Hari ini merupakan hari pertama Jelita bekerja di lembaga Mitra Air Bersih Nasional di Desa Jatilima. Kantor lembaga yang jam kerjanya dimulai pukul 08.00 pagi itu disambangi Jelita sejak jam 06.45 waktu setempat, jelas tidak ada satupun pegawai yang sudah siap bekerja di jam tersebut. Setelah memperkenalkan dirinya kepada satpam yang bertugas hari itu, Jelita dipersilakan masuk ke kantor lembaga lima menit kemudian. Ia masuk dalam keadaan kantor masih gelap gulita dan kosong melompong.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, Jelita melihat-lihat keadaan kantor lembaga yang tidak semegah suasana kantor pusat, namun masih memberikan kesan modern dan asri. Lantainya tidak dilapisi karpet meteran, dengan furniture serba kayu penuh dengan ukiran cantik. Sekat-sekat antar kubikel dibuat rendah dan memberi kesan ramah serta terbuka. Jelita menghampiri meja pegawai satu persatu, dari sekedar mencobai kursi yang berbeda-beda, ia juga sedikit mengintip beberapa kertas kerja y
“Hai, teman-teman semua. Nama saya Jelita. Boleh dipanggil Jelita atau Lita, bebas mau yang mana. Alhamdulillah tidak lama selepas lulus kuliah dan wisuda, saya diterima sebagai Staff Community Engagement di lembaga kita tercinta ini, Mitra Air Bersih Nasional. Ini merupakan hari pertama saya, dan saya sangat semangat untuk memulai berkarya. Saya mohon sekali bimbingan dari teman-teman sekalian,” kata Jelita mantap di hadapan seluruh pegawai lembaga itu saat Bu Novi memintanya untuk memperkenalkan diri. Lembaga Mitra Air Bersih Nasional yang memiliki kantor pusat di ibu kota itu juga memiliki beberapa kantor cabang di tiga desa untuk memudahkan proses pekerjaan, pengerjaan proyek air bersih dan untuk survey serta memonitor seluruh aktifitas yang berkaitan dengan proyek air bersih. Salah satu desa yang terpilih adalah Desa Jatilima. Kantor cabang Desa Jatilima itu sendiri sudah tiga puluh lima tahun berdiri tegak dengan rata-rata performa yang sangat bagus. Di
“Jadi bagaimana kesan-kesan di hari pertamamu ini, Jelita?” tanya Bu Novi mengevaluasi Jelita selepas jam kerja kantor. Seluruh pegawai lembaga itu telah kembali ke mess pegawai dan sibuk oleh urusan pribadi mereka masing-masing, kecuali Bu Novi dan Jelita. Setengah jam sebelum jam kantor selesai, Jelita memenuhi panggilan Bu Novi. Di situ Bu Novi meminta Jelita untuk bekerja lembur, bahkan di hari pertamanya bekerja. Jelita langsung mengiyakan tanpa bertanya tugas apa yang perlu ia kerjakan dan selesaikan bahkan di hari perdana ia bekerja di kantor lembaga itu, karena ia teringat pesan dari Belinda atau Abel yang disampaikan siang tadi. Jelita akhirnya berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa segala instruksi dan interaksi yang dilakukannya bersama Bu Novi dan Rama merupakan bagian dari penilaian oleh keduanya terhadap dirinya untuk menilai kelayakan kinerjanya sebagai pegawai baru. Bukan apa-apa, Jelita yang kini cukup ambisius dengan pencapaiannya tidak lagi
Hari kedua bekerja di lembaga dimulai Jelita dengan pengalaman kurang menyenangkan. Ia dan Abel datang terlambat. Wajar, karena keduanya menghabiskan sisa malam dengan bertukar cerita dan memesan lebih banyak lagi makanan dari pedagang makanan yang melintasi mess lembaga. Parahnya lagi, kedatangan Jelita yang dinanti Bu Novi dan Rama tidak bisa mentolerir keterlambatannya. Sudah lebih dari empat puluh menit para kolega lain memulai pekerjaannya, Jelita dan Abel baru saja tiba. “Dari mana saja kalian? Mengapa terlambat? Terutama Jelita, bisa saya minta penjelasannya?” sebuah sapaan yang tidak diharapkan dari seorang boss, kini Jelita harus menuturkan berbagai alasan kepada Bu Novi yang tatapannya mengisyaratkan kekecewaan. “Maaf, Bu. Semalaman kami banyak bercerita hingga akhirnya begadang dan membuat kami terlambat sampai di kantor,” Jelita mengucapkan secara jujur. Abel hanya bisa tertunduk lesu, dirinya diliputi perasaan bersalah karena sempa
Malam harinya ketika Jelita sudah menyelesaikan makan dan ritual mandinya, ia menelepon sang Ibu yang ia tebak sedang duduk bersantai di ruang keluarga bersama Ayah dan Adiknya. “Assalamualaikum, Bu. Ibu sedang apa? Pasti lagi sama Ayah dan Adik, ya? Duh, Jelita kangen sekali,” sapa Jelita membuka pembicaraan via telepon itu. “Waalaikumsalam, Nak. Ini Ibu sedang sendirian, kok, baru saja pulang dari toko. Adikmu kan sedang berkemah dengan sekolahnya, Ayah sedang bekerja,” jawab sang Ibu. Ibu Jelita merupakan pekerja toko yang bertanggung jawab sebagai kasir dengan upah kerja yang nyaris mepet dengan upah minimum pekerja yang telah ditetapkan pemerintah, sedangkan Ayahnya merupakan pekerja lepas yang tidak tentu jenis pekerjaan dan jadwal bekerjanya. Terkadang tenaga Ayah diperbantukan untuk menjadi anggota sebuah event organizer ketika sedang banyak acara di kota, terkadang Ayah menjadi supir keluarga besarnya, pernah juga Ayah d
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta