"Setelah keluar dari rumah sakit, dia langsung dikeluarkan dari sekolah. Perusahaan keluarga Declan juga terkena dampaknya karena kejadian ini. Tak lama kemudian, mereka bangkrut. Satu keluarga pun terpaksa pindah dari Kota Ordo.""Ehem, waktu itu Dominic juga sempat masuk sel. Kakeknya marah besar, sampai memerintahkan untuk menahannya beberapa hari. Tapi, neneknya nggak tega. Neneknya setiap hari menangis di depan kakeknya, sampai kakeknya jadi pusing sendiri.""Akhirnya, Dominic dikeluarkan juga. Keluarga Orlando pun membayar kompensasi dalam jumlah fantastis ke Keluarga Rizta supaya masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Karena masalah ini, Dominic juga dipukul kakeknya."Selesai bercerita, Kevin menatap Eleanor dengan penuh makna. "Eleanor, dulu aku ini benar-benar nggak sadar kalau Dominic menghajar orang itu karena dia suka sama kamu. Aku pikir dia cuma marah karena adiknya diganggu, jadi sebagai kakak harus balas dendam. Baru-baru ini aku sadar kalau Dominic ternyata sudah
"Kak ...." Eleanor memanggilnya dengan suara pelan.Bibir Dominic menempel di pipi Eleanor. Dia menjawab dengan lembut, "Aku di sini.""Soal kejadian dengan Declan dan Rowan ...." Eleanor menggigit bibirnya. "Kalau keluargamu tahu kamu kehilangan kendali karena aku dan hampir menghajar orang sampai mati, apa pertunangan kita akan dibatalkan?"Dominic mencium keningnya. "Aku nggak akan membiarkan hal itu terjadi. Mereka nggak akan tahu."Eleanor menunduk, dadanya terasa sesak. Suaranya lirih saat berujar, "Kamu nggak perlu melakukan semua ini demi aku."Dominic mengangkat dagu Eleanor dengan telapak tangan yang hangat dan lebar, membuatnya menatap lurus ke matanya. "Elea, semua itu perlu. Bagiku, kamu lebih berharga daripada nyawaku sendiri."Tatapan Dominic dalam dan tajam, penuh gairah yang membara saat menatap Eleanor. Eleanor termangu. Hatinya bergejolak, begitu banyak emosi yang sulit diungkapkan.Dia tidak menyangka bahwa dirinya memiliki posisi sepenting itu di hati Dominic. Bulu
Adrian mengangguk. "Kapan ada waktu luang? Aku akan membawamu bertemu beberapa kenalan agar kamu bisa mendapatkan lebih banyak sumber kasus."Eleanor tahu Adrian ingin membantunya membangun koneksi, jadi dia tidak menolak. "Oke, minggu depan saja."Emily berlari menuruni tangga dengan langkah cepat, lalu langsung memeluk kaki Eleanor. "Kakak! Kamu pulang!"Eleanor mengusap kepalanya. "Hmm."Jocelyn yang berdiri di samping tersenyum dan bertanya bagaimana keadaan Eleanor akhir-akhir ini, apakah dia sudah terbiasa tinggal di luar.Eleanor tidak lagi bersikap kasar terhadapnya seperti dulu. Dia hanya mengangguk pelan. "Aku mau ke atas sebentar, mau ambil sesuatu."Eleanor naik ke kamarnya."Adrian, aku merasa Elea sudah berubah," kata Jocelyn dengan senyum lembut. "Kamu sadar nggak? Kali ini sikapnya jauh lebih lembut terhadap kita."Adrian mengangguk puas. "Dia sudah dewasa, nggak kekanak-kanakan lagi."Di kamar, Eleanor mengganti pakaiannya dan bersiap merias diri di meja rias. Namun, s
Cindy menatap Giana dengan mata berlinang air mata. "Nenek ...."Giana melihat ke arah Dominic, lalu ke arah Cindy dan menghela napas. "Ah, sudahlah. Cindy, karena kejadian hari itu cuma sebuah kesalahpahaman, ceritakan kembali di depan semua orang. Aku percaya Eleanor bukan orang yang bersikap nggak masuk akal."Karena Giana sudah berbicara demikian, itu berarti tidak ada lagi yang membela Cindy.Cindy menarik napas, memasang ekspresi seolah-olah sangat teraniaya. "Hari itu di arena pacuan kuda, aku meminta Kak Eleanor mengajariku menunggang kuda. Awalnya semuanya berjalan lancar, tapi tiba-tiba kudanya mengamuk. Aku ... aku terjatuh dan terluka."Semua orang sudah mengetahui kejadian itu, tetapi dari nada bicara Dominic tadi, sepertinya ada sesuatu yang belum terungkap. Jadi, tidak ada yang menyela, menunggu Cindy melanjutkan ceritanya.Cindy melirik sekilas ke arah Dominic. Tatapannya terlalu tajam dan menakutkan, membuat Cindy sedikit gemetar. Dia tergagap-gagap. "Sebenarnya ini ha
Kenapa Eleanor merasa nada bicara Giana terdengar agak tidak sabar? Dari nada suaranya, seolah-olah kalau dia tidak memaafkan Cindy, dia akan dianggap tidak tahu terima kasih?Eleanor baru saja hendak berbicara, tetapi Dominic lebih dulu membuka mulutnya. "Nenek, apa maksudmu? Mau memaafkan atau nggak, itu keputusan Eleanor. Nggak boleh ada yang memaksanya."Giana menunjukkan ekspresi tidak senang. "Dominic, kamu sedang menyalahkanku?""Nggak." Ekspresi Dominic tetap datar dan tidak acuh. "Aku hanya ingin Nenek nggak memberi tekanan kepada Eleanor."Melihat Dominic membela dirinya di hadapan neneknya, Eleanor tidak ragu lagi. Dia langsung berkata, "Sudah, sudah, aku memaafkannya."Selesai bicara, pandangannya sekilas melirik ke arah Dominic. Sesudah itu, dia meraih tangan Dominic dan mencubitnya pelan, memberi isyarat agar dia tidak terus berdebat dengan neneknya.Dominic menangkap isyarat itu dan ketajaman di matanya pun berangsur menghilang.Cindy melihat pemandangan ini. Dia kesal h
Hari-hari berlalu dalam gerimis musim gugur yang tak henti-hentinya.Sampai akhirnya, di hari pertunangan, langit yang telah mendung selama beberapa hari akhirnya cerah.Di vila Keluarga Izara.Hari ini adalah hari pertunangan Eleanor. Seluruh Keluarga Izara sudah bangun sejak dini hari. Bahkan Emily yang biasanya suka bangun siang, juga bangun lebih awal dan mengenakan gaun merah yang meriah.Di kamar Eleanor, tim penata rias profesional sedang meriasnya. Hari ini, dia mengenakan gaun berwarna merah muda. Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan aksesoris mutiara.Emily bersandar di meja rias sambil memiringkan kepala dan menatapnya. Dengan suara jernih, dia memuji, "Kak, kamu cantik sekali hari ini."Eleanor tersenyum dan mencubit pipinya.Namun, ekspresi Emily tiba-tiba berubah menjadi sedikit muram. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kak, kalau nanti kamu menikah, kamu masih sering pulang ke rumah, 'kan?"Eleanor tertegun sejenak, tidak menyangka Emily akan bertanya seperti itu.
Eleanor tersenyum dan menggigit bibirnya. "Cepat atau lambat aku tetap akan menjadi milikmu, kenapa begitu terburu-buru?"Dominic menggenggam tangannya, jari-jarinya dengan lembut mengusap telapak tangan Eleanor. "Aku bahkan nggak bisa menunggu sehari pun ... bukan, lebih tepatnya sedetik pun."Dia tertawa ringan sebelum melanjutkan, "Dulu aku takut kamu merasa pernikahan langsung itu terlalu mendadak, jadi aku mengusulkan ke ayahmu agar kita tunangan dulu. Kita bisa nikah setelah hubungan kita lebih matang. Tapi, sekarang rasanya aku telah menjebak diriku sendiri."Eleanor tersenyum dan bertanya, "Jadi, menurutmu hubungan kita sudah cukup matang belum?"Dominic mencubit pipinya pelan. "Seharusnya aku yang tanya itu. Kalau aku sih sudah lama yakin."Eleanor menunduk dan tersenyum. Dia ingin menggoda Dominic lebih jauh. "Kalau begitu, tunggu saja sedikit lagi."Dominic tertawa penuh kasih sayang. Dia pun bertanya, "Kalau begitu, aku mau tahu kapan kamu bersedia menjadi istriku?""Lihat
Dominic terkekeh-kekeh dingin. "Mengancamku? Memangnya kamu pantas?"Saat masih SMA, Katalina pernah menyatakan perasaannya pada Dominic. Namun, Dominic menolak dengan sopan.Gadis itu seperti plester yang tidak mau lepas, selalu mengikutinya ke mana pun. Di sekolah, semua orang tahu bahwa dia mengejar Dominic.Merasa sangat terganggu, dia akhirnya menggunakan pengaruh keluarganya untuk memaksa Katalina pindah sekolah. Setelah dia pergi, akhirnya Dominic bisa merasa tenang.Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Saat kuliah, Dominic kembali bertemu dengannya. Entah dari mana Katalina mendapatkan informasi bahwa Dominic mendaftar di Universitas Ordo, dia pun mengikuti jejaknya dan lolos ujian.Setiap hari, Katalina mengantarkan sarapan untuk Dominic, mengikuti ke mana pun dia pergi, bahkan menghadiri kelas yang sama. Surat cinta dan hadiah terus berdatangan tanpa henti. Sekali lagi, karena obsesinya terhadap Dominic, Katalina menjadi sorotan di kampus.Dengan air mata berlinang, Katal
Mereka berdua terlihat berbincang dan tertawa, tampak begitu akrab.Rowan bergumam, "Cepat sekali dia keluar dari rumah sakit. Benar-benar susah mati."Anthony menduga pria itu adalah tunangan Eleanor. Tanpa ragu, Rowan membuka pintu mobil dan berjalan menuju Eleanor.....Sudah seminggu sejak Dominic keluar dari rumah sakit. Selama seminggu ini, setiap hari dia harus makan makanan polos di bawah pengawasan Eleanor.Awalnya dia masih bisa menerimanya, tetapi setelah beberapa hari berturut-turut hanya makan makanan yang begitu-begitu saja, dia mulai bosan.Setelah membujuk dan merajuk, akhirnya hari ini Eleanor setuju untuk membawanya keluar makan sesuatu yang lebih enak.Restoran yang mereka tuju berada di pusat kota, daerah paling ramai. Itu adalah restoran tua yang terkenal di Kota Ordo, tempat mereka biasa makan sejak kecil.Karena sekarang jam makan, restoran itu penuh. Tidak ada satu kursi pun yang kosong, bahkan di depan pintu ada antrean panjang yang menunggu giliran masuk.Untu
Akhir-akhir ini, Rowan sibuk mencari investor untuk perusahaannya. Di Kota Ordo, hampir tidak ada perusahaan yang bersedia berinvestasi di Grup Naval. Jadi, dia terpaksa mencari peluang di luar kota. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hotel dan pesawat.Hari ini, Rowan baru saja kembali ke Kota Ordo dan Anthony sudah datang menjemputnya. Saat sore hari dalam perjalanan menuju sebuah acara makan, Anthony melirik sekilas ke arah Rowan ketika mobil berhenti di lampu merah.Rowan sedang memegang ponselnya, melihat satu per satu foto lamanya bersama Eleanor. Anthony membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu.Sebelum dia sempat berbicara, Rowan sudah lebih dulu menyodorkan ponselnya. Matanya penuh nostalgia. "Lihat, betapa bahagianya kami dulu."Anthony memandangnya dengan ekspresi rumit. Beberapa waktu lalu, Rowan memintanya membeli cincin dari Pransis, katanya ingin menggunakannya untuk merebut kembali Eleanor.Saat itu, Rowan mengatakan bahwa Eleanor akan seg
Eleanor masih belum puas dan bertanya lagi, "Benar-benar nggak ada perkiraan waktu?""Kalau harus dijawab, mungkin saat kamu SMA. Saat Declan mengganggumu, aku menghajarnya dan baru sadar kalau perasaanku ke kamu memang berbeda."Eleanor merapatkan bibirnya. "Kamu menyembunyikannya dengan baik ya."Dominic mengusap kepala Eleanor yang lembut. "Aku harus menunggumu tumbuh dewasa dulu."Tatapannya tiba-tiba dipenuhi sedikit kesedihan. "Begitu kamu lulus kuliah, aku langsung menemui ayahmu untuk mengajukan pernikahan. Tapi, kamu malah menolak dan kabur dari rumah."Eleanor merasa bersalah. Dia mengalihkan pandangannya dan bergumam, "Waktu itu ... aku pikir Ayah mengorbankanku demi bisnis keluarga. Mana aku tahu kalau kamu sudah merencanakan ini sejak lama? Kamu juga nggak pernah bilang. Aku benar-benar merasa dirugikan ...."Tiba-tiba, Dominic memasang ekspresi kesakitan. "Aduh, sakit sekali."Eleanor pun panik dan buru-buru melihat ke arah pinggangnya yang terluka. "Kenapa? Kebentur sesu
Ucapan Rowan seperti mantra yang terus bergema di kepala Eleanor, membuat pikirannya kacau sepanjang hari.Keesokan harinya saat Eleanor datang ke rumah sakit untuk menjenguk Dominic, wajahnya tampak penuh beban."Elea, lagi pikirin apa?" tanya Dominic.Eleanor mengedipkan matanya, memalingkan wajahnya agar tak menatapnya langsung. "Itu ... soal Katalina, sebenarnya dia siapa?"Dominic tersenyum misterius. "Cemburu ya?"Eleanor berusaha terlihat tidak acuh dan menggembungkan pipinya sedikit. "Nggak kok. Aku hanya penasaran. Kamu nggak pernah menyebutnya sebelumnya."Mengingat bagaimana wanita itu menculik Emily dan hampir menikamnya, Eleanor bukan hanya cemburu, tetapi juga marah. "Dari mana kamu mendapatkan penggemar gila seperti itu?"Dominic melambaikan tangannya ke arah Eleanor. "Kemari."Eleanor menurut. Dia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur.Dominic menggenggam tangannya dengan serius. "Aku dan dia dulu teman sekelas waktu SMA. Dia pernah mengejarku dengan sangat agresif, t
"Hmm."Selena menoleh menatap Dominic. "Kamu sudah kenyang? Mau makan lagi nggak? Ibu bawa semua makanan favoritmu."Dominic menjawab, "Nggak perlu. Masakan Eleanor pas banget di lidahku, aku habiskan semuanya."Mendengar itu, Selena tersenyum puas. "Baiklah. Kalau sudah makan, nggak apa-apa."Kevin memandang mereka dengan tatapan menggoda. "Oh? Masakan Eleanor ya?"Dia meletakkan keranjang buah dan suplemen yang dibawanya, lalu menatap Dominic sambil tersenyum. "Kamu beruntung sekali ya."Dominic menanggapi, "Tentu saja. Kebahagiaan seperti ini mana bisa dirasakan oleh para jomblo?"Senyuman Kevin langsung membeku. "Baiklah, aku juga harus cari pacar, lalu pamer kemesraan setiap hari di depanmu sampai kamu muak!"Olivia membelalakkan mata karena terkejut. "Elea, kamu bisa masak?"Eleanor tersenyum tipis. "Baru saja belajar.""Tsk, tsk, cinta memang ajaib." Olivia masih tak percaya. Dia bahkan mengelilingi Eleanor seakan-akan ingin memastikan sesuatu."Aku masih ingat waktu kuliah dulu
Saat Dominic sadar kembali, meja lipat di depannya sudah penuh dengan makanan. Ada tumis pakcoy, daging sapi, nasi putih yang masih mengepul asap, serta semangkuk sup."Kamu masak sebanyak ini?" Dominic tersenyum lembut. "Sup apa ini?""Sup ayam kampung." Eleanor mengangkat mangkuk sup, mengambil sesendok, lalu meniupnya perlahan sebelum menyodorkannya ke bibir Dominic. "Coba cicipi."Dominic menurunkan pandangannya sambil tersenyum, tetapi senyuman itu tiba-tiba memudar. "Tanganmu kenapa?" Dia melihat ada lepuhan kecil di jari telunjuk kanan Eleanor.Eleanor refleks ingin menyembunyikannya, tetapi sudah terlambat. Dia hanya bisa berkata dengan jujur, "Tadi ... waktu di dapur, aku nggak sengaja kena air panas. Nggak apa-apa, cuma lepuhan kecil saja."Mata Dominic sedikit memerah. "Sakit nggak?"Eleanor menggeleng. "Nggak sakit."Dominic menyesap sup dengan tenang, lalu menggenggam pergelangan tangan Eleanor dengan lembut, menunduk dan meniup pelan bagian yang terluka.Setelah beberapa
Bibir pucat Dominic membentuk senyuman tipis. "Baik, aku janji padamu."Isaac dan Selena baru saja keluar dari ruang ICU ketika mereka menerima telepon. Suara di ujung telepon terdengar cemas. "Pak Isaac, ada masalah."Di pusat tahanan, Katalina mengaku bahwa dia hamil. Sesuai prosedur, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan.Dalam perjalanan ke rumah sakit, sebuah mobil tiba-tiba melaju dengan kencang, menabrak mobil yang membawa Katalina hingga berhenti di tepi jalan.Dari mobil itu, turun beberapa pria bertubuh kekar dengan keterampilan luar biasa. Mereka pun membawa Katalina pergi.Petugas yang mengawal mengalami cedera parah, sementara kendaraan mereka rusak berat dan tidak bisa langsung mengejar.Mendengar laporan itu, wajah Isaac menunjukkan ekspresi tak percaya. "Dia berhasil dibawa pergi?""Apa yang terjadi? Siapa yang dibawa pergi?" tanya Selena dengan cemas.Isaac menarik napas dalam-dalam, tubuhnya sedikit bungkuk. "Katalina.""Apa?" Selena terkejut. "Bukankah di
Eleanor sudah cemas sepanjang sore. Sekarang setelah Dominic melewati masa kritis, dia ingin melihatnya. Bagaimanapun, Dominic terluka karena melindunginya."Ayo, ikut aku pulang," ucap Adrian dengan tegas.Eleanor menggeleng, menatap ayahnya dengan teguh. "Ayah, aku tahu Ayah sangat marah sekarang, tapi aku belum bisa pulang. Dominic sudah mempertaruhkan nyawanya untukku. Aku nggak punya alasan untuk pergi begitu saja. Kalau dia nggak melihatku saat siuman nanti, dia pasti akan sangat sedih."Nirvan merasa terharu mendengar kata-kata itu. Dia lantas menoleh ke Adrian. "Adrian, istriku tadi memang terlalu kasar. Aku minta maaf, jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati."Isaac juga menimpali, "Benar, Dominic pasti ingin melihat Eleanor di sisinya setelah siuman."Selena berkata, "Adrian, jangan marah. Kedua anak ini saling mencintai, ini hal yang baik."Tokoh besar seperti Nirvan sampai merendahkan diri untuk meminta maaf, Adrian pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.Memang benar bahwa Gi
Eleanor menunduk. "Semua ini salahku."Selena langsung menoleh ke arahnya. "Elea, apa maksudmu?"Eleanor pun menceritakan semuanya dengan jelas.Giana bertanya dengan nada menyalahkan, "Jadi, Dominic ditikam karena melindungimu?"Eleanor menggigit bibirnya. "Ya."Giana pun kesal. "Eleanor, kamu terlalu gegabah. Kami sudah melapor ke polisi dan ada banyak pengawal di vila. Kenapa kamu nggak bisa menunggu sebentar? Kalau kamu nggak bertindak gegabah, Dominic nggak akan terluka seperti ini.""Maafkan aku, ini semua salahku," ucap Eleanor dengan suara lirih, kepalanya semakin tertunduk.Giana semakin menekan. "Kamu belum resmi masuk keluarga ini, tapi sudah membawa masalah sebesar ini."Wajah Adrian langsung menjadi masam. "Apa maksudmu? Jelas-jelas Dominic yang ada masalah dengan wanita itu, sementara putriku adalah korbannya. Kenapa malah menyalahkan putriku?"Adrian menyindir, "Gampang sekali kalian bicaranya. Kalian suruh kami menunggu? Wanita itu menculik putri bungsuku, menodongkan p