"Kalau begitu kamu harus membuat pernyataannya," ujar Vivian sembari berbalik dan mengambil secarik kertas dan pena dari meja Raven. Tak lupa, ia juga mengambil sebuah materai untuk ditempelkan di sana nantinya.
"Ini apa?" tanya Nora sembari menerima kertas dan pena dari Vivian. Ia seperti orang linglung ketika menatap dua buah benda tersebut. Ketakutan merayapi hatinya saat mengingat ucapan Vivian yang menginginkan organ tubuhnya."Tentu saja itu untuk menulis. Bukankah sudah aku katakan kalau kamu harus menulis pernyataan, jikalau kamu bersedia memberikan organ tubuhmu untukku," ujar Vivian dengan santai.Tangan Nora bergetar, ia menatap nanar ke arah kertas tersebut, seolah saat ini Vivian menyuruhnya untuk membuat surat yang menyatakan kesediaannya untuk menerima hukuman mati.Ia menelan ludahnya sembari menempelkan dengan perlahan kertas tersebut di atas pangkuannya. Dan setelah itu, tangan kanannya yang saat ini sedang memegangi pulpen"Aku …." Raven menghentikan kalimatnya dan menjauhkan wajahnya dari telinga Vivian.'Aku harus menahan semuanya, jangan sampai dia curiga dan mengacaukan semuanya,' batin Raven sembari menatap ekspresi wajah Vivian saat ini.'Apa dia sedang mencoba menggodaku,' batin Vivian yang sempat benar-benar menunggu jawaban dari Raven."Kamu tetap saja mudah ditipu," komentar Raven sembari menarik garis bibirnya lebar."Apa-apaan kamu!" ketus Vivian yang kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut setelah mengambil tas miliknya, seperti dua wanita sebelumnya.Setelah melihat Vivian yang benar-benar meninggalkan ruangan tersebut, kemudian Raven pun dengan tenang mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menghubungi seseorang."Lakukan rencana selanjutnya dengan hati-hati," ujar Raven ketika panggilan tersebut diangkat dan kemudian menutup panggilan tersebut begitu saja."Vi, kita lihat bagaimana kamu akan mengelak dariku
"Apa yang terjadi?" tanya Raven sembari mengarahkan pandangannya pada Vivian dan tiga orang lawannya yang sedang melantai.Raven pun segera melangkah ke arah empat wanita tersebut. Akan tetapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba saja Vivian berlari ke arah Raven dan segera memeluk lengan laki-laki yang masih dibencinya itu.Tentu saja melihat ini Raven langsung curiga. "Ada apa?" tanyanya sembari kembali melihat ke arah tiga wanita yang tadi menyerang Vivian.Seketika Vivian pun langsung memberi tanda pada tiga wanita tersebut dengan tatapan matanya."Siapa mer—" Kalimat Raven terhenti ketika tiba-tiba saja Vivian memblokir pandangannya dan dengan cepat menarik dasinya, hingga membuatnya menunduk dan bibir mereka bersatu.'Aku harus memberi waktu pada mereka agar bisa pergi,' batin Vivian yang masih dengan kuat menarik dasi Raven. Bahkan, ia meningkatkan intesitas ciumannya agar membuat adegan itu menjadi lebih lama.Hingga akhirn
Beberapa jam berlalu, saat ini Raven tengah duduk di ruang santai sembari menatap ke arah anak laki-laki yang saat ini sedang duduk tak jauh darinya.“Dia benar-benar seperti aku,” batin Raven sembari menatap anak laki-lakinya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia memperhatikan cara duduk, bahkan ekspresi wajahnya yang sama persis dengan dirinya.“Kamu sudah melihatku selama hampir setengah jam, jika tidak puas kamu bisa memfotoku,” ucap Shine yang saat ini melirik tajam ke arah Raven, sedangkan tangannya masih memegang sebuah buku yang tadi sempat dimintanya pada pelayan.“Tapi kenapa dia sangat kasar? Apa Vivian mengajari hal seperti ini?“ batin Raven sembari menghela napas panjang.Ya, bukankah orang memang tidak bisa melihat tengkuknya sendiri.“Jadi kamu capek dan ingin istirahat? Baiklah kalau begitu ayo kita pergi ke kamar, aku akan membantumu mandi,” ucap Raven sembari mengulurkan tangannya ingin menggendong tubuh kecil itu.Tiba-tiba saja Shine menutup buku
Tak lama kemudian munculah seorang wanita yang sangat dikenal oleh mereka semua. “Di mana Shine?“ tanyanya yang saat ini sedang bergerak menuju ke sofa yang sedang diduduki oleh ketiga orang tersebut.'Di mana dia? Apa Raven menyembunyikannya,” batin Vivian yang tak bisa melihat Shine dari tempatnya saat ini.“Ada di sini,” jawab Raven dengan santai.Dan setelah sampai di depan ketiga laki-laki tersebut, Vivian pun langsung menatap tajam pada Raven yang saat ini sedang duduk tenang persis seperti yang anak laki-lakinya lakukan. “Kalian berdua ….“ Dia kehilangan kata-katanya ketika melihat ekspresi acuh tak acuh di wajah kedua laki-laki yang membuat kepalanya serasa ingin meledak itu.Kemudian Vivian pun memusatkan pandangannya pada anak laki-lakinya yang saat ini sedang mengambil cemilan dari tangan Raven. “Apa maksudnya semua ini?“ geramnya.“Vivian tolong jangan bersikap keras seperti itu pada anak kecil. Dia ini masih dalam masa pertumbuhan. Jika kamu terlalu keras, itu tid
“Aku mendengar kalau Papa meninggalkan Mama sejak aku belum lahir,” ucap Shine sambil menatap ke arah Raven yang saat ini sedang melangkah kembali ke arahnya.“Siapa yang mengatakan kalau Papa meninggalkan kalian? Apakah itu Mama atau bibi kamu?“ tanya Raven sembari duduk di pinggiran panjang dan menatap anak laki-lakinya dengan lekat.“Bukan mereka, itu kata Paman Roland,” jawab Shine sembari terus menatap Raven. Ia penasaran bagaimana Papanya itu akan menjawab pertanyaannya ini.“Siapa Paman Roland?“ tanya Raven sembari mengerutkan dahinya.“Dia adalah salah satu teman Mama Saat kami masih tinggal di Swiss, dia sering datang ke tempat kami bahkan dia sering bermain salju denganku,” beber Shine.“Laki-laki yang sering datang seperti itu pastilah bukan sekedar teman. Atau jangan-jangan ini adalah salah satu alasan Vivian meninggalkanku?“ pikir Raven.“Ah, tapi itu tidak mungkin. Saat dia membuat kekacauan dia seharusnya sedang hamil. Tapi jika benar laki-laki itu menyukai Vivian, ken
“Ha?“ Mereka ternganga melihat kejadian aneh di dapur. Langsung saja Vivian yang baru saja berteriak-teriak tersebut, menoleh ke arah Raven dan Shine yang sedang menatap aneh ke arah dirinya.“Kenapa kalian diam saja, ayo bantu!“ Teriak Vivian sembari berjinjit jinjit. Sedangkan di bagian lain, terlihat Jessy yang sedang berdiri di atas kursi sambil terus menatap ke arah bawah. “Shine, ayo cepat bantu Bibi dan Mama!“ teriaknya.Kemudian Raven pun menoleh ke arah anak laki-lakinya yang saat ini sedang berkacak pinggang. “Apa yang sedang mereka takutkan?“ tanyanya.Shine pun mendongakkan wajahnya. Ia menatap ke arah Papanya dengan ekspresi malas. “Biasa Pa, para wanita itu dengan hewan kecil saja takut,” jawabnya dengan sedikit mengejek.“Ya sudah, kamu ambil buku dan tasmu. Papa yang akan membantu di sini,” ucap Raven sembari mengusap kepala Shine dengan lembut.Langsung saja Shine mengacungkan jempolnya dan kemudian berbalik, lalu melangkah keluar dari pintu ruangan tersebut.“Shin
Setengah jam berlalu. Saat ini Raven yang baru saja sampai di halaman perusahaan pun dengan cepat menghentikan mobilnya di dekat satpam yang berjaga di dekat pintu perusahaan. Dan kemudian tanpa berbasa-basi ia langsung menyerahkan kunci mobilnya pada satpam tersebut.“Di mana dia,” gumamnya sambil melangkah dengan cepat masuk ke dalam gedung perusahaan tersebut.Sedangkan di sisi lain saat ini ada Sean yang berjalan di lantai dasar. Segera saja ia menghampiri sahabatnya itu. “Rav, ada apa?“ tanyanya.Raven pun menghentikan langkahnya. “Apa dia sudah datang?“ tanyanya.Sean pun mengernyitkan dahinya. “Bukankah mereka akan datang nanti siang, apakah ada perubahan?“ “Bukan mereka, tapi Vivian,” tukas Raven.Sean pun memberikan ekspresi malas di wajahnya mendengar sahabatnya itu mencari wanita yang sering membuat sakit kepala itu. “Sudah, dia sudah datang,” jawabnya.Setelah itu, tanpa berbicara apa pun Raven langsung melanjutkan langkahnya ke arah pintu lift khusus. “Aku haru
“Berhenti.“ Vivian kembali mundur selangkah.“Ada apa, apa kamu tidak rindu denganku?“ tanya laki-laki di depan Vivian tersebut sembari maju selangkah.“Kenapa, bagaimana bisa kamu di sini?“ tanya Vivian yang makin waspada.“Tidak bisa, aku tidak boleh membiarkannya tahu keberadaan Shine,” batin Vivian.“Maksud kamu, bagaimana aku bisa menemukan kalian?“ tanya laki-laki di depan Vivian tersebut dengan suara lembut yang khas.Tiba-tiba dari arah lain terdengar suara langkah kaki masuk ke area tersebut.“Vi!“ Langsung saja Vivian menoleh. “Sean,” gumamnya.“Kamu sedang apa?“ tanya Sean yang didampingi Charles ke sana.Mendengar pertanyaan Sean, Vivian pun langsung kembali menoleh ke arah semula dan melihat laki-laki di depannya itu sudah tidak ada.“Ada apa?“ tanya Sean yang saat ini sudah berada tepat di samping Vivian. Ia cukup terkejut melihat wajah pucat Vivian, segera saja ia mengarahkan pandangannya ke sekitar tempat itu Dan tanpa aba-aba Charles pun segera memeriksa sekitar lok
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap