Keesokan harinya.
Uuna hanya termenung sambil menunggu telpon dari dokter Nadia di kantin kampusnya. Pagi ini bibinya sudah 10 kali lebih menanyakan keberadaan Uuna dan memastikan soal biaya operasi ibunya. Bibi Uuna yang bernama Aminah atau biasa dipanggil Bi Ami oleh Uuna sudah tidak sanggup lagi mendengar setiap rintihan dari ibunya Uuna.
Uuna terperanjat kaget ketika sahabatnya Luna menepuk bahunya karena mendengar suara ponsel miliknya yang terus berdering.
"Yun. Ponsel Kamu bunyi terus."
Uuna hanya menoleh masih belum sadar dengan apa yang dibicarakan oleh Luna.
"Heh.. apa Lun?"
"Hp kamu Yoona...."
"Namaku Uuna, bukan Yoona dan aku asli Indonesia buka orang Korea idola kamu itu...!" sarkas Uuna tidak terima namanya diganti oleh Luna dari Uuna menjadi Yoona.
"Iya, iya. Tuh hp kamu getar lagi, angkat gih, siapa tahu penting." ucapnya sambil menunjuk ponsel milik Uuna yang terus bergetar di atas meja kantin yang mereka duduki.
Uuna memang tidak suka dengan nama Korea, tapi Uuna hobi menonton drama mereka. Lebih tepatnya Uuna suka film apapun asal menarik dilihatnya.
Uuna memandangi layar ponselnya dan tertera nama dokter Nadia di sana. Uuna memberikan isyarat dengan tangannya ketika hendak mengangkat telepon dan menjauh dari Luna sahabatnya.
"Halo, Dok. Bagaimana hasilnya?" tanyanya dengan nada cemas.
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. Tak lama suara dokter Nadia kembali terdengar.
"Maaf, Uuna, hasilnya negatif. Kita gagal Uuna," jawabnya dengan nada penuh penyesalan.
"La-lantas i-ibuku ...?" tanyanya lirih.
"Maaf, Uuna, kami akan memberikan 20 juta sebagai kompensasi atas waktu yang sudah kamu lalui—" Dokter Nadia menjeda ucapanya beberapa saat dan kembali helaan nafas memburu dan kasar terdengar, "Kita akan melakukannya kembali setelah pemeriksaan ulang, Uuna. Kamu bersedia, kan?" tanyanya penuh harap.
"Maaf, Dok, untuk sementara waktu aku akan mengurus ibuku sampai pulih," tolaknya dengan halus. Uuna sendiri sangat bingung harus mencari kemana sisa uang untuk operasi ibunya itu.
'Ibu, Uuna minta maaf ….'
**
Di desa.
Uuna hanya bisa memandangi wajah ibunya dengan tatapan nanar, Ibunya begitu kurus dengan mata yang terlihat begitu cekung. Selama sakit ibunya hanya bisa makan bubur encer nyaris seperti air.
Uuna melihat ibunya yang mulai membuka mata dan memandangi wajahnya. "Uuna ...," panggilnya lirih, nyaris tak terdengar.
Mendengar ibunya memanggil namanya, Uuna hanya bisa mengelus punggung tangan ibunya yang begitu kurus. Uuna hanya bisa memberi kecupan di punggung tangan ibunya, sambil sesekali ia tempelkan di pipinya. "Ibu, ibu harus sehat. Demi Uuna, ibu!" ucap Uuna di sela air matanya.
Uuna kembali melihat ibunya menggelengkan kepalanya. "Ba-bapak, su-sudah jemput, Nak," ucapnya terbata-bata.
"Ibu, Ibu belum boleh pergi. Na na-nanti Uuna sama siapa?" dada Uuna sudah sangat sesak mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya.
"I i-ini sakit U-una, ba-bapak bi-bilang, sa-sakitnya akan sembuh ji-jika, ib-ibu per-pergi dengan dengan ba-bapak!" Ucapnya lagi dengan nafas yang terputus-putus.
"Ibu harus kuat," Uuna semakin tidak sanggup menahan sesak di dadanya yang terasa begitu penuh. "Ibu, tidak boleh bicara seperti itu. Uuna sayang ibu. Ibu harus sehat lagi, Uuna sudah siapkan uangnya. Uuna mohon ibu," pintanya pada sang ibu yang sudah memejamkan mata. "Ibu bangun, Uuna mohon, Ibu. Ibu harus bangun, buka matanya. Uuna sendiri ibu, Uuna mohon ...," Uuna mencoba mengguncang tubuh ibunya yang bahkan bergerak saja tidak.
"Ibu ...."
"Ibu ...."
Uuna memanggil-manggil nama ibunya. Merasa sama sekali tidak ada respon dari tubuh yang sedari tadi di guncang-guncang olehnya, Uuna berlari keluar dan mencari siapapun yang ia temui di luar sana.
"Tolong..! Tolong ibu saya..! Tolong, ibu sudah tidak bergerak..!" teriaknya di sepanjang lorong.
Suster yang tahu dengan apa yang dimaksud oleh Uuna, suster itu pun berlari di mana ibu dari gadis yang sedang menangis itu meminta bantuan berada. Sesampainya suster di hadapan pasien, ia mulai menekan di beberapa titik nadi. Sekilas Uuna melihat suster menggelengkan kepalanya dan menekan tombol merah yang tepat berada diatas kepala ranjang. Melihat itu, Uuna benar-benar merasa takut.
Beberapa suster dan dokter pun berdatangan ke dalam kamar ibunya Uuna. "Masih ada, tapi sangat lemah, Dok!" jelas suster yang sejak tadi menangani ibunya.
"Kalau begitu, segera lakukan tindakan." Dokter menimpali. Tak lama Uuna diminta untuk menunggu di luar, sementara para ahli medis melakukan tindakan terhadap pasien.
"Saya mau lihat ibu saya, Sus. Saya mohon, biarkan saya di sini." pinta Uuna dengan begitu mengiba.
Dokter yang mendengar itu hanya bisa mengangguk lemah ke arah suster yang akan mengajak Uuna untuk meninggalkan ruangan ibunya.
Sementara ibunya yang sedang mendapatkan tindakan, Uuna hanya bisa menengadahkan tangannya, berdoa dan berharap keajaiban datang. Ya, Uuna hanya bisa berdoa di sela-sela Isak tangisnya.
Ketika ia sedang begitu khusyuk berdoa, dokter menepuk bahu Uuna, "maaf, Nak Uuna. Ibu Anda sudah tidak ada ...," ucap dokter dengan nada lirih. "Beliau, menyerah karena rasa sakit yang dideritanya ... Beliau bahkan tahu, penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi sekalipun."
Uuna masih bersimpuh di lantai mencerna dengan baik setiap apa yang sampaikan oleh dokter kepadanya.
Melihat Uuna, yang hanya diam saja, bahkan sudah tidak terdengar lagi Isak tangisnya, dokter kembali menepuk bahu Uuna. "Nak Uuna, ibu Anda sudah pergi," ucapnya lagi.
Mendengar kata pergi, seolah ada kilatan petir yang menyambar di hadapannya. Dadanya benar-benar penuh dan sesak. Uuna langsung bangkit dari duduknya dan berlari ke arah dimana ibunya terbaring dengan sangat kaku.
"Ibu..! Uuna ikut, ibu..!" Uuna memeluk jasad ibunya yang hanya sempat ia rawat selama satu Minggu semenjak kepulangannya dari kota. "Ibu..! Ibu...!" Uuna terus memanggil nama ibunya berulang kali.
Bibi yang mendengar kepergian kakaknya hanya bisa menguatkan keponakannya. Bibi Ai tahu betul bagaimana kakaknya menahan sakit selama ini. Mungkin dengan begini, walaupun berat, kepergian kakanya adalah yang terbaik.
***
Seminggu setelah kepergian ibunya, Uuna hanya duduk termenung dengan dagu bersandar pada dengkul yang ia tekuk. Sementara bibinya hanya bisa melihat dan menyemangati keponakannya yang masih sangat berduka.
Uuna yang tidak bisa menjaga kondisinya selama ini, merasakan mual sangat berlebihan. Uuna tahu betul semenjak kedatangannya ke desa, pola makanya tidak teratur, bahkan sering kali telat. Uuna berusaha sebisa mungkin menahan mual di perutnya dan meminta bibinya untuk membalurkan minyak angin di seluruh tubuhnya.
Di kota.
Dokter Nadia sedang memeriksa ulang, di mana kesalahan pada inseminasi yang ia lakukan. Menurutnya semua sudah sangat bagus, bahkan rahim Uuna menerima benih dengan sangat baik. Lantas dimana kesalahan yang menyebabkan kegagalan itu.
Dokter Nadia membolak-balik laporan kesehatan yang dilakukan oleh Uuna dengan sangat teliti. Dua Minggu ini dokter Nadia hanya fokus pada kasus Darren dan Uuna, bahkan ia tidak menerima pasien satu pun. Beruntung ini adalah rumah sakit milik keluarganya dan Keluarga Ibrahim Hayes yang selalu mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk rumah sakit ini. Sehingga ia yang begitu fokus dan tidak menerima pasien tidak mendapat teguran dari atasnya.
Nadia begitu fokus pada hasil tes darah dan tes kesehatan yang dilakukan oleh Uuna, disana ia menemukan kejanggalan dari golongan darah pada tes kehamilan. Jelas-jelas Uuna memiliki golongan darah B+ dan hasil tes kehamilan ini bergolongan darah B. "Ini pasti ada kesalahan," Nadia berusaha mengingat-ingat lagi siapa yang sudah membawa sampel darah Uuna.
Nadia berjalan dengan langkah lebar menuju ruang laboratorium. Sesampainya di sana Nadia langsung bertanya pada suster penjaga. "Sus coba cari tau siapa yang memeriksa sampel darah Uuna Mikhayla dan siapa saja yang melakukan tes kehamilan pada saat itu!" Dokter Nadia menyerahkan salinan hasil tes kepada suster dan memintanya untuk segera mengabarinya jika sudah mendapatkan apa yang dia mau. Sementara di Apartemen milik Darren Hayes. Dokter terapis yang biasa menangani Darren ketika penyakitnya kambuh, sedang merasa kalut dikarenakan penyakit pasiennya yang tiba-tiba kambuh. Padahal selama ini Darren tidak pernah bertemu dengan wanita manapun terkecuali ketika ia berkunjung ke Mansion ibunya, itu pun ketiak sudah dilakukan pensterilan sebelumnya. Huek huek huek, Darren memuntahkan semua makan yang di makannya sepanjang hari ini. Wajahnya sudah sangat pucat pasi. Darren keluar dari kamarnya dan membuang apapun yang ada di sana. Huek huek huek, Darren terus memuntahkan
Di sebuah rumah sakit Dokter Nadia berlari kencang ke arah mobilnya terparkir dengan map yang ia pegang. Nadia tidak memperdulikan banyak pasang mata yang melihat karena wajah cantiknya yang terlihat begitu bersinar di tengah kepanikan. Didalam map itu menunjukkan hasi leb yang positif atas nama Darren Hayes. Selebihnya tidak ada informasi apapun lagi karena itu memang sudah sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati sebelumnya. Pagi ini Nadia mendapatkan informasi mengenai kegagalan inseminasi yang ia lakukan terhadap Uuna. Ternyata sampel darah milik Uuna Mikhayla tertukar dengan pasien lainnya yang juga tengah menjalankan tes darah untuk kehamilannya. Saat Nadia mengetahui ternyata Uuna positif hamil, dia begitu bahagia dengan apa yang dibaca dan dia dengar langsung dari hasil lab yang tertukar beberapa minggu lalu. Sangking senangnya, Nadia bergegas menuju kediaman Ibrahim Hayes untuk mengatakan langsung kabar gembira ini tanpa memberitahu Uuna t
Una menitipkan rumahnya kepada salah satu tetangga yang sudah begitu baik kepada dirinya dan almarhum ibunya. Uuna meminta agar rumah itu dikontrakan atau ditempati oleh tetangganya agar rumah mendiang orang tuanya bisa terawat dengan baik. Sesampainya di kota, Una dan bibinya tiba di kost tempat Uuna selama ini tinggal. Pagi itu hari masih terlalu pagi bahkan matahari seolah enggan untuk memperlihatkan sinarnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 05:20. Sepertinya cuaca mendung yang menjadi penyebab utama matahari enggan untuk memancarkan sinar seterang mungkin. Kamar kost Uuna tidak begitu luas, tapi cukup untuk ditinggali oleh dua orang jika digunakan hanya untuk tidur saja. Pagi itu setelah membersihkan dan membereskan barang-barangnya Una dan bibi terlelap begitu nyenyak karena kelelahan. Bahkan tubuh Uuna begitu lemah walaupun hanya digerakkan saja. Bibi Ai yang terbangun lebih dulu merasa kasihan melihat wajah Uuna yang kelelahan bahkan terlihat puc
"Aku tidak tahu, Lun. Ini semua karena aku membutuhkan biaya untuk operasi ibuku," ucap Uuna dan mulai menceritakan seluruh kejadian yang membuatnya hamil.Luna percaya seluruh cerita dari sahabatnya adalah kebenaran karena Luna tahu, Uuna gadis baik yang tidak dekat dengan siapapun selama ini selain dirinya dan mantan kekasih Uuna tentunya."Jika seperti itu, kamu dan bibi tinggal saja di apartemenku agar tidak ada yang menggunjingmu, Uuna." pinta Luna pada sahabatnya.Bibi mengeluarkan sebotol minuman lemon agar mual di perut Uuna berkurang dan keponakannya bisa makan roti dengan lahap."Luna benar, Uuna. Di apartemen kebanyakan pemiliknya tidak pernah usil dengan urusan orang lain. Yah, walaupun yang kamu lakukan tetep tidak baik di mata hukum dan agama. Tapi demi kenyamanan, kita harus tinggal di sana, paling tidak sampai kamu melahirkan. Bibi akan bekerja dengan giat agar keponakan dan cucu bibi tidak kekurangan." ucap bibi mulai membuka bungkusan ro
Uuna yang sudah di cekal pergelangan tangannya merasa bingung. Uuna tahu kesalahannya sudah telat mengantar kue ke hotel. Tapi, pria berwajah dingin itu begitu mengerikan, yang menatapnya seolah dirinya seorang kriminal.Uuna ditarik paksa oleh pria berjas itu keluar dari ruang rapat. Sementara pegawai tokonya digiring ke arah yang berbeda.Sementara di dalam ruang rapat, pemimpin rapat itu yang bernama Darren Hayes tersenyum dengan sangat indah sehingga membuat para tamu undangan bergidik ngeri melihat senyum yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.Darren membisikkan sesuatu pada asistennya, setelah itu ia pergi meninggalkan ruangan rapat ke tempat dimana Uuna berada.Pria itu dikawal oleh beberapa orang saat berjalan menuju ke ruangannya dengan langkah selebar mungkin."Tunggulah di sini. Aku akan menghubungi kalian jika aku membutuhkan sesuatu." pinta Darren tanpa melepaskan pandangannya ke arah pintu yang masih tertutup rapat.Para pe
Ada rasa lembut sekaligus dingin yang dirasakan Darren ketika ujung jarinya menyentuh bibir tipis Uuna hingga membuat pria itu terpental ke belakang ketika merasakan jantungnya hampir mau lepas pada saat yang bersamaan. Tubuh Daren bahkan hampir saja membentur ujung meja jika dirinya tidak bisa mengendalikan keadaan. "Hah … hah … hah …." Napas Darren terengah-engah karena kaget merasakan apa yang dia baru rasanya. "Kenapa seperti tersengat listrik? Tapi dia dingin, tidak panas, tapi juga lembut," ujarnya tidak percaya. "Dia masih, hidup, kan?" tanya Darren pada dirinya sendiri. Kepanikan mulai menguasai dirinya. Pria itu bangun dengan susah payah dengan lututnya yang lemas. Darren memang tidak memuntahkan apapun. Tapi hal ini benar-benar menguras emosional yang hampir tidak pernah dia rasakan sama sekali dalam hidupnya yang sudah sangat dewasa. Baru kali ini seorang Darren Hayes menyentuh bibir wanita dengan ujung jarinya, dan rasanya semakin membuatnya penas
"Tuan, tapi Nyonya ini harus segera diperiksa. Kasian bayi dalam kandungannya!" ujar dokter Faisal.Darren bangun dari posisinya berbaring, pria itu mulai melangkah mendekati tubuh Uuna yang masih terbaring lemah. Tanpa keraguan dan membuat dua dokter itu tercengang, Darren mengangkat tubuh Uuna dan membawanya ke dalam kamar pribadi pria itu yang ada di dalam kantornya."Pasien kita sudah sembuh hanya dengan kedatangan wanita itu," bisik dokter Mifta. Sekarang bukan hanya pasiennya yang syok, tapi juga dirinya."Kita masih harus mengujinya, Tuan Darren harus melakukan beberapa serangkaian tes untuk membuktikan bahwa beliau sudah benar-benar sembuh," timpal dokter Faisal tak kalah berbisik dengan pandangan yang selalu mengikuti langkah Darren yang saat ini sudah membaringkan tubuh Uuna dengan sangat hati-hati."Cari dokter wanita untuk memeriksa keadaan wanita ini!" pinta Darren. Pria itu merapikan selimut sampai menutup sebatas dagu.Darren m
Darren meneguk habis air mineral dan membasuh wajahnya dengan handuk basah yang diberikan oleh dokter Faisal. Setelah melihat pasiennya lebih baik, dokter Faisal melakukan apa yang diperintahkan oleh Darren. Memastikan dokter Wanita itu telah selesai memeriksa Uuna, dan membawa kembali pasiennya ke dalam. "Apa kita harus menyemprot ruangan ini?" Tanya Dokter Mifta setelah dokter wanita itu pergi dan dan memberikan resep obat untuk dikonsumsi oleh Uuna. "Tidak perlu, Tuan Darren ingin melakukan terapinya sendiri," jelas dokter Faisal sedikit ragu. "Terapi? Dengan apa? Kita tidak memiliki apapun disini, dokter Sonya sudah membuat Tuan Darren memuntahkan isi perutnya," ujaranya masih tidak habis pikir. Jelas-jelas pasien mereka masih memiliki trauma itu. Dan sampai saat ini mereka masih belum memiliki solusinya. "Tubuh Nyonya itu!" tunjuk dokter Faisal pada Uuna yang masih terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus yang mengg
Darren begitu tidak berdaya, ia hanya dapat melihat semuanya dari jauh. Seharusnya ia ada sana, memeluk wanita itu dan membuatnya tentang, bukan malah disini dan hanya melihat semua kesakitannya."Cepat suruh dokter itu berhenti! Apa dia tuli!""Tenanglah, Tuan! Jika lukanya tidak ditutup itu akan infeksi!" tangkas Dokter Faisal. Ia semakin kuat menahan bahu Darren.Dokter itu dan dua pengawal lainnya sedang menahan bahu dan tubuh Darren agar tidak mendekati Uuna dan menghentikan pengobatannya. Mereka sampai kewalahan dibuatnya."Tapi Uuna kesakitan! Ayolah, meminta dokter itu menyingkir!" pinta Darren semakin frustasi. Darren hampir hilang kendali hingga mambuat pengawal dan dokter itu kewalahan.Darren ingin mendekat, tapi tidak bisa. Darren pasti akan muntah jika mendekati dokter wanita itu dan pastinya akan terlihat tidak cool di mata Uuna. Jelas Darren tidak mau itu. Ia ingin membuat Uuna terkesan dengan penampilan dan sikapnya yang gentle."Tidak bisa, itu sedikit lagi, Tuan. Co
"Kamu bisa teriak kalau mau, jangan ditahan!" Ujar pria itu berusaha kembali menenangkan Uuna. Dia tahu ini terasa sangat pedih."Ta-tapi itu perih! Biar aku sendiri!" Uuna menarik paksa kapas ditangan Darren. Tapi, pria itu menolaknya dengan tegas."No, sedikit lagi, oke!" desak Darren, dan Uuna pun mau tidak mau mengangguk.Tangan Darren, kembali terangkat dan mengarah ke arah pelipisnya dengan wajahnya yang semakin dekat dengan Uuna. Pria itu memonyongkan bibirnya, meniup dengan sangat hati-hati. Perlakuan lembut pria itu membuat pertahanan Uuna runtuh, bahkan pria ini tidak sekalipun membentak atau membalas serangan tangannya. 'Kenapa dia seperti ini? Sebenarnya apa maunya?' Uuna terus meringis menahan rasa perih yang seperti membakar kulitnya. Entah apa yang dioleskan oleh pria ini. Uuna ingin menangis, tapi apa alasannya? Pria ini sudah berjanji akan menjaga keluarganya, bukan? Tidak mungkin Uuna menangis hanya karena rasa perih. Dia tidak selemah itu!Darren semakin kuat meni
Dengan tangan dan kaki yang penuh berlumuran darah, Aisyah berlari kencang mengejar mobil Daren yang sudah jauh membawa tubuh Uuna pergi. Wanita itu terus berlari mengerahkan seluruh tenaganya, memanggil nama keponakannya berulang kali."Uuna, tunggu Bibi, Uuna! Uuna…!" Wanita itu terus berlari kencang mengabaikan suara klakson yang terus memekakkan telinga agar ia minggir dan menjauh dari tengah jalanan.Akan tetapi, Aisyah tidak peduli, wanita itu terus berlari dan berlari meninggalkan jejak kakinya yang penuh dengan darah."Uuna!" Kakinya terseok-seok hingga tidak mampu lagi menopang tubuhnya, ia terkulai dan tersungkur dengan wajah yang menyentuh aspal. "Uuna!"Luna yang baru saja bebas dari cengkraman kedua algojo Darren Hayes langsung mengendarai motor matic milik salah satu pegawainya. Motor itu melaju sekencang mengejar mobil berlogo kuda loncat yang membawa tubuh Uuna. Ia ingin berhenti untuk menyematkan Aisyah, akan tetapi saa
Suara bariton itu membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan penuh tanya. Siapa pangeran yang datang dengan kuda besi berwarna merah itu? Apa benar dia adalah ayah dari bayi yang dikandung oleh wanita ini? Bagaimana wanita ini mengabaikan pria setampan itu dan lebih memilih bekerja keras dan membanting adonan roti setiap hari?! Dan ada banyak lagi pertanyaan di benak penonton dan pengunjung yang datang. Tapi sayangnya, mereka semua hanya bungkam dengan mulut ternganga. Tidak ada satupun dari mereka berani menyuarakan isi pikiran mereka. Entah mengapa, pria itu langsung mendominasi keadaan. Pria itu memiliki aura penguasa yang tidak bisa diabaikan. Semua orang yang sedang bergelut dengan Luna pun tiba-tiba menghentikan serangan mereka. Luna tengah-tengah dengan tangan menjambak rambut keriting dan mencakar wajah wanita bergaun kuning, berusaha mengendalikan amarahnya. Jelas pria di hadapannya ini tengah
Beberapa hari kemudian."Kamu tenang aja, Uuna. Mungkin pemilik Hotel itu hanya menggertak kamu atas kelalaian yang kita lakukan, sekarang kamu lebih baik fokus sama bayi kamu aja, deh!" pinta Luna sambil mengaduk jusnya.Luna begitu mengkhawatirkan sahabatnya, dia bahkan tidak bisa fokus mengurus tokonya sendiri. Setiap hari hanya memastikan keadaan sahabatnya ini baik-baik saja. Luna bahkan memilih untuk tinggal di apartemen bersama dengan Una dan Bi Ai.Uuna hanya menatap makanannya nanar. Dirinya tidak bisa berpikir jernih dalam tiga hari ini. Jika terjadi sesuatu pada toko sahabatnya, entah apa yang bisa dia lakukan."Terkadang buaya bersikap cukup tenang sebelum dia mencapai mangsanya," ungkap Uuna.Faktanya, tidak akan ada orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat bagus, apalagi jika menyangkut soal ganti rugi. Ini perusahaan besar yang memiliki banyak keterkaitan dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang juga tidak ingin d
Tubuh Uuna terkulai lemas dalam dekapan Hanun. Kembali mengingat jumlah denda sebesar dua puluh milyar kembali membuat Uuna tidak sadarkan diri. Hampir seluruh pengunjung toko menoleh ke arah sumber keributan. Sebagian bahkan ada yang berlari ke arah dimana Uuna duduk dan ikut panik melihat pemilik toko yang sering mereka lihat tidak sadarkan diri. "Ada apa ini?" "Kenapa dia pingsan? "Bagaimana keadaannya?" "Kenapa?" Dan ada banyak lagi pertanyaan dari para pengunjung toko. Bi Ai langsung mengambil alih tubuh Uuna dan memeluknya erat. Wanita setengah baya dengan kacamata kotak itu terlihat sangat cemas dengan linangan air matanya. Jika terjadi sesuatu pada keponakannya, ia lebih baik memilih mati! Untuk apa hidup jika tidak memiliki tujuan yang berarti, itulah yang ada di dalam benak Bi Ai. "Uuna, sebenarnya ada apa? Kenapa sampai seperti ini?" tanya bi Ai sambil terus mengusap wajah Uuna. Luna berlari kencang k
"Ya, sepertinya begitu. Tuan Darren lebih mengerikan dengan senyum itu!" timpal dokter Faisal nyaris seperti gumam.Melihat kedua orang yang bersikap aneh, dengan mudah Uuna menerobos keluar dari pagar orang yang berdiri menghalangi pintu. Lagi pula, orang yang dibelakang tubuhnya diam saja tanpa suara.'Dan mereka sama gilanya dengan orang itu,' pikir Uuna.Uuna langsung berlari mengabaikan beberapa orang yang menatapnya penuh selidik. Sedangkan dokter Faisal dan Dokter Mifta mulai tersadar dari lamunan mereka."Tuan, anda baik-baik saja? Apa wanita itu bisa menyembuhkan Anda? Kenapa anda membiarkan wanita itu pergi begitu saja?"Semua pertanyaan itu terlontar dari bibir dokter Mifta dalam satu tarikan napas."Kita akan mendapatkannya, tapi dengan cara yang terhormat dan atas kemauannya sendiri," jelas Darren masih dengan senyum aneh di bibirnya.Senyum itu sebenarnya sangat menawan, tapi karena Darren Hayes hampir tidak
Darren meneguk habis air mineral dan membasuh wajahnya dengan handuk basah yang diberikan oleh dokter Faisal. Setelah melihat pasiennya lebih baik, dokter Faisal melakukan apa yang diperintahkan oleh Darren. Memastikan dokter Wanita itu telah selesai memeriksa Uuna, dan membawa kembali pasiennya ke dalam. "Apa kita harus menyemprot ruangan ini?" Tanya Dokter Mifta setelah dokter wanita itu pergi dan dan memberikan resep obat untuk dikonsumsi oleh Uuna. "Tidak perlu, Tuan Darren ingin melakukan terapinya sendiri," jelas dokter Faisal sedikit ragu. "Terapi? Dengan apa? Kita tidak memiliki apapun disini, dokter Sonya sudah membuat Tuan Darren memuntahkan isi perutnya," ujaranya masih tidak habis pikir. Jelas-jelas pasien mereka masih memiliki trauma itu. Dan sampai saat ini mereka masih belum memiliki solusinya. "Tubuh Nyonya itu!" tunjuk dokter Faisal pada Uuna yang masih terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus yang mengg
"Tuan, tapi Nyonya ini harus segera diperiksa. Kasian bayi dalam kandungannya!" ujar dokter Faisal.Darren bangun dari posisinya berbaring, pria itu mulai melangkah mendekati tubuh Uuna yang masih terbaring lemah. Tanpa keraguan dan membuat dua dokter itu tercengang, Darren mengangkat tubuh Uuna dan membawanya ke dalam kamar pribadi pria itu yang ada di dalam kantornya."Pasien kita sudah sembuh hanya dengan kedatangan wanita itu," bisik dokter Mifta. Sekarang bukan hanya pasiennya yang syok, tapi juga dirinya."Kita masih harus mengujinya, Tuan Darren harus melakukan beberapa serangkaian tes untuk membuktikan bahwa beliau sudah benar-benar sembuh," timpal dokter Faisal tak kalah berbisik dengan pandangan yang selalu mengikuti langkah Darren yang saat ini sudah membaringkan tubuh Uuna dengan sangat hati-hati."Cari dokter wanita untuk memeriksa keadaan wanita ini!" pinta Darren. Pria itu merapikan selimut sampai menutup sebatas dagu.Darren m