Diusir, ditolak, dicacih, tak dihargai. Mexsi hanya bisa terima, gadis itu terus saja mengganggu pikirannya. Datang dan pergi sesuka hatinya, masker dan topi hitam yang ia kenakan sedikit membantu komunikasinya. Mexsi menunggu Keyla keluar dari sana, banyak nyamuk yang menyerang kulitnya ia tetap tak bergeming hanya terdiam menunggu di sana.
Lama menunggu akhirnya gadis itu keluar. Ada yang aneh saat Gadis itu keluar dari tempat les. Tak ada semangat rambutnya tetap berantakan seperti biasanya. Beberapa kali Mexsi perhatikan, Keyla tampak ngantuk, cowok itu khawatir saat berjalan nanti terjadi sesuatu padanya.
"Apa gue anter aja," kata Mexsi akan mengambil motor. "Tapi... dia akan menolak dan bilang gue bukan anak kecil."
Bicara sendiri terpaksa Mexsi mengikutinya secara diam-diam.
Gadis itu berjalan sempoyongan. Saat menyebrang matanya menyipit, mobil sedang melintas. Mexsi syok melihatnya, berlari menarik tubuh gadis itu ke pinggir jalan.
See you, next part ➡️
Senang sekali hari ini Keyla berhasil mengerjai Mexsi dengan mudahnya. Berbeda saat berada di Singapura, meski sudah meminta bantuan temannya di sana. Tetap tidak berhasil mengerjai Mexsi, tidak salah keputusannya tinggal di Indonesia lebih lama. Menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Keyla tersenyum bahagia, melihat buku diary kakanya yang kemarin malam belum sempat dibaca. Membuatnya sedikit penasaran. Meraih buku itu, membaca lembar demi lembar. Sampai akhir pun di dalam buku itu, masih dirahasiakan cinta pertama dan kekasihnya yang sekarang. "Siapa? Jadi, kaka benar-benar pintar. Apa gue harus giat belajar ya, nanti lah gue pikir-pikir masalah belajar." ia merebahkan dirinya di atas kasur. *** Kelas segera dimulai. Tapi di mana Mexsi? Kenapa bangkunya masih kosong? Keyla mencari-cari lelaki itu dengan kedua bola matanya. Tina memperhatikan gadis itu, mulai menghalangi pandangan Keyla.
Ujian akhir semester dimulai. Tino menulis contekan di kertas yang ia potong kecil-kecil, di sembunyikan di dalam celana. Kebanyakan siswa menyontek, biasanya Keyla juga selalu membawa contekan. Berbeda dengan sekarang, biasanya ia akan melampiaskan kesedihannya pada Mexsi. Dengan cara terus saja menjailinya. Sekarang lebih ke mata pelajaran, ia belajar dengan sungguh-sungguh, belajar dengan segiat-giatnya. Ada alasan dibalik perubahannya itu. Ingin mengetahui seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya dua kali. Siapa? Apakah orang itu kekasih kakanya? Atau seseorang yang peduli padanya? Semua pertanyaan itu diajukan dibenaknya. Satu minggu telah berlalu... Poster pengumuman peringkat pencapaian hasil siswa, ditempelkan di tembok. Baru pertama kali Keyla ikut berdesakan. Dulu cuek, tidak memedulikan nilai. Kini sangat peduli, saat melihat yang peringkat pertama tetap M
Mexsi melihat Will mendekati Keyla. Keyla bertanya pada Tina siapa sebenarnya kekasih kakanya? Namun Tina tidak mampu menjawab, karena melihat Mexsi dari kejauhan menggeleng-gelengkan kepala. Keyla mulai kesal, gadis itu bertanya pada Ino. Tino yang biasanya mulut ember. Kini embernya telah terisi penuh janjinya pada seseorang, yang lain pun tak ada yang memberitahunya. Melihat Mexsi di depannya. Keyla akan menyapa, lelaki itu memutar tubuhnya menjauhi Keyla. "What? Gue gak salah liat, cowok itu mulai lagi," kata Keyla dengan enggan mengikuti arah pandangannya pada lelaki itu. Dari masuk kelas, istirahat, sampai jam pulang. Keyla memperhatikan Mexsi tanpa henti, sambil memasang wajah cemberut. Di tengah lapangan ia semakin menatapnya, saat sesekali Mexsi melirik ke arahnya. Gadis itu tersenyum datar, tapi dia malah menyapa Tino. Tidak bisa dibiarkan, Keyla b
Teman-teman Mexsi menatapnya serius. Di dalam kelas Keyla hanya bisa diam. Tina mendekatinya dan yang lain ikut mendekatinya, mereka semua mengetahui kejadiaan nahas yang menimpa teman sekelasnya. "Gue tahu... banyak pertanyaan yang ingin kalian ajukan. Kalian pasti pengen tahu yang sebenarnya, tapi gue masih belum bisa jawab pertanyaan kalian." Keyla bangkit. Berlari keluar kelas, Tina dan Ino mengejarnya. Berada di atas atap lantai tiga, keinginannya untuk mengakhiri hidupnya semakin kuat. Hanya dengan satu dorongan saja. Ia mulai menaiki batas pagar, Tina dan Ino berteriak. Mereka secepatnya menarik Keyla turun dari sana, menatap Keyla bertanya-tanya. "Kalau sampai Mexsi kenapa-napa, gue gak akan pernah bisa maafin diri gue sendiri. Dan satu-satunya cara ikut mati bersamanya, gue lebih baik mati daripada terus merasa bersalah." Tina dan Ino memeluk Keyla. Mereka ikut larut dalam kesedihannya, mencoba menenangkan Keyla. "Jangan Keyla
Apa Keyla saat ini sedang bermimpi? Bukankah dia dirawat di rumah sakit yang berada di Singapura. Astaga sudah satu bulan lebih dia di sana, pantas jika dia berdiri dihadapannya seperti sekarang. Keyla memegang pipinya. Takut ini hanyalah khayalannya semata, lalu menghilang. Ternyata dia masih berada di sana, tak lama kemudian Keyla memeluknya dengan sangat erat. "Dasar bodoh!" Keyla mulai menangis tersedu-sedu. "Tadinya kalau lo gak kembali, gue bakal rebut posisi lo peringkat pertama." Pak Selamet terkejut begitu pun anak muridnya. Semakin memeluknya erat. Mexsi mencoba melepaskan pelukan gadis itu, mereka saling bertatapan. "Lo siapa?" pertanyaan pertama yang dilontarkan lelaki itu setelah sekian lama tak bertemu. "Lo kenapa?" tanya Keyla menghapus air matanya. Mexsi menengok ke dalam kelas. "Ini kelas ipa, gue katanya pe
Sesuai dengan perjanjian kemarin. Mexsi datang bersama dengan ibunya. Ayahnya sedang berada di luar negeri, mendengar kabar bahwa putranya ingin bertunangan sedikit terkejut. Mexsi menjelaskan hanya bertunangan bukan menikah, tentu saja pasti menikah. Tapi pada saat nanti ia sudah menjadi seorang yang dapat melanjutkan usaha ayahnya. Berbeda dengan ibunya. Ibunya hanya tersenyum mendengar putranya ingin membuat sebuah hubungan dengan seseorang, ia juga terharu menyadari putranya sudah semakin dewasa. Wino mempersilahkan Mexsi dan ibunya duduk. Sarah membawa minuman dan makanan, gadis itu duduk disebelah kakanya. "Silakan, apa yang ingin kamu katakan?" tanya Wino menatap Mexsi sambil tersenyum. Mexsi terdiam cukup lama. Ibunya merasa bahwa putranya tidak bersungguh-sungguh dalam ikatan ini. Semua orang yang berada di sana semakin menatapnya, ibunya memegang tangan putranya. Mexsi menengok ke arahnya, sekuat tenaga mencoba menatap Sarah dan Wino.
Sampai di depan rumah Mexsi. Keyla turun dari sana, Ibu Mexsi bahagia melihat banyak teman yang di bawa putranya. Saat sedang menyiapkan minuman. Keyla masuk ke dalam dapur, membantu Ibu Mexsi. Tina dan Ino saling berpandangan, mereka tersenyum melihat gadis itu membantu ibu pemilik dari rumah ini. "Tidak usah nak, yang ada ngerepotin kamu." Ibu Mexsi menatapnya. Sambil memeras jus lemon, dan menuangkannya ke gelas yang berisi batu es. "Ada juga kedatangan kita yang udah bikin tante repot, sini biar saya saja yang memerasnya," pinta Keyla mengambil jeruk lemon dari tangan ibu Mexsi. Selesai membuat minuman. Keyla dan ibu Mexsi mempersiapkan makanan dan minuman. Mexsi tersenyum melihat Keyla dan ibunya akrab, seandainya saja. Waktu bisa diulang, ia melamar Keyla bukannya Sarah. Mereka pasti akan semakin lebih dekat dari sebelumnya. Ibu Mexsi mulai menyadari sesuatu. Putranya terlihat tersenyum bahagia saat melihat gadis yang memba
Dua hari lagi pertunangan Mexsi dan Sarah akan segera diadakan. Keyla selama berhari-hari murung di dalam kelas, Ino mencoba menghiburnya. Tetapi dia bagaikan patung, tidak mau bergerak sama sekali. Sudah tak tahan melihat sahabatnya patah semangat hidup seperti itu, Ino menceritakan segalanya sebelum bel jam pulang berbunyi. "Gue gak sengaja denger semuanya Keyla, Mexsi bilang sama ibunya, 'bahwa pelakunya belum tertangkap, bahkan pelakunya mengancam. Akan melukai lo, kalau Mexsi nolak tunangan sama Sarah', Mexsi cuma cintanya sama lo, sayangnya juga cuma buat lo." Keyla menatap Ino serius. "Jadi, maksud lo... selama ini Mexsi pura-pura hilang ingatan, terus jauhin gue. Buat melindungi gue, jadi selama ini... selama ini dia... " "Mengorbankan cintanya cuma buat melindungi lo." potong Tina. "Tunggu sebentar, gue inget sesuatu... gue harus pergi ke tempat di mana gue di culik. Gue haru
Kepala Keyla sulit sekali bergerak, ia tak mampu menengok ke belakang. Ia berjanji tidak akan menangis lagi, tetapi sulit baginya berhenti. Lelaki itu melingkarkan tangannya pada tubuh Keyla, lalu mendekapnya tanpa ragu dari belakang."Kau jahat sekali, kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?" tanya Mexsi menopang dagunya di atas pundak Keyla. "Kau tahu aku begitu menderita, setiap hari harus meminum obat dan melupakan semua hal tentangmu." "Ba .. gaimana mungkin, kau mengingatku kembali. Harusnya kau tetap melupakanku, Mexsi!" Jerit Keyla dengan wajah sedih."Itu kah maumu?" tanya Mexsi mundur selangkah. Keyla tetap tidak berani berbalik, apalagi menatap wajahnya. "Baik kalau begitu, aku pergi .... "Keyla tiba-tiba saja memegang lengannya sambil menunduk, tangannya bergerak sendiri tanpa meminta izin pada pemiliknya. "Aku ... Aku takut menembakmu, aku sangat takut kehilanganmu.""Tatap mataku, Keyla," kata Mexsi. Gadis itu hanya dapat menggeleng. "Kubilang tatap mataku, Keyla!" Teri
Tina dan Ino terdiam sesaat, mereka berharap kalau Keyla tidak memikirkan perkataan Tino. Mereka meyakini jika sampai percaya maka apa yang akan terjadi pada sahabatnya, tiba-tiba saja Keyla berdiri, menatap segan ke arah Tino. "Keyla mau ke mana?" tanya Ino pelan."Keyla, di sini aja ya. Gak usah dengerin apa yang barusan Tino bilang, kita kan tahu kalau dia suka bercanda. Dan selalu membangkitkan emosi kita, iya kan Ino?" kata Tina melirik pelan ke arah Ino."Oh iya haha." Ino sedikit tertawa sambil memukul pelan pundak Tino.Selama ini Mexsi yang menemani Kayla dalam keadaan sesulit apapun, bahkan sampai detik-detik terakhirnya saja. Mexsi mampu membuat bahagia di masa sulitnya, apakah Keyla menyadari hal itu. Tentu saja, Keyla sangat memahami hubungan mereka berdua. Satu hal lagi yang belum Keyla tahu. "Gue sama Mexsi udah saling benci pada saat usia kanak-kanak."Tina langsung bertanya. "Apa penyebab kalian saling membenci?"Ino dan Tino hanya menatap ke dalam mata Keyla sambil m
Hanyut dalam dekapan ibu Ino membuat Keyla semakin tak sanggup menahan air matanya. Cukup lama ia menahannya, terbendung sudah hampir meluap keluar. Air matanya mengalir deras turun melewati pipinya yang kini memerah, ia tidak tahu kalau selama ini ia butuh dipeluk oleh seseorang dalam keadaannya yang sedang mencari informasi terkait kematian kakaknya.Ibu Ino berniat menceritakan sedikit tentang semasa hidup Kayla, waktu itu di mana geng Sarah menghancurkan usahanya. Sebagai ibu pemilik kantin di sekolah Ino dulu, Ibu Ino melepaskan pelukannya. Menatap Keyla yang saat ini sedang mengusap air matanya. "Kakakmu Kayla adalah gadis yang sangat baik, dia sangat berjasa bagi kami." Tiba-tiba saja ibu Ino membahas tentang kakaknya."Benarkah?" Kedua bola mata Keyla berbinar-binar saat mengatakannya."Tentu saja, Kayla maju digaris paling depan. Saat kantin kami sedang diobrak-abrik oleh Sarah dan teman-temannya, Kayla sempat terluka dia tidak menyerah sedikit pun. Demi membantu kami, dia sa
Ibunya mendongak ke atas menatap wajah putranya. "Aku tahu betul, jika tangan Bunda bergetar seperti ini. Artinya Bunda berbohong, apakah sangat sulit bagi Bunda memberitahuku yang sebenarnya?" tanya Mexsi masih tetap memegang tangan ibunya."Bunda sudah memesan tiketnya, lebih baik kita bergegas. Nanti ketinggalan pesawat.""Cukup Bunda!" Mexsi sedikit meninggikan suaranya, tapi masih dalam batas wajar. Ia melangkah pergi ke depan pintu."Mau kemana?" tanya ayahnya yang baru saja sampai di depan pintu."Ayah, cegah dia Yah. Mexsi kita mau pergi, dia tidak ingin ikut bersama kita kembali ke Singapura. Ayo Ayah cegah dia," kata istrinya merasa ketakutan yang amat sangat dalam.Suaminya menggeleng. "Biarkan saja.""Apa maksud Ayah?""Biarkan saja Mexsi tinggal dan melanjutkan studynya di sini."Mexsi berhenti melangkah, membulatkan matanya, menengok ke arah ayahnya sedang bicara. Ternyata ayahnya malah memilih membela dirinya ketimbang ibunya sendiri. Selama ini, ayahnya selalu tunduk d
Puk. Sekotak kecil menimpa kepalanya, sampai Mexsi mengelus kepalanya beberapa kali tanpa bersuara. Kotak kecil itu patah, sehingga terlihat isinya sedikit. Ia memegang kotak itu lalu memperhatikannya dengan seksama, nampak tidak asing baginya. Ia mengambil buku diary ingin membuka selembar kertas. "Mexsi!" Jerit ibunya dari luar kamar. Mexsi sampai menjatuhkan buku diary milik kakaknya, ia jongkok mengambil buku diary itu. Ibunya langsung merebut buku itu darinya, ia mengangkat kedua alisnya."Bunda kembalikan, buku diary itu milikku." Pinta Mexsi merengek dengan sedikit bergurau."Nggak, mulai detik ini, buku diary ini. Milik Bunda," jawab ibunya tersenyum masam."Kenapa begitu?" Mexsi menaikan sebelah alisnya karena tak terima buku itu tiba-tiba diambil ibunya."Gak usah banyak tanya, kalau kamu mau buku diary ini. Maka kembalilah ke Singapura, Bunda pasti memberikannya padamu." Ibunya melangkah pergi dari sana setelah mengatakannya.Mexsi hanya terdiam sambil memikirkan segala ke
"Biar gue tarik kata-kata gue waktu itu, beres kan?" jawab Keyla lalu bertanya padanya."Bisa gak, jangan egois. Ambil keputusan secara sepihak begitu, kita.""Kenapa, kenapa, nyawa kalian bisa dalam bahaya jika terus bareng gue. Kalian tahu sendiri kan, ayah gue udah jadi korban. Dan gue gak mau kehilangan lagi, gue mohon sama kalian jangan pedulikan untuk kali ini saja, jangan menoleh. Cukup berpaling aja," ungkap Keyla yang bersungguh-sungguh takut kehilangan lagi.Tina dan Ino terdiam sesaat, lalu Tina maju selangkah menujunya. "Terus lo pikir kita juga mau gitu kehilangan sahabat kita lagi?""Kenapa kalian sampai segitunya, harusnya kalian gak usah melakukan hal ini.""Karena kita ini sahabat," jawab Ino dengan tersenyum sambil menutup matanya."Huaaaa!" Keyla menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Tina dan Ino kembali saling pandang, mereka memeluk Keyla bersamaan. Mereka menumpahkan kesedihan, kerinduan, serta persahabatan menangis bersama di sana. Beberapa saat Ino menghapus a
Para pelayan itu kembali setelah beberapa saat, Mexsi mulai bingung dengan dirinya sendiri. Terkejut dengan apa yang baru saja ia pesan, ternyata makanan itu sama dengan apa yang dipesan gadis itu. Tapi makanan itu sangat familiar untuknya, rasanya ia sudah pernah memberikan makanan itu pada seseorang tetapi siapa?Keyla bukan tanpa sebab memilih berada di lestoran itu, ia merindukan sahabatnya yaitu Ino berada di sana. Tanpa gadis itu sadari Ino telah berada dihadapannya, duduk di sana sembari terus memperhatikannya.Mexsi sedang mengunyah makanannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan santai, setelah mengetahui siapa orang itu ia tetap melanjutkan makan. "Gue cari lo kemana-mana ternyata lo ada di sini, lagi enak makan lagi. Bla, bla." Dito ngedumel dengan seribu bahasanya.Dirasa cukup lelah membacot sendirian, akhirnya ia memilih duduk memesan minum. Kembali menatap wajah Mexsi. "Udah makannya kan?" tanya Dito sambil menyeruput segelas kopi hangat."Iya,"
"Iya Keyla, maksudku kanker itu kantong kering," jawab Dito sedikit membekap mulutnya sendiri. Terdengar cekikikan kecil di sana. Keyla mengerutkan keningnya. "Aku mau beli bunga buat dimakam, masalahnya aku gak bawa uang. Gimana ya?" lanjutnya kembali melirik Keyla dengan penuh harap.Tanpa berpikir panjang Keyla langsung mengambil dompetnya dari dalam tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa sejumlah uang dari sana, memberikannya pada lelaki itu tentu saja sudah mengerti Dito tak mau mengambilnya. "Apa lagi, masalahnya?" tanya Keyla sedikit geram.Dito malah melangkah dengan cepat memegang tangan Keyla. Entah kenapa Mexsi merasa kesal setengah mati, ketika melihat Dito memegang tangan gadis itu. "Bisa tolong pilihkan, aku gak paham caranya memilih bunga yang bagus. Aku mohon banget sama kamu. Bantu aku untuk kali ini aja ya, ya." Dito mengatakannya dengan penuh harap. Dengan amat sangat terpaksa Keyla mengangguk. "Emang kamu mau ziarah ke makam siapa?""Kak Morgan, terus aku sam
Dito meraih daun pintu mobilnya, lalu menyuruh Mexsi masuk ke dalam. Ia langsung tancap gas, ditengah perjalanan menancap rem sampai tubuh Mexsi sedikit terpental ke depan. Lelaki itu menatapnya sinis, sedangkan Dito menoleh ke belakang dengan mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Mexsi sedikit kesal dibuatnya."Gue baru inget Mexsi," selorohnya dengan nada sombongnya."Inget apaan?" Kembali bertanya dengan menaikan sebelah alisnya."Mau pergi ke mana?""Ck," Mexsi berdecak heran. "Mangkannya tanya dulu, cari aja di Maps. Makam terdekat taman indah buana," katanya melipat kedua tangannya di atas dada."Oke!" Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Sesampainya mereka di tempat tujuan. Dito turun dari balik pintu mobil, ia mulai sigap membukakan pintu mobil untuk Mexsi. Kenapa demikian? Mexsi berpikir jika Dito tak membukakannya pintu nanti akan disuruh masuk kembali. Seperti kejadian di waktu yang lalu, saat mereka berada di Singapura. Ingatan Mexsi tajam mengenai hal itu, tapi ia