"Eh? Padre? Ehehe~"Tiga detik berikut, Federick menarik Noah keluar dari lift sembari menjewer telinga kanan sang putra yang mulai meminta ampun itu. Tara mengulum bibir bawahnya, dihinggapi malu lantaran kepergok dalam posisi yang membahayakan lagi. Malahan, ini sudah yang kedua kalinya. Tara jadi bingung, mau menaruh mukanya di mana."Sembarangan ya kamu! Mentang-mentang sudah dapat persetujuan dari orang banyak, seenaknya saja mau menerkam Tara di berbagai tempat." Gerutu Federick, yang sukses mengundang semburat kemerahan pada pipi Tara. Kalimat yang terdengar membuatnya kepayahan.Elisabeth menggandeng lengan Tara, tertawa pelan. "Maaf ya, Tara? Kalau kalian sudah menikah nanti, hajar saja dia kalau berbuat macam-macam. Kami ikhlas."Tara tertawa hambar. Sepertinya Federick dan Elisabeth benar-benar menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Tetapi mengingat bahwa dia sedang malu, terharunya dilanjutkan nanti saja.Rupanya, siang itu mereka melangsungkan makan siang bersama di sala
Setelah melewati tiga pekan penuh kesibukan, hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Akad nikah dilangsungkan terlebih dulu di KUA, sedangkan resepsi pernikahan akan dilaksanakan pada pekan berikutnya sebab beberapa sanak keluarga Alejandro masih ada yang dikungkung pekerjaan.Mengembungkan pipi, Tara menatap pantulan dirinya melalui cermin kecil yang disodorkan oleh sang sahabat. Selepas dapat menghubungi adik dari almarhum ayah kandungnya yang tak pernah ditiliknya itu untuk menjadi wali nikah, pihak keluarga Alejandro tak mau lagi berlama-lama. Demi memastikan Tara berada dalam perlindungan mereka, akad nikah pun didahulukan. Tara memainkan jemarinya. Kebaya berwarna putih tulang yang dikenakam terasa begitu sesak akibat kegugupan yang menguasai. Pak Penghulu telah datang, sementara Noah juga sudah duduk di sampingnya dengan keringat dingin yang mengaliri kening.Wanita muda itu terkekeh, yang mana mengundang tatapan Noah. "Ada apa? Kenapa ketawa?""Kamu lucu kalau gugup begini." Ko
Pukul sebelas malam. Noah dan Tara sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah kecil Tara. Sebetulnya Elisabeth ingin memesankan kamar terbaik di salah satu hotel yang telah dikunjungi, tetapi putra satu-satunya itu bersikeras ingin tinggal di rumah Tara saja. Katanya; banyak memori yang berada di rumah itu.Selagi kediaman megah Alejandro diisi oleh para kerabat, begitu pula dengan kedua orang tua angkat Tara, pasangan pengantin baru tersebut mendapatkan waktu untuk berdua saja. Begitu sampai di tujuan, Tara memasuki rumah terlebih dulu. Noah keluar mobil belakangan sambil mengatur detak jantungnya.Aneh. Padahal sebelumnya dia pernah menjadi pemuda nakal yang sok-sokan menjelajahi tiap wanita panggilan. Sekarang, kenapa dia gugup begini ya? Malah seperti bocah SMA yang baru pertama kali mengetahui soal urusan ranjang.Noah menggelengkan kepala cepat-cepat. "Enggak! Ini cuma gugup, karena akhirnya aku berhasil menikah sama orang yang aku cintai. Iya, pasti karena itu."Memasuki rumah
Resepsi pernikahan dilangsungkan di salah satu ballroom hotel terkenal. Sebetulnya Tara tidak ingin dilaksanakan terlalu berlebihan, tetapi pasangan Alejandro—yang telah resmi menjadi mertuanya itu sangat mendambakan pesta yang mewah dan ramai. Tidak bisa menolak, pada akhirnya Tara hanya mampu menurut dan pasrah menjadi pengantin baru yang berbahagia dalam resepsi tersebut.Ketimbang akad nikah, tamu yang berdatangan sekitar empat kali lipatnya. Selain keluarga besar, banyak sekali tamu dari dunia hiburan yang datang untuk menyelamati Noah dan Tara. Bahkan seluruh staf Hacer datang diiringi senyum berbahagia. Tara terperangah, berpikir bahwa para staf yang pernah membicarakannya secara diam-diam itu enggan datang—atau sedang mengumbar senyum palsu belaka. Tetapi, melihat bagaimana ketulusan dalam tiap sorot yang beradu dengan matanya, Tara menyadari jika mereka sedang berdamai dengan kenyataan yang ada.Begitu juga dengan salah satu tamu yang hampir memintal hubungan baru terhadapny
Juwita hamil.Sejak mendengar kenyataan tersebut terlontar dari mulut Seno, Tara tidak bisa berpikir jernih. Sisa hari itu Tara lebih banyak diam dengan isi kepala yang amburadul. Timbul berbagai praduga mengerikan mengenai dirinya sendiri, yang mana menambatkan keresahan dalam sudut hatinya.Noah mengetahui asal-usul atas keterdiaman yang istrinya itu rasakan. Dia sudah berusaha membangun konversasi sekecil apa pun, tetapi Tara hanya menanggapi sekadarnya. Seketika, Noah menarik pernyataannya mengenai kedatangan Seno yang tidak mencari gara-gara. Kenyataannya, pria tengik itu sengaja memancing emosi di salah satu hari bahagia Noah dan Tara.Seno ingin menghancurkan kebahagiaan yang Tara rasakan—lebih tepatnya begitu. Dari hal tersebut pula, Noah menyadari bahwa sebaik apa pun diri kita, tak mudah untuk membuat orang-orang jahat itu berhenti. Noah pikir, Seno sudah kapok. Namun lihatlah! Pria itu baru saja menambah dengung kegelisahan dalam kepala Tara bagaikan monster yang menerkam m
"Bulan madu? Harus—eh?" Tara cepat-cepat meralat pertanyaannya sendiri. "Maksudku, apakah perlu? Kita kan udah melakukan 'itu' di berbagai kamar bolak-balik, Noah."Salah satu keunggulan mempunyai istri yang sudah berpengalaman, bisa menempatkan diri di setiap situasi dengan baik. Terkadang, Tara bersikap tegas dan dewasa. Lalu pada beberapa kesempatan, wanita muda itu akan merengek bagaikan bocah perempuan yang meminta bimbingan. Apalagi kalau soal urusan ranjang—walah! Noah sampai kewalahan.Noah berdeham, menghabiskan suapan terakhir yang disodorkan oleh Tara. Iya, dia sedang bermanja-manja dengan sang istri. Selepas pergumulan menguras emosi yang terjadi semalam, keduanya makin lengket entah karena apa. Sebetulnya Federick sudah bertanya mengenai ketersediaan mereka untuk sarapan di bawah, tetapi Noah terlalu malas menjawabnya. Tentu saja, pastinya sang ayah mengetahui keadaannya saat ini. Terlebih, Noah ingin bersama dengan Tara setiap detiknya. Dia ingin memastikan dengan mata
Pagi itu, mobil yang Noah tumpangi baru saja meninggalkan kediaman baru mereka yang dekat dengan kantor yang suaminya kelola. Mereka telah memutuskan, rumah kecil yang Noah dan Tara miliki akan dikontrakkan saja. Walaupun Tara harus melepas rumah penuh kenangan yang dimilikinya tersebut dengan berat hati, tetapi keputusan yang mereka tempuh saat ini memang sudah benar.Tara akan pergi ke Hacer belakangan, sebab Cell sudah berjanji untuk menjemputnya. Rencananya mereka akan mampir ke rumah Reina untuk memberi sarapan yang ibu hamil itu idamkan. Sahabatnya itu menginginkan makanan buatannya.Setelah mempersiapkan diri dan memastikan rumah dalam kondisi bersih, Tara menunggu Cell di teras. Tidak lama kemudian, mobil si produser mungil itu terlihat di depan pagar rumah barunya. "Maaf lama, Tar!" Ucap Cell. "Aku harus cari coretan lirik yang semalam ikutan kebuang.""Nggak apa-apa kok! Yang pen—" Tara menghentikan perkataannya, lalu tangan kanan membekap mulutnya sendiri. "Cell? Ini bau p
"Tara!"Noah berangsur memeluk Tara begitu memasuki ruangan yang berisikan oleh sang istri beserta keluarganya. Usai mendengar berita kehamilan Tara, Noah mengendarai mobil seperti pembalap. Dia tak sabar untuk bertemu sang terkasih dan mengungkapkan kebahagiaan yang akan meledak-ledak itu.Mengabaikan eksistensi keluarganya, Noah langsung memberondongi Tara dengan kecupan bertubi-tubi. Tara menepuk bibir sang suami dengan pipi memerah menahan malu. "Noah! Ada banyak orang kok kamu malah nyosor terus sih?!"Noah meringis, "Ini karena aku terlalu senang, Sayang. Astaga, rasanya aku mau teriak ke seluruh dunia, kasih tau kalau istri kesayanganku ini hamil.""Alay kamu ya?""Biarin! Alay-alay begini, suami kamu lho!" Noah mendekat, berbisik tepat di telinga kiri Tara. "Terus alay-alay macam gini, nyatanya sukses menghamili kamu juga lho!""Minta ditimpuk beneran ya kamu, Noah!" Tara sudah bersiap untuk memukul Noah menggunakan ponselnya, tetapi suaminya itu cepat-cepat bersembunyi di bal