Jabatan ini ternyata berat juga, berat dalam arti susah untuk yang jujur. Aku baru paham, ternyata jual beli jabatan itu sudah hal yang lumrah. Orang jujur justru banyak dimusuhi orang. Aku juga ternyata salah pilih, dinas sosial itu ternyata lahan basah. Karena menyalurkan uang yang banyak. Jabatan ini juga ternyata sangat menyita waktu dan pikiran. Aku sangat bersyukur punya Bang Parlindungan dan Butet yang selalu siap membantu. Hp-ku yang tadinya jarang berbunyi kini hampir-hampir setiap setengah jam ada yang menelepon."Kayaknya mamak dahulu butuh asisten ini, yang kerjanya khusus terima telepon dan atur jadwal mamak," usul Butet di suatu hari."Belum perlu lah, Tet,""Camat saja ada asistennya," kataku Butet lagi."Iya juga ya, nantinya kita cari,"Pak bupati meneleponku di suatu hari, saat itu aku lagi berada di kantor dinas sosial."Bu Nia, saya mohon jangan terlalu keras, saya setuju kita berantas korupsi, tapi pelan-pelan saja," kata Bupati."Maaf, Pak, saya lihat di dinas s
Kadang aku merasa orang tuaku terlalu berlebihan dalam hal yang terjadi padaku. Ini hanya foto dengan tiga cewek, ayah sampai harus datang ke Jakarta? Padahal aku sudah banyak melihat orang di Jakarta ini, sudah banyak bergaul dengan mahasiswa lain, kurasa aku masih yang paling baik. "Kak Karen, tolong hapus status itu," kataku kemudian lewat pesan inbox.Akan tetapi tak dibalas, mau menelepon aku tidak tahu nomor. Akan tetapi aku memang sangat terganggu dengan status tersebut. Kucoba inbok lagi, tak juga dibalas. Akhirnya aku nekat pergi ke rumahnya yang tidak berapa jauh dari rumah. Kulirik jam sudah menunjukkan angkat setengah sebelas.Saat di pintu gerbang komplek, sekuriti menahan motorku, aku pun menjelaskan maksud kedatangan, yaitu ingin bertemu Karenina. Sekuriti itu bilang menelepon Karen duluan."Oh, aku minta nomornya saja kalau gitu," kataku lagi. Sekuriti ini bukan yang pernah kuberikan uang dulu."Maaf, kami tidak boleh memberikan nomor orang sembarangan, maaf," katan
Dalam hal ini aku merasa ayah berlebihan, ayah bilang berhenti membandingkan, jadi apa ukuran kesuksesan? Jika bukan dibandingkan dengan yang lain? Apa ukuran kebaikan jika bukan karena ada pembanding? "Ayah iri ya, aku lebih sukses dari pada ayah?' tanyaku kemudian.Plakk! Ayah malah menamparku, ini untuk pertama kali setelah aku dewasa ditampar Ayah. "Maaf, Cok," Ayah langsung minta maaf setelah menampar. Tak bicara' lagi ayah pergi ke kamar yang ada di atas yang kebetulan memang kosong.HP -ku berbunyi, ada panggilan video dari Butet, langsung saja kuterima."Mana ayah?" tanya Butet."Merajuk" jawabku."Apa, Cok? Merajuk?" ternyata mamak ada di situ."Iya, Mak?""Kok bisa merajuk?""Itulah, seharusnya aku yang merajuk, ini orang tua yang merajuk, bukan anaknya lagi, dunia terbalik," kataku kemudian."Jelaskan dulu, Cok,"""Ayah menamparku, Mak, lalu ayah yang merujuk, itu di kamar atas berkurung."Cok, ayah menamparmu?" tanya mamak lagi."Iya, Mak,""Kok bisa?" "Kan gini, Mak,
"Bapakmu tampan ya, Cok?" kata Karen seraya duduk di kursi plastik yang ada di depan rumah."Hehehe, iya," jawabku. "Penampilan Bapakmu unik dan antik," katanya lagi."Oh, ya,""Terus badannya tetap bagus, tidak seperti bapak-bapak kebanyakan," Karen makin lanjut memuji Ayah."Rambutnya itu, lo, keren," kata Karen lagi. Selama ini orang selalu bilang rambut ayahku kuno, baru kali ini ada yang bilang keren."Lo datang kemari mau ngapain, mau muji Ayahku ya?" aku agak kesal juga."Aku mau ngajak makan malam," kata Karen lagi."Masih sore,""Maksudnya kita jalan-jalan dulu sampai malam baru makan," "Oh, tidak, terima kasih,""Tolonglah, Cok, malas kali jalan sendiri, " kata Karen lagi.Ah, kata tolong itu lagi, entah kenapa cewek cantik suka minta tolong."Cok, please, aku yang traktir," "Maaf, ada Ayahku," kataku akhirnya."Cok, tolonglah, aku takut jalan sendirian malam, di rumah terus bosan," kata Karen lagi. Dua kali minta tolong itu akhirnya membuat ku luluh juga."Ok, aku gan
Aku memberikan HP pada Ayah, Ayah menghentikan makannya lalu mengajakku keluar dari ruangan. "Bang, Abang ke Jakarta mau nasehatin Ucok, malah ikut-ikutan!" kata Mamak. "Dek, dengarkan dulu, gini ceritanya. ..." "Bagaimana?" "Lihat dulu kemari, Dek, jangan marah-marah gitu," kata Ayah. "Hmmm, aku mendengarkan," "Si Ucok ini kelemahannya kan cewek cantik, jadi dia mau pergi sama cewek cantik, pilihan Abang apa coba, Dek, melarang atau membiarkan? Jika dilarang, taulah kau anak kita, Dek, sudah merasa dewasa, kalau dibiarkan, mana bisa hati tenang anak kita lemah di depan cewek cantik, jadi Abang buat pilihan lain, ikut sebagai pengawal, menjaga anak kita," kata ayah. "Ohhh, gitu, Bang," kata Mamak. "Iya, Dek, Jakarta ini keras, Dek, anak kita lemah di cewek, sementara Jakarta ini banyak ceweknya," kata Ayah lagi. "Jadi bagaimana, Bang, kita suruh dia berhenti kuliah saja?' tanya mamak. "Rumit, Dek, sementara Ucok sudah merasa dewasa," "Jadi. ...," "Begini, Dek, Abang ras
Ayah sepertinya serius, padahal aku yakin mamak hanya bercanda karena kesal Ayah mau ziarah ke Bandung. Tak mungkin rasanya mamak serius dengan ucapannya. "Jangan bicara gitulah, Yah," kataku kemudian. "Betul, Cok, mungkin waktu ayah tidak akan lama lagi, dalam keluarga kita, umur kita itu hanya sampai enam puluh, kakekmu yang paling panjang umur, dia enam puluh an tahun, selebihnya tidak ada yang sampai enam puluh, Ayah sudah lima-lima, Cok, mungkin tidak akan lama lagi," kata Ayah. "Hahaha, candaan mamak kok Ayah tanggapi serius?" aku coba mencairkan suasana. "Memang serius, Cok," kata Ayah seraya melanjutkan zikirnya. Aku pun turun ke bawah membiarkan Ayah khusuk berzikir. HP -ku bunyi, adalah panggilan dari Pak Ali Akhir, segera kuangkat dan mengucapkan salam. "Cok, mamakmu bilang Ayahmu datang ke Jakarta ya?" kata Pak Ali Akhir. "Iya, Pak," "Kok gak kasih kabar kau, Cok, besok datang ke rumah ya," kata Pak Ali Akhir lagi. "Kata Ayah besok mau ke Bandung, Pak," kataku.
PoV NiaTernyata jadi pejabat itu bukan saja banyak menyita waktu, juga banyak menyita pikiran. Untuk jabatan kadis saja sampai sekarang aku belum menemukan yang pas. Ditekan dari atas dan dijilat dari bawah. Begitu lah keadaanku saat ini. Banyak anggota dewan yang memberikan rekomendasi dengan tekanan halus, banyak pejabat di tingkat provinsi yang menekan supaya jagoannya diloloskan. Sementara itu banyak bawahan yang datang menjilat, tiba-tiba baik. Tiba-tiba perhatian.Di saat-saat seperti ini aku butuh dukungan keluarga, yang ada malah Ucok berperangai lagi, kelemahannya tetap cewek cantik. Bang Parlin sampai harus pergi ke Jakarta, padahal aku sangat membutuhkan Bang Parlin di sini. Akan tetapi Bang Parlin tetap bersikeras berangkat ke Jakarta.Tanpa Bang Parlindungan dia sini, aku makin berat mengemban tugas negera ini. Seperti malam itu, ada tamu datang, seorang ASN yang katanya sudah puluhan tahun mengabdi di dinas sosial."Tak ada yang bisa saya tawarkan, Bu, tapi saya janj
Rombongan kami ramai sekali, begitu sampai ke bandara, warga malah sibuk selfie, memang warga desarSawit Nauli sekarang sudah melek internet. Hampir tiap warga punya HP. Sandy juga ambil kesempatan untuk mendokumentasikan perjalanan ini. Dia memang minta izin.Sampai di bandara, warga mulai berangkat, rombongan pertama dua belas orang, dua jam kemudian baru naik lagi sekitar dua puluh orang. Rombongan kami sendiri sekitar lima belas orang. Menurut Torkis karena ambil tiket mendadak itu, tidak bisa satu pesawat semua. Akan tetapi menyebar mengisi setiap set yang kosong."Maaf, Bu Kades, aku mau buang air besar," kata seorang ibu saat kami sudah dalam pesawat."Oh, itu di sana," kataku seraya menunjuk toilet pesawat.Ibu itu lalu pergi ke belakang, beberapa saat kemudian dia datang lagi."Kok cepat kali?" aku mendengar pembicaraan orang di belakang kursiku."Takut, tunggu sampai Jakarta saja," jawab si Ibu."Kenapa?" "Kan mau buang air besar, aku gak tega, nanti kotoranku jatuh pas k