Anjani berbaring memunggungi Bian, mereka dalam satu selimut yang sama. Anjani sedang mode kesal karena gara-gara Bian, mereka sekarang hanya memakai celana dalam.
Entah kapan dan dimana Bian melepaskan dress putihnya Anjani lupa. Selama berciuman Bian memangku tubuhnya berpindah tempat untuk menuruni kasur. Untung nggak sampai keluar kamarnya ini.
"An, jangan marah dong," bujuk Bian menghembuskan napas di punggung mulus Anjani. Tangan pria itu tak tinggal diam, meraba bagian perut hingga naik ke dada, memainkan milik wanita itu.
"Apaan sih mas geli," desis Anjani menepis tangan Bian dari tubuhnya.
Menemukan ide guna membujuk wanita idaman, Bian menyengir lebar, ia menarik bahu Anjani hingga wanita itu telentang, lantas Bian mengambil kesempatan dengan mengambang di atas tubuh Anjani, bertumpu pada kedua sikunya sendiri.
Pipi Anjani merah merona, dia membuang pandangan ke samping. Sungguh,
Anjani membulatkan matanya menatap Bram. Ia terkejut melihat pria itu datang tanpa menghubunginya lebih dulu. Lagipula darimana Bram tahu rumahnya berada di daerah sini? Padahal sebelumnya, ia tak pernah sekalipun memberikan alamatnya pada pria itu.Bram memarkirkan mobilnya di depan rumah Anjani."Selamat siang Anjani," sapa Bram keluar sembari menutup pintu mobilnya.Anjani tersenyum kikuk, "Se-selamat siang, Pak Bram." Ia merasa canggung.Bram pun menampilkan senyum tampannya, senang pada akhirnya dapat bertemu Anjani. Meskipun tadi ia sempat melihat Bian mengeluari rumah wanita itu. Kenapa coba Bian selalu menemui Anjani? Memang ada hal penting apa harus datang setiap hari?Bram tak suka Bian mendekati wanitanya.Bram terkekeh menatap Anjani yang masih terpaku, "Aku tau kamu terkejut melihat kedatanganku, An. Maaf sebelumnya tidak memberitahu."A
"Arghh, apa salahku Bram?!" bentak Bian sembari menyeka sudut bibirnya, darah segar pun menetes mengotori jas hitamnya."Kau bertanya apa salahmu?" Bram dengan amarah yang menggebu mencengkram kerah jas Bian. Menatap netra rekan bisnisnya itu nyalang."Bukankah sudah aku bilang jauhi Anjani hah?! Tapi kau malah bercumbu dengannya! Kenapa?!"Bian membelalak terkejut, ia heran darimana Bram tahu ia dan Anjani sempat melakukan itu, apakah Anjani yang memberitahu? Tidak mungkin! Bram pasti mengirim seseorang untuk memata-matai mereka.Bukannya takut akan gertakan Bram, Bian malah tersenyum tipis. "Memangnya tidak boleh?""Bian!" geram Bram seraya mengeratkan cengkramannya.Dengan sekali sentakan Bian melepas cengkraman Bram di kerahnya. Bian tersenyum kecut."Anda sendiri memiliki hubungan apa dengan Anjani, Bram? Apa kau kekasihnya?" tanya Bian santai.
Usai memberikan makan siang pada Bian dan menyuapi pria itu, Anjani melangkah menggerakan tongkatnya mengeluari gedung Pradipta.Namun di tengah belokan lobi, Anjani tersentak karena seseorang tiba-tiba menarik tubuhnya menepi."Vanya?" Anjani yang tadi syok sebab nyaris saja ia kehilangan keseimbangan, menghela lega mengetahui yang menarik tubuhnya adalah Vanya. Wanita berkemeja pink berpadu rok hitam sebatas lutut itu menyatukan telunjuk ke bibir."Shtt diam, An, mumpung gue ada jam kosong." Vanya celengak-celenguk seolah takut ketahuan seseorang."Kamu kenapa tiba-tiba narik aku?" tanya Anjani.Vanya menghela napas, "Gini ya ada yang mau gue omongin sama lo.""Iyah, ngomong aja sekarang.""Bukan di sini tapi di ruangan gue," jawab Vanya.Anjani mengangguk samar. "Bentar aja ya. Soalnya aku mau jemput anak aku di sekolah."
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Haii manis," sapa wanita itu ceria, membungkuk menatap tubuh Clara yang mungil.Tadinya Clara merasa wanita itu memiliki aura negatif, lantas ia mengenyahkan prasangkanya dan membalas dengan senyuman lebar."Halo tante.""Siapa sayang?" Anjani dari arah dapur menghampiri, menggerakan tongkatnya lebih cepat sebab dari kejauhan ia seperti mengenali wanita di ambang pintu tersebut."Bukan papa Bian, bun. Tapi orang lain," jawab Clara menatap Anjani. Dan setelah menghadap sang tamu mata Anjani membulat, ia mengenal wanita itu, terlebih saat dia menaikkan letak kacamata hitamnya ke atas kepala."Nyonya Cintya?""Baguslah. Kamu masih ingat denganku," ujar Cintya tersenyum.Anjani menyengir tipis, "Bagaimana saya bisa lupa? Nyonya adalah ibunya pak Bian.""Jadi nyonya bundanya Om Bian?""Iya." Cintya mengusap lembut rambut Clara,
Sungguh! Bian sangat bingung sekarang, ia tak menduga Anjani akan tertarik menjadi sekretaris pribadinya. Lalu apakah ini adalah tanda bahwa wanita itu memang sudah mencintainya, ingin selalu bersamanya?Jika benar, Bian tidak masalah posisi sekretaris digantikan oleh wanita itu. Namun, masalahnya, apakah Anjani mampu mengemban semua tugas yang biasa dikerjakan oleh Vanya?Lagipula mengingat kondisi Anjani yang... ah tidak, bukan Bian meremehkan kemampuan Anjani. Tetapi dengan menggunakan tongkat Anjani pasti akan lebih sulit menjalankan tugas.Juga karena ini menyangkut kinerja karyawan, yang pastinya berdampak pada kelancaran perusahaan."Memang nggak bisa ya, Mas?" tanya Anjani sekali lagi. Bian jelas melihat raut kecewa dari wajah wanita itu. Menolaknya, membuat Bian tidak tega."Kamu sendiri udah izin sama Vanya?"Anjani manggut-manggut. Ia tersenyum. "Vanya ngebolehi
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Capek juga ya pak keliling kantor," ucap Anjani mengeluari lift di lantai satu bersama Bian.Bian mengangguk dan tersenyum tipis, ia merasa sedikit bersalah karena dialah yang meminta Anjani memperkenalkan diri hingga ke lantai lima, dimana beberapa karyawannya yang lain bekerja di sana. Namun, ada kepuasan tersendiri bagi Bian dapat memperkenalkan wanitanya ke seluruh penghuni kantor.Itupun baru lantai lima, belum sampai lantai sepuluh. Dan Bian tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Anjani jika ia mengajak wanita itu hingga ke lantai sepuluh hari ini.Akan tetapi, Bian salut karena selama perjalanan tadi Anjani begitu bersemangat dan berulang kali mengangumi seluruh desain kantornya."Tapi pak..." Anjani menghentikan langkah menatap Bian."Ya?""Saya kebelet pipis, ke toilet dulu boleh?"
"Aku mencintaimu, Mas," cicit Anjani kala Bian mengakhiri pagutan mereka. Jantungnya berdegup begitu cepat.Bian membelalak tak percaya, "Benarkah? Katakan sekali lagi, An." Ia menangkup gemas wajah wanita itu. Ingin memastikan pendengarannya tidaklah salah.Pipi Anjani memerah, ia yakin mengatakan isi hatinya sekarang, ini adalah waktu yang tepat. Ia pun menyadari akan perasaannya selama ini kepada Bian. Bukan sekedar sayang, tapi Anjani juga ingin memiliki hubungan yang jelas bersama pria itu.Wanita yang duduk di pangkuan Bian itu kembali berucap, "Enghh saya mencintai mas Bian."Ingin rasanya Bian berteriak ke seluruh penjuru kantor bahwa Anjani sudah mencintainya, wajahnya sangat menunjukan kebahagiaan. Bian mengusap pipi Anjani. Lalu mendekatkan telinganya ke bibir wanita itu."Kurang jelas sayang. Katakan tepat di telingaku."Anjani pun malu-malu kucing mendekatkan
Bian berpakaian sangat rapi hari ini mengenakan kemeja batik yang baru saja ia beli. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk dikenakan saat pergi ke rumah Anjani. Jika kalian menebak Bian ingin melamar wanita itu. Kalian benar.Senyum cerah senantiasa terulas di bibir pria itu, mengancing satu persatu kancing kemejanya sambil menatap pantulan dirinya di cermin, Bian lalu menyisir rambutnya ke belakang. Ah, Bian tidak pernah merasa setampan ini sebelumnya. Hal ini membuatnya semakin yakin, Anjani pasti enggan menolak lamarannya."Bian," panggil Cintya di ambang pintu. Wanita itu tampak lebih muda saat mengenakan gaun batik dan rambut yang diurai sebatas bahu.Bian berbalik dan tersenyum menatap Cintya, "Aku sudah siap, Ma. Gimana penampilan Bian? Ganteng kan?"Cintya pun tersenyum dan menepuk-nepuk lembut pipi Bian, dia terenyuh, sebab tak pernah sebelumnya ia melihat Bian sesenang ini saat akan melamar seseorang.
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu