Pagi itu, Ezra bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya tidak pernah berhenti memutar ulang momen terakhirnya bersama Kaira. Keputusan untuk memberikan waktu pada Kaira seharusnya menjadi pilihan yang bijak, tetapi hati kecilnya terus mendesaknya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Ia mengambil jaketnya dan berjalan keluar. Tidak ada tujuan pasti, hanya ingin mengusir kekalutan yang terus menghantuinya. Langkah-langkahnya membawanya ke taman kota, tempat yang sering ia kunjungi untuk menenangkan diri. Namun, kali ini, ketenangan itu terasa jauh.Di sisi lain, Kaira duduk di meja kecil di dapurnya. Secangkir teh di hadapannya sudah dingin, belum sempat ia sentuh. Pikirannya kacau, mencoba mencari cara untuk mengungkapkan apa yang sedang ia alami pada Ezra. Ia tahu ia tidak bisa terus menyimpan semuanya sendiri.Teleponnya bergetar, mengejutkannya dari lamunannya. Pesan dari Ezra masuk."Kaira, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika ada sesuatu yang kamu sem
Kaira berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan keraguan. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya, meskipun Ezra sudah berusaha menenangkannya. Di satu sisi, ia ingin menutup bab masa lalunya, tetapi di sisi lain, ia tahu pertemuan itu mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.Ezra duduk di sofa ruang tamu Kaira, memainkan mug berisi teh hangat di tangannya. Ia tampak tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Kaira dengan penuh perhatian. "Kaira, aku tidak akan memaksamu mengambil keputusan. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang kamu putuskan, aku ada di sini."Kaira berbalik, menatap Ezra dengan ragu. "Aku hanya takut... Jika aku bertemu dengannya, itu akan menyakiti kita. Tapi jika aku tidak menemuinya, aku merasa tidak adil untuk mengabaikannya begitu saja."Ezra mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Mungkin yang terpenting adalah apa yang kamu inginkan, bukan apa yang dia inginkan. Pertanyaan yang harus kamu tanyakan adalah: Apaka
Pagi itu, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar Kaira, menandakan awal dari hari yang baru. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponselnya dari Adrian. Meski ragu, Kaira akhirnya membaca pesan itu:"Aku ingin bicara lagi, Kaira. Hanya sebentar, tolong."Kaira menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan keputusan mudah. Setelah pertemuan terakhir mereka, Kaira merasa hubungannya dengan Adrian sudah menemukan titik akhir. Tapi pesan itu menyalakan percikan rasa penasaran—atau mungkin rasa tanggung jawab—untuk memberi kejelasan.Sementara itu, Ezra sedang sibuk mempersiapkan kejutan kecil untuk Kaira. Setelah percakapan mendalam mereka beberapa malam lalu, ia merasa perlu memastikan bahwa Kaira tahu betapa seriusnya ia terhadap hubungan mereka. Ia menyiapkan makan siang piknik di taman favorit Kaira, lengkap dengan bunga-bunga yang ia pilih sendiri dari toko Kaira tanpa sepengetahuannya.Ketika Ezra akhirnya menghubungi Kaira untuk mengajaknya bertemu, suara di
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah perbincangan jujur itu. Ezra dan Kaira mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang. Hubungan mereka tampak lebih kokoh, tetapi kehidupan tidak pernah berhenti memberikan ujian.Pagi itu, Ezra sedang bersiap untuk pergi ke kantor ketika sebuah telepon datang dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan santai, tetapi suaranya berubah serius setelah beberapa detik mendengar isi pembicaraan di ujung sana.“Aku akan segera ke sana,” jawab Ezra singkat sebelum menutup panggilan.Kaira, yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir teh di tangannya, memperhatikan ekspresi Ezra yang berubah tegang. “Ada apa, Ezra?” tanyanya, cemas.Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada masalah di kantor. Salah satu proyek besar yang aku tangani mengalami kendala. Mereka butuh aku di sana segera.”Kaira mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Apa aku bisa membantu?”Ezra tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Kam
Hari-hari setelah pertemuan Kaira dengan Adrian berlalu dengan tenang, tetapi bukan tanpa tantangan. Meskipun Adrian telah menghilang dari kehidupan mereka, bayangan masa lalu dan kekhawatiran yang tersisa masih menyelimuti hubungan Kaira dan Ezra.Ezra semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam karena proyek besar yang tengah ia tangani. Di sisi lain, Kaira merasa waktu kebersamaan mereka semakin sedikit, meskipun ia memahami bahwa Ezra melakukannya untuk masa depan mereka. Namun, jarak yang perlahan terbentuk itu membuat Kaira mulai merasakan kekosongan.Suatu malam, Ezra pulang lebih lambat dari biasanya. Kaira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hangat terlihat lelah. Saat Ezra membuka pintu, ia mencoba tersenyum, tetapi Kaira tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaira, meletakkan cangkir tehnya di meja.Ezra mengangguk sambil melepas jasnya. “Hanya lelah. Hari ini sangat berat.”Kaira berdiri, mendekat untuk memelukn
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Langit malam mulai gelap ketika Kaira tiba di depan apartemen Ezra. Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop pintu. Hatinya terasa berat dengan semua percakapan yang baru saja ia lalui bersama Adrian.Ezra yang sedang duduk di ruang tamu mendongak ketika Kaira masuk. Ia langsung menyadari perubahan di wajah Kaira—ekspresi penuh kebingungan dan kecemasan. “Kaira? Kamu nggak apa-apa?”Kaira terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku... aku butuh bicara sama kamu, Ezra.”Nada suaranya membuat Ezra berhenti. Ia menaruh buku yang sedang dibacanya ke meja dan berdiri, mendekati Kaira. “Ada apa? Apa yang terjadi?”Kaira menatap mata Ezra, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tadi ketemu Adrian.”Ezra tertegun sejenak. Ia menatap Kaira, berusaha memahami maksud kata-katanya. “Adrian? Maksudmu... mantan kamu?”Kaira mengangguk pelan. “Dia... dia bilang ingin bicara tentang masa lalu. Aku pikir aku sudah selesa
Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah
Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr
Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j
Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek
Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi
Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or
Pagi itu, Ezra memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah cukup lama menghindar dari masalah yang berhubungan dengan Ryan, tapi kali ini, dia tahu tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu. Ancaman Ryan bukan hanya tentang dirinya lagi; kini Kaira juga terlibat, dan Ezra tidak akan membiarkan orang yang ia cintai berada dalam bahaya.“Ezra, apa kau yakin ini langkah yang benar?” tanya Kaira, mengerutkan kening saat melihat Ezra bersiap untuk pergi. Di atas meja, ponsel Ezra terus berbunyi, menunjukkan pesan-pesan dari kontak yang jarang ia hubungi.Ezra mengangguk, meski wajahnya tampak tegang. “Aku harus melakukannya, Kaira. Jika aku tidak menghadapi dia sekarang, dia akan terus mendekati kita. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.”Kaira meraih tangan Ezra, mencoba mencari keberanian di balik ketakutan yang meliputi dirinya. “Tapi jangan lakukan ini sendirian. Aku tahu kau kuat, Ezra, tapi Ryan bukan orang biasa. Dia licik dan tidak terduga.”Ezra memandang Kai
Ezra merasa darahnya mengalir lebih cepat ketika mengenali wajah orang di hadapannya. Itu adalah seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari masa lalu yang sudah lama ia kubur. Wajah itu, dengan sorot mata tajam penuh amarah, adalah milik Ryan—teman lama yang pernah menjadi rekan terdekatnya sebelum segalanya berubah.“Ryan...” Ezra akhirnya berkata dengan nada bergetar. “Kau... Aku pikir kita sudah menyelesaikan semua ini bertahun-tahun lalu.”Ryan tersenyum tipis, tapi ada api dendam di balik senyuman itu. “Menyelesaikan? Tidak, Ezra. Kau yang memilih untuk pergi, meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi aku? Aku yang menanggung semua akibatnya.”Ezra mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meninggalkanmu begitu saja. Aku harus pergi karena keadaan memaksa. Kau tahu itu.”“Keadaan?” Ryan mendekatkan tubuhnya ke meja, menatap Ezra dengan intens. “Kau bisa saja tetap tinggal, Ezra. Kau bisa membantuku. Tapi kau memilih kabur. Dan sekarang, aku di sini untuk m
Matahari pagi perlahan muncul di balik tirai jendela kamar Ezra, memberikan cahaya hangat yang menyinari ruangan yang masih dipenuhi suasana hening. Ezra bangun lebih awal dari biasanya, membawa secangkir kopi hitam ke balkon apartemennya. Ia memandang ke kejauhan, menyaksikan hiruk-pikuk kota yang mulai menggeliat. Namun pikirannya tetap tertuju pada Kaira.Kaira, di sisi lain, juga terbangun lebih pagi. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di taman dekat apartemennya. Langkah-langkahnya kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Pikiran tentang Ezra dan pesan singkat mereka malam tadi terus terngiang di benaknya. Itu memberinya perasaan tenang, meski ada kekhawatiran yang tetap mengendap.Saat itu, ponsel Kaira bergetar di sakunya. Pesan dari Ezra masuk."Pagi, Kaira. Aku harap hari ini lebih baik untukmu. Kalau kau punya waktu, bagaimana kalau kita bertemu sore ini di kafe biasa? Aku ingin berbicara."Kaira membaca pesan itu dengan hati-hati. Kata-