“Huh, dan kamu itu wanita tidak tahu malu. Kamu—“ Kalimat Nyonya Reya terhenti ketika Vivian dengan seenaknya berbalik badan dan kemudian melangkahkan kaki keluar dari pintu gedung perusahaan tersebut.“Eh, mau ke mana kamu? Berani-beraninya pergi begitu saja, aku ini sedang bicara dengan kamu!” teriak Nyonya Reya yang langsung mengikuti langkah Vivian untuk keluar dari gedung perusahaan tersebut. Namun saat ia sudah sampai di depan gedung, tiba-tiba Vivian seolah menghilang. Ia pun menatap ke segala arah untuk mencari sosok Vivian, tetapi tetap tak menemukannya.Hingga, sesaat kemudian ia mendekati petugas keamanan yang sedari tadi berjaga di depan pintu perusahaan.“Kamu tahu ke mana larinya Nyonya Vivian?” tanya Nyonya Reya sembari berkacak pinggang dan terus mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut.“Nyonya Vivian?” tanya petugas keamanan itu sembari mengerutkan keningnya.Ya, tentu saja petugas keamanan itu merasa bingung, karena ia memang tidak mengenal sosok Vivian
Seorang wanita memasuki rumah. Wajahnya pun menyiratkan lelah setelah seharian bekerja. Vivian menghela napas. “Hari ini aku benar-benar lelah. Bisa-bisanya ada kejadian menggelikan. Hmm? Suara tangis siapa ini?”Vivian berjalan cepat memasuki rumah. Matanya membulat saat ia mendapati Jessi sedang menangis tersedu-sedu. Wanita yang sedang duduk di sofa ruang keluarga itu menangis terisak. Itu membuktikan bahwa Jessi sudah lama menangis.“Jes? Hei, kenapa kamu menangis?” Vivian bertanya sambil mendekat. Ia duduk di samping Jessi.“Vi, Samuel menghilang. Dia tiba-tiba tidak ada kabar pagi ini. Padahal semalam dia baik-baik saja. Lalu kenapa dia tiba-tiba tidak ada kabar sama sekali? Aku takut jika terjadi sesuatu terjadi padanya.” Jessi menumpahkan isi hatinya “Jess, tenanglah. Kita akan mencari tahu di mana Samuel. Coba kamu ingat-ingat, sebelum ini apa dia punya masalah dengan seseorang atau mungkin pekerjaanya?” Vivian mencoba menggali.
Di satu malam yang dingin, tepatnya sebuah rumah mewah masih saja ramai. Banyak penjaga yang sedang berjaga di rumah tersebut. Meski udara terasa dingin menusuk tulang. Itu semua tak menyurutkan orang-orang tersebut untuk menyerah dan memilih tidur. Termasuk Sean dan Raven yang masih berjaga di sana. Keduanya menempatkan Samuel di satu ruangan besar di rumah itu. Dua laki-laki itu mengawasi dari ruang kerja Raven. Tentu saja sembari meneguk wine untuk menghangatkan tubuh keduanya.“Aku terkejut kau bisa dibodohi dengan mudah.” Sean mulai mengejek Raven seraya menguap kecil.“Dingin,” imbuhnya.“Kamu sebagai anak buahku juga terlalu bodoh. Kenapa tidak bisa mengetahui keadaan ini dengan lebih cepat? Bukankah kamu menghandle banyak pekerjaan dan selalu bersamaku?” Raven mendesah kesal mengetahui fakta bahwa Vivian telah membohonginya.“Haih, kamu menyalahkan orang lain. Bukankah sebagai seorang ayah seharusnya memiliki ikatan bat
“Aku terkejut saat kamu tiba-tiba memintaku untuk menjemputmu.” Rain berbicara saat ia dan Vivian sudah berada di dalam mobil.“Kamu tidak ingin mengantarku ke dalam? Setidaknya bukankah kamu seharusnya mengantarku sampai lobby perusahaan?” Vivian mulai mengubah nada bicaranya. Sedikit lembut dan wajahnya merengut manja. Hal itu sedikit membuat Rain terkesima, tidak biasanya Vivian akan secara terang-terangan menyatakan isi hatinya. Tentu saja ini merupakan hal baik bagi Rain. Laki-laki itu terkekeh, lalu menepuk pucuk kepala Vivian dengan lembut.“Baiklah, untuk kekasihku ini apa yang tidak boleh. Ayo, turun.” Rain pun akhirnya turun juga dari mobil.Sekilas Vivian melirik jam yang melingkar di tangannya. Seulas senyuman seringai terbit di bibirnya. Ia sangat sadar bila di jam inilah Raven baru sampai di perusahaan. Sepertinya hal ini sudah direncanakan oleh Vivian sejak tadi malam. Terbukti bahwa pagi ini Rain pagi buta suda
“Sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi.” Vivian membatin seraya mengangkat lututnya dengan sekuat tenaga hingga mengenai dagu Raven. Sontak saja Raven melepaskan cekalan tangan di leher Vivian.“Ada banyak laki-laki di dunia ini. Apa mungkin itu kamu? Jangan terlalu berbicara sembarangan, kamu itu sedang marah. Lebih baik kalau aku pergi dulu, tenangkan pikiranmu.” Vivian terbatuk,meski begitu ia harus keluar dari ruangan ini sebelum Raven kembali berulah.“Tapi setelah berpisah denganku, kamu tidak pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Mustahil jika Shine hasil dari hubunganmu dengan laki-laki lain. Kamu pikir aku tidak tahu seperti apa karaktermu?” Raven membalas dengan penuh penekanan. Menyadari situasi mulai memanas, Vivian berusaha untuk kabur. Raven melihat Vivian hendak berlari segera menarik rambut wanita itu. Tarikan tangan Raven si rambut Vivian membuat Vivian terjengkang ke belakang. Tepat di dada bidang Raven. Saat Raven ingin
“Baik Kek,” jawab Vivian sambil berjalan ke arah sofa dan duduk bersama dengan ketiga laki-laki tersebut.Sesaat Vivian melirik ke arah Cherry yang terlihat tenang dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja tanpa menunjukkan rasa terkejut atau sejenisnya. ‘Cih, sialan. Jangan-jangan Cherry juga anak buah Raven,’ batinnya sembari mengepal tangan kuat.“Vi,” panggil Tuan Brayen dengan tenang.Langsung saja Vivian kembali berkonsentrasi pada kakek dari Raven itu. “Iya Kek,” sahut Vivian dengan cepat.“Aku sengaja datang ke sini bersama dengan pamanmu karena ingin mengumumkan sesuatu pada kalian semua,” ujar Tuan Brayen dengan ekspresi serius.“Iya,” sahut ketiga orang tersebut hampir bersamaan.“Aku akan pensiun, benar-benar pensiun. Dan karena aku sudah membagi warisanku untuk kamu dan ayahnya,” ujar Tuan Brayen sembari menatap ke arah Tuan Stenly dan Raven bergantian, “maka harta yang ak miliki ini hanya tinggal m
“Kenapa, apa yang terjadi?” tanya Raven yang langsung membungkukkan badannya.“Aku tidak apa-apa, kamu tinggalkan aku saja,” jawab Vivian sembari terus berjongkok dan tak mau menoleh sedikit pun pada Raven.Tentu saja melihat hal ini Raven merasa semakin khawatir. Ia kemudian dengan lembut menarik tangan Vivian, tetapi tetap saja Vivian menolak bantuan Raven tersebut.‘Apa yang terjadi, apa dia patah tulang karena terkena tendangan, magh, atau ….’ Tiba-tiba Raven teringat sesuatu yang lain.Setelah itu dengan cepat Raven menggendong tubuh Vivian dan membawanya masuk ke dalam kamar santai yang ada di dalam ruang kerja Raven.“Apa yang kamu lakukan, biarkan saja aku sendiri,” ucap Vivian yang masih saja menolak dengan bantuan Raven tersebut.“Sudahlah kamu diam saja,” tukas Raven. “Memangnya kamu akan pergi ke mana dengan rok yang basah seperti ini,” imbuhnya sembari meletakkan tubuh Vivian di atas ranjang yang ada di r
“Huh, dan kamu itu wanita tidak tahu malu. Kamu—“ Kalimat Nyonya Reya terhenti ketika Vivian dengan seenaknya berbalik badan dan kemudian melangkahkan kaki keluar dari pintu gedung perusahaan tersebut.“Eh, mau ke mana kamu? Berani-beraninya pergi begitu saja, aku ini sedang bicara dengan kamu!” teriak Nyonya Reya yang langsung mengikuti langkah Vivian untuk keluar dari gedung perusahaan tersebut. Namun saat ia sudah sampai di depan gedung, tiba-tiba Vivian seolah menghilang. Ia pun menatap ke segala arah untuk mencari sosok Vivian, tetapi tetap tak menemukannya.Hingga, sesaat kemudian ia mendekati petugas keamanan yang sedari tadi berjaga di depan pintu perusahaan.“Kamu tahu ke mana larinya Nyonya Vivian?” tanya Nyonya Reya sembari berkacak pinggang dan terus mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut.“Nyonya Vivian?” tanya petugas keamanan itu sembari mengerutkan keningnya.Ya, tentu saja petugas keaman
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap