncul di sini sampai kematian permaisuri yang begitu mendadak. Pangeran itu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah buntu memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Kematian permaisuri menjadi alarm bahaya untuknya. "Aku harus menemui Jirea karena seharusnya dialah dalang dibalik kematian permaisuri," ucap Adrian dengan suara parau. Dengan sisa-sisa harapan, ia keluar dari peraduannya untuk menemui sosok tersangka yang ia yakini. Ketika ia sampai di istana utama, banyak prajurit yang korban dari penyerangan yang telah tiba di istana. Adrian menarik lengan seorang prajurit yang sedang berjalan cepat. "Katakan, apa permaisuri telah tiba?" tanya Adrian menodong keras. Prajurit itu nampak takut melihat sosok Adrian yang berbeda. Penampilan Adrian memang terbilang kacau, namun tatapan tajam itu membuat siapapun tak mampu berkutik.
"Nyonya, apakah nyonya sudah dengar mengenai kabar permaisuri?" Jirea yang tengah sibuk menyulam tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu mendengar satu nama yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Alisnya terangkat satu memandang penuh tanya. Ia lantas meletakkan sulamanya kemudian mengode Roger untuk mendekat Roger dengan segera menghampiri Jirea lebih dekat lantas membisikan sesuatu. "Rombongan permaisuri telah diserang." Sebaris kalimat itu membuat wajah Jirea seketika sumringah. Senyuman miring segera terbit dari bibir ranumnya. "Muez menangkap umpannya?" responnya dengan sebuah pertanyaam ambigu. Menangkap apa yang Jirea maksud Roger lantas mengangguk. "Kudengar seluruh prajurit terbantai dan itu artinya permaisuri telah tewas," balas pria tersebut berbinar senang. Wajah puas dan angkuh seketika terbit. Jirea bangkit dari duduknya lantas berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya lantas melemparkan sebuah kantung berwarn
Kegaduhan di dalam istana tidak terkendali. Banyak para pelayan dan prajurit yang berlarian. Sama halnya dengan sosok jenderal gagah yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Dari raut wajahnya yang tegas tulang rahangnya nampak begitu menonjol seolah tengah memendam amarah. "Panglima Agung!" teriaknya dengan keras begitu memasuki sebuah ruangan.Sang empu yang tadinya tengah memejamkan mata tersentak kaget."APA APAAN KAU INI!" teriak Roger berbalik marah.Terrson menggeram marah. "Disaat kegaduhan yang terjadi bagaimana bisa kau justru tidur?" tanyanya dengan sarkas.Raut lugu ditunjukkan oleh Roger. "Apa maksudmu?" "Rombongan permaisuri di serang—""APA?!" Belum usai Terrson menjelaskan, Roger sudah terlebih dahulu menyela. Nyatanya jabatan tak menjamin pengetahuan seseorang. Panglima tertinggi itu ternyata tak tahu menahu mengenai kejadian yang menimpa permaisuri. "Aku perintahkan kau menghadap kaisar. Aku akan mengurus sisanya," ucap Roger cepat. Ia bergegas menggunakan pakaian
Bughh Begitu melihat lawannya lengah, sosok bertudung hitam itu segera menendang perut mangsa di depannya. Adrian yang mendapat serangan kejutan itu terdorong mundur. Ia lantas terbatuk dan merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. "Ahh sial aku lupa masih memiliki cidera," gumam Adrian lantas meludahkan air liur bercampur darah.Mata elang sang pangeran menyorot tajam."Hey, Kimberly! Berhentilah bercanda. Aku tak mengerti sejak kapan kau menguasai bela diri," ucap Adrian masih tidak bisa melihat situasi yang terjadi.Wanita dibalik tudung itu sempat menatap pangeran heran. Namun tak berlangsung lama begitu melihat Adrian mendekat, itu segera mengayunkan bilah pisaunya diarahkan ke tubuh lawan. Namun Adrian tidak lagi membiarkan lawannya menghajarnya, dengan sigap ia membaca gerakan tangan wanita itu kemudian menangkapnya. "Hey! Kim, ini kakak! Apa kau tidak mengenaliku?" seru Adrian bersuara keras tepat di depan telinga begitu berhasil mengunci pergerakan sosok perempuan yang i
"Hah?! Apa yang baru saja terjadi?"Pangeran segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri di depan cermin lantas terpaku menyaksikan bayangannya sendiri. Ia terbelalak menyaksikan pantulan cermin yang memperlihatkan postur tubuhnya yang berusia 25 tahun. Masih dengan kemeja putih yang lusuh dan tatanan rambut berantakan. Sayangnya begitu ia mengerjapkan mata, pantulan cermin berganti menjadi sosok pemuda berpakaian kerajaan dan berusia 18 tahun."Apa aku tadi sedang bermimpi?"Tangannya seketika menyentuh dadanya yang beberapa saat lalu terasa sakit.Matanya menyorot lurus bola matanya yang terpantul dalam cermin."Tidak, itu bukan mimpi. Itu adalah ... prekognisi," bisik Adrian lantas secepat kilat berlari menuju pintu peraduannya. Prekognisi merupakan bagian dari ilmu parapsikologi yang membahas mengenai kemampuan seseorang untuk melihat atau memprediksi gambaran masa depan. Biasanya hal itu datang melalui media mimpi prekognitif.Knop pintu berusaha Adrian putar, namun pintu t
Semburat jingga terlihat di ufuk barat pertanda hari sebentar lagi berganti malam. Angin bertiup lembut menenangkan jiwa. Namun berbeda dengan sosok pria yang sedari tadi berjalan ke sana ke mari di depan sebuah pintu yang dijaga ketat oleh prajurit."Ayolah pangeran keinginanmu sudah ditolak, pasti keputusan permaisuri tak akan berubah.""Kita tidak akan tau sebelum mencobanya hingga detik terakhir," ucap sang pangeran dengan sok bijak padahal dalam hatinya terbesit rasa takut dan putus asa.Ceklek ...Pintu itu terbuka lebar lantas muncul sesosok wanita bergaun tertutup dengan dua dayang di belakangnya."Heira, kau pastikan jangan ada barang yang tertinggal," ucap sang permaisuri lantas kembali berjalan tanpa mengindahkan dua pemuda yang menantinya di depan pintu."Permaisuri ... " panggil Adrian terus mengikuti jalan sang wanita. Beberapa kali ia memanggil namun wanita itu tak menggubris. Adrian tak kehabisan akal, ia mencegat jalan sang permaisuri. Namun tetap sang permaisuri me
Setelah seharian penuh, akhirnya rombongan Putri Laveena tiba di kerajaan. Ketika kereta kuda terhenti, sang putri bergegas bersiap keluar. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak massa yang ada di depan gerbang istana. "Ada apa ini?" tanya Laveena kepada prajurit yang membukakan pintu. "Izin menjawab, Tuan Putri, semenjak dekrit kaisar diumumkan, entah mengapa justru banyak pihak yang tidak puas. Beberap saat lalu para cendikiawan Deoreva mengirimkan banyak petisi," jawab prajurit itu sembari membantu Laveen menuruni kereta kuda. "KAKAK?!" Laveena kenal betul dengan suara itu, ya siapa lagi kalau bukan adik satu-satunya itu. "Akhirnya kakak pulang! Aku menunggumu sedari pagi tau, Kak. Kau membuatku khawatir kupikir kau pulang kemarin," ujar Rhiannon begitu sampai di depan kakaknya langsung memeluknya erat. Melihat raut lelah kakaknya, Rhiannon segera menggandeng kakaknya untuk masuk. "Aku tidak sabar mendengar apa yang kau lakukan di sana, Kak," kata Rhiannon kemudian t
Zilano berjalan menyusuri lorong dengan wajah dingin. Ia terlihat tergesa menuju kesuatu tempat. Meskipun matanya nampak terfokus pada jalanan lorong, nyatanya pikirannya melalang buana kepada ucapan ayahnya benerapa saat lalu. ^^^ "Apa yang terjadi? Katakan cepat!" Zilano yang masih dilanda kepanikan berusaha menghindar. Namun sayangnya tak bisa, ayahnya telah menutup ruang geraknya. Tadi ketika ia menggendong George menuju pavilium tabib, tanpa sengaja bertemu Parveen yang sedang berjalan dari arah berlawanan pada lorong jalan yang menuju pavilium tabib. Sehingga usai keluar dari pavilium tabib dengan buru-buru, Parveen menyeret anaknya untuk diinterogasi. "Mengapa kau hanya diam saja, Zilan!" bentak Parveen kehilangan kesabaran. Pada akhirnya Zilano menyerah. Ia membenturkan tubuhnya pada tembok. "Aku tak tahu ayah! Putra mahkota dan pangeran hampir saja saling membunuh dan aku harus segera mencari keberadaan pangeran. Jadi kumohon menyingkirlah!" Parveen terbelalak
Wewangian tumbuhan herbal seketika menyeruak di indera penciuman Adrian. Matanya yang terasa berat perlahan mulai dapat terbuka. Begitu kesadarannya kembali, tubuhnya terasa kaku dengan rasa nyeri yang berdenyut di mana-mana. "Aishhh," ringisnya mendadak perutnya terasa sakit bukan main. Tangannya sontak meraba dan ia menemukan sebuah kain yang membungkus keseluruhan perutnya. Karena kesulitan mengangkat tubuhnya, ia melirik perutnya yang ternyata terdapat kasa putih membalut lukanya. "Pavilium tabib? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau. Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki ruangannya. Netra birunya terpaku melihat seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Teringat kejadian beberapa saat lalu, Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak ingin berkontak mata lagi dengannya. "Pangeran .... " Adrian tak menggubris, ia berlagak memejamkan mata kembali. Namun ketika sebuah sentuhan hangat terasa pada punggung tangannya