[Waalaikumsalam iya May, Ibu juga udah baca. Ibu sampai kaget kok ramai banget di grup RT. Enggak tahunya Silvi yang cari gara-gara.]
[Ya Bu, May ke rumah sekarang ya. Biar enak kita ngobrol langsung aja.]
[Iya May, Ibu tunggu di rumah ya.]
Akhirnya mereka pun mengakhiri panggilan teleponnya.
“Aku harus pergi sekarang Dev, makasih ya udah ngizinin aku sama Rehan main di sini. Aku enggak tahu kalau enggak ngungsi di rumah kamu. Kami mau ke mana lagi. Di rumah ada Laila, aku enggak mau Rehan harus denger keributan lagi.”
“Loh bukannya Laila juga udah pergi dari rumah? Kok bisa balik lagi?”
“Biasalah ada masalah yang dia tinggalin. Bang Romi mau dia selesaikan dulu.”
Mayra masih saja menutupi aib adik iparnya yang super jorok itu di hadapan Devi. Padahal, kalau saja mau ia bisa saja menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Namun, rasanya sebagai sesama perempuan ia cukup mengerti akan sangat memalukan
“Kenapa kamu diem? Ngerasa ‘kan kamu, namanya laki-laki tuh suka sejorok-joroknya tetap aja enggak akan suka sama perempuan yang jorok juga,” ucap Romi dengan nada yang masih tak enak didengar.“Mas Ilham enggak mungkin ceraikan aku gara-gara ini, Mas enggak usah nakut-nakutin aku,” ucap Laia dengan wajah ditekuk.Jelas sekali ada rasa khawatir yang terlukis jelas di raut wajahnya, meskipun ia sudah berupaya untuk menutupi hal itu.“Mas enggak nakut-nakutin, sebagai kakak Mas cuma nasihatin kamu. Biar rumah tangga kamu enggak berantakan cuma karena masalah sepele. Jaga kebersihan kamu! Mas ngomong gini karena peduli.”“Kalau Mas peduli, harusnya enggak ngusir kami dari sini. Mas tahu ekonomi kami belum stabil. Mas Ilham juga belum dapat kerjaan yang tetap.”“Peduli itu enggak selamanya harus tinggal bareng. Sudahlah belajar hidup mandiri sama Ilham! Biar kamu bisa ngerasain susah sen
“Maksudnya bagaimana Bang, emang sebelumnya Mbak Silvi ngomong apa?” tanya May yang cukup terkejut dengan pernyataan suaminya.Ia bahkan sudah tahu lebih dahulu, tetapi bukannya menegur Mayra. Namun, Romi malah diam. Seolah itu bukanlah masalah yang besar.“Iya, seperti ini kurang lebih. Cuma ya sudahlah, Abang udah tahu dari dulu mulutnya memang jelek, tapi enggak kepikiran aja kalau dia bakal nekat sampai ke grup RT segala.”Entah kenapa saat itu Romi malah terkekeh. Terkadang ia merasa lucu dengan kehidupan yang ia jalani. Berusaha memberikan apa pun yang keluarganya inginkan semata-mata hanya agar ia punya rumah untuk pulang. Romi yang kesepian selalu berharap ia bisa mendapatkan sedikit perhatian dari orang tua dan saudara-saudaranya. Namun, semua itu malah membuat masalah dalam kehidupannya.“Abang tuh heran sama Mbak Silvi dibantuin tapi enggak ada terima kasihnya. Enggak dibantuin juga salah, omongannya enggak pernah
[Bu, maaf ini di depan rumah kok kayaknya ada orang yang mau buka kunci dari luar.]Mayra yang ketakutan bahkan terlihat sedikit gemetar karenanya.[Eh, maksudnya ada maling gitu. Sebentar May, jangan keluar dulu ya! Biar Ibu intip dulu!]Untungnya ia memiliki tetangga yang sangat peduli. Cukup lama ia menunggu Bu Siska yang tengah memastikan siapa orang yang ada di depan rumah. Sampai kemudian Bu Siska pun menyadari ada motor yang berada tak jauh dari rumah Romi. Namun, yang lebih aneh kenapa juga motornya tidak di taruh di depan rumah.Bu Siska jelas tahu siapa pemilik sepeda motor tersebut.[Itu Ibu lihat ada motor Pak Karna. Itu yang mampir palingan masih saudara suamimu May.]Mendengar kesaksian Bu Siska barulah Mayra merasa sedikit lega. Sementara itu, Romi yang melihat istrinya tampak mengembuskan nafas berkali-kali membuatnya turut mengerutkan dahi. Saking takutnya menimbulkan suara, mereka bahkan sampai memakai bahasa tubuh untuk be
“Tapi, ‘kan kuncinya udah sama kita juga Bang.”May sebenarnya hanya tidak ingin membuat semuanya menjadi rumit.“Kamu enggak kenal Mbak Silvi. Abang lebih tahu apa yang bisa dia lakuin di belakang kita.”“Maksudnya bagaimana, Bang?”“Ya bisa aja dia minta kunci ke Laila. Lagian Laila juga belum ngembaliin kuncinya. Enggak ada yang enggak mungkin.”Mayra yang sudah merasa pusing dengan kondisi keluarganya saat ini hanya bisa memijat keningnya, guna menenangkannya. Memang berhasil, tetapi hanya untuk sejenak saja.“Sudah, Abang pergi dulu ya.”“Harus sekarang banget Bang?”“Iya, lebih cepat lebih baik.”“Enggak nunggu besok pagi aja?”“Besok pagi ‘kan ada tukang pintu. Abang tahu kamu enggak suka ada tamu laki-laki pas sendirian di rumah, jadi nanti Abang kerjanya berangkat agak siang aja.”
Sebenarnya dibalik ketegaran yang Romi tunjukkan di hadapan istri dan anaknya, ia juga sosok yang begitu rapuh. Ada sedikit rasa malu mengetahui sifat keluarganya yang serakah dan suka mengambil hak orang lain. Namun, menyadari jika kemampuannya terbatas. Ia juga tidak bisa mengelak hal itu.Mbak Silvi bukanlah anak kecil yang dinasihati sekali langsung berubah. Ia bahkan jauh lebih sulit dihadapi dari anak-anak. Lihat saja sampai di rumah ibu, bukannya merasa bersalah wanita itu masih saja berusaha memutar balikkan fakta.“Mau ngapain lagi kamu ke sini?” tanya Mbak Silvi dengan nada yang begitu culas.Bukan hanya disanggup dengan tidak baik oleh kakak kandungnya, tetapi kedua orang tuanya pun demikian. Entah apa yang sudah Mbak Silvi katakana pada bapak dan ibu sehingga keduanya tampak begitu marah pada Romi. Sekedar bertanya apa tujuan anak laki-lakinya datang saja tidak mereka lakukan.Baik bapak maupun ibu malah mengunci diri di kamarnya t
“Melihat raut marah di wajah suaminya Mayra memilih setuju tanpa mengelaknya lagi. Ia tahu dalam keadaan terpuruk seseorang lebih suka didengarkan. Dari pada terus menyanggah, Mayra memilih menarik lengan suaminya, lantas menuntut pria itu untuk duduk.“Oke, tahun ini May enggak masak di rumah Ibu. May masak di rumah kita aja.”“Makasih ya, udah mau nurut.”“Abang udah buka puasa?”“Udah alhamdulillah.”“Makan nasi?”“Kalau makan nasi belum, tadi cuma batalin aja.”“Hm, ya sudah aku ambilkan nasi ya?”“Boleh, Abis mandi Abang makan.”“Oke.”Ia merasa ada banyak hal yang sedang Romi sembunyikan, tetapi dari pada bertanya secara langsung Mayra memilih menunggu suaminya cerita sendiri. Sebisa mungkin demi membuat Romi nyaman, ia menyiapkan segala kebutuhan suaminya dengan cekatan. Termasuk pakaian ganti d
“Adikmu itu gampang luluh, ini walaupun tadi pagi kita abis marah-marah di rumah, tetap aja kalau ibu minta uang langsung ditransfer. Mana banyak banget lagi, enggak kayak biasanya. Itu artinya dia itu sebenarnya peduli sama kita.”Bu Tuti bahkan masih saja begitu percaya diri jika ia akan mampu menyetir Romi seperti biasanya, padahal sudah dijelaskan kalau tahun ini Mayra tidak akan memasak di rumah ibu. Lagi pula sudah ada Silvi di sana, seharusnya ia bisa diandalkan.“Benar juga ya, Bu. Paling semuanya akan kembali semula setelah lebaran. Lagian darah sudah pasti lebih kental dari pada air. Mau sesayang apa pun dia sama istrinya, lama-lama dia pasti akan balik ke keluarganya juga. Mungkin aja sekarang Romi kirimnya diem-diem biar enggak ketahuan Mayra. Bertahap aja, Bu.”“Bener, Ibu ini kenal adikmu. Dia itu tipe orang yang enggak tegaan apa lagi sama orang tuanya.”Merasa dibela oleh ibunya sejenak Silvi merasa ting
Kondisi menjadi tidak kondusif seiring dengan bertambahnya warga yang ikut terprovokasi meneriaki Silvi. Bahkan meskipun sudah diperingatkan oleh beberapa petugas kelurahan warga tak mau berhenti juga. Saat itu Silvi juga hanya bisa menunduk menahan malu atas perbuatannya.“Enggak tahu terima kasih, udah ditampung malah nyebar fitnah!” teriak seseorang yang entah siapa.Suaranya bahkan tampak menggelegar hingga memenuhi ruangan sidang yang penuh sesak dengan warga yang berebut ingin masuk ke balai pertemuan warga yang luasnya tidak seberapa itu.“Bang, maaf ya. Aku enggak tahu kalau warga akan berbondong-bondong datang ke sini,” ucap Mayra yang malah merasa bersalah.“Enggak apa-apa Sayang, Abang sudah memperkirakan kalau semua ini akan terjadi. Lagian kalau enggak begini nanti Mbak Silvi semakin seenaknya sendiri, kamu enggak ingat kemarin dia mau nyuri di rumah kita. Apa enggak keterlaluan?” tanya Romi.“
“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag
“Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say
“Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki
Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka