Jihan mengajak Septi pergi ke salah satu restaurant yang berada di dekat pusat perkotaan. “Kenapa kamu mengajakku ke tempat ini?” tanya Septi “Aku ingin mengajakmu karena aku ingin membicarakan tentang sesuatu kepadamu,” ujar Jihan “Kamu bsia membicarakannya di kantorku tadi. Untuk apa kita pergi ke restaurant begini, aku sedang banyak sekali pekerjaan,” ungkap Septi Jihan hanya menghela napas kasar, entah apa yang harus dia lakukan untuk membuat Septi berhenti menjadi keras kepala dan mengikuti apa yang diinginkan Jihan“Berhentilah bicara, kita pergi sekarang,” pinta JihanJihan mengenggam erat tangan Septi yang masih bersikukuh untuk tidak datang ke restaurant itu.“Wisnu!!” panggil Jihan melambaikan tangannyaSepti terkejut melihat Brata yang juga ada disana bersama dengan Wisnu membuatnya ingin sekali melarikan diri dari restaurant tersebut dan segera pulang “Aku ingin pulang,” ujar SeptiBrata hanya diam dia tak mau menahan Septi yang hendak pergi itu, dia hanya memperhatik
Jihan menunggu di depan pintu ruangan Wisnu dia melihat Wisnu yang akan berjalan masuk kedalam ruangan membuatnya langsung menadahkan tangannya menagih makanan yang dijanjikan oleh Wisnu.“Kamu sudah janji padaku untuk membawakanku makanan yang aku sukai, mana?” tanya Jihan Wisnu menatap kedua mata Jihan yang menatapnya dengan ekspresi merajuk, Wisnu pun terkekeh dia segera memberikan Jihan makanan yang dia minta“Kamu sangat menyebalkan,” ujar Wisnu Wisnu mencubit pipi Jihan dengan lembut, jantung Jihan terasa begitu berdebar kencang dia sungguh kehabisan nafasnya untuk menghadapi pria seperti Wisnu. “Cepat kembali bekerja! aku tidak ingin ruanganku menjadi kotor,” perintah Wisnu dengan ketus Jihan menatap kedua mata Wisnu dengan tatapan tajam dan dia langsung melemparkan sapu tangan pink miliknya ke arah Wisnu dengan kesal“Bersihkan saja sendiri!!”Wisnu menerima sapu tangan pink tersebut sontak membuatnya tersenyum dengan senang dia memandangi arah langkah kaki Jihan “Terimak
Hubungan Brata dan Septi sudah semakin dekat saja. Perasaan mereka sudah tidak bisa dibendung lagi. Maka Septi pun mengutarakan keinginannya kalau memang Brata sudah siap dan serius."Nikah?" Brata mengernyit dahi. Jalan pikiran Septi sulit ditebak. Tidak ada angin tidak ada hujan, Dia malah membicarakan soal pernikahan."Iya, Mas. Emang Mas Brata enggak mau menikah sama aku?" Septi manyun. Brata menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal. Sedikit bingung dengan gelagat Septi."Pasti Septiku, kamu tidak usah risaukan hal itu, Tapi...." Brata menggantung perkataannya."Tapi, Apa Mas? Sekarang sudah tidak ada permasalahan lagi. Kalau memang serius segera nikahi aku. aku tidak akan meminta untuk kedua kali.”Brata terdiam sejenak. Seperti ada sesuatu yang dia pikirkan. Beberapa saat kemudian, dia berkata,"Ok, besok kita menikah."Septi melonjak kegirangan. Dia lantas memeluk Brata. Memang lebih baik ikatan di syahkan saja. Daripada terus bersama tanpa ikatan malah menimbulkan fitnah.
Waktu bergulir begitu cepat saat pergumulan hebat itu selesai. Septi terkulai lemas setelah kewanitaan yang keluar berkali-kali berbanding dengan Brata. Meskipun nafasnya memburu, tetapi keperkasaan yang masih menjulang, apalagi baru keluar sekali.Septi terduduk seperti terperanjat. Dia lalu meraih penunjuk waktu yang tergeletak di atas nakas. matanya membulat. Kemudian dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Brata memperhatikan Septi tanpa komentar apapun karena wanita yang masih polos itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia memperbaiki posisi bantalnya dan meletakan kedua telapak tangannya di belakang kepala sehingga terekspos otot trisepsnya yang bermuara di ketiak yang bersih dengan bulu halus tertata rapi.Brata dengan sabar menunggu Septi keluar dari kamar mandi, meski sudah hampir satu jam berada di dalam sana. Pikiran nakalnya membayangkan bagaimana kalau dia menerobos masuk dan ikut mandi bersama dengannya, pasti sangat menyenangkan dan tentunya Sep
"Jadi, sebelumnya anda bekerja sebagai GM?" tanya Septi setelah melihat riwayat hidup dari wanita sederhana itu. Nama yang tertera adalah Maya Andriani."Betul, Bu. Pernah menjadi manager akutansi kemudian mendapat kepercayaan menjadi GM selama lima tahun."Septi memperhatikan kualifikasi yang tertera. Kemampuan pendataan dan menejeralnya sangat mumpuni, membuat Septi antuasias untuk mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Maya terlihat tenang dan lugas saat menjawabnya, menandakan bahwa dia adalah pribadi yang kompeten."Seperti yang anda tahu bahwa perusahaan ini kan melakukan ekspansi di Asia tenggara. Tentunya kami membutuhkan GM yang mahir dalam memimpin manager dari divisi yang lain, mengetahui seluk beluk perusahaan. sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi CEO untuk melakukan suatu keputusan...." kata-katanya terhenti saat terdengar ketukan pintu. Septi yang segera tahu itu suaminya lantas menyuruh masuk. terlihat pria bertubuh eksotis nan kekar itu berjalan mendekati mereka.
"Bima, ini GM kita yang baru," ujar Brata kepada Bima saat wanita itu menghampiri mereka. Tadi semasa perkenalan dia belum sempat membawa Maya bertemu dengan Bima.Maya terlihat kikuk saat Bima menatapnya dari atas sampai bawah dengan tatapan datar. Siapa sangka jika direktur itu masih sangat muda. Mungkin seumuran dengan Brata. Hanya saja, terlihat dari raut wajahnya yang serius membuatnya tidak sedap dipandang. Jauh berbeda dengan Brata yang terlihat hangat."Selamat Siang, Pak. Perkenalkan nama saya Maya." Dia lalu menyerahkan dokumen-dokumen yang dia bawa,"Ini data-data keuangan beserta analisis yang bapak minta."Bima langsung meneliti isi dari laporan itu. Tanpa menanggapi apa dia katakan. Tanpa memberikan sambutan hangat. Yang dia dapat justru lirikan tajam menusuk. Maya yang terlihat gugup malah melempar pandangan ke Brata yang terlihat santai. Wajah Pria tampan itu tampak selalu membawa aura positif. Cukup mengurangi kegugupannya."Presentasikan hasil dari pekerjaan kamu ini,
Mata Brata nyalang bagaikan elang yang tengah mengintai mangsa. Niat awal pulang kerja ingin langsung melakukan hal itu, tetapi harus tertunda karena Bagas dan Rasmi yang tidak mau lepas olehnya. Sekarang di meja makan, Septi bisa melihat gejolak yang membara melalui tatapan mata itu. Sebenernya dia juga merasakan hal yang sama, tetapi dia tidak mungkin memaksakan diri karena Bagas dan Rasmi yang selalu ingin bersama.Setelah selesai makan makan, Brata memberi kode dengan kepalan tangan dimana jempol jari melesap di antara jari telunjuk dan tengah. Septi tersentak melihat hal itu. Tapi untung saja di sekitar mereka hanya ada dua anak kecil yang tidak akan faham dengan kode dewasa itu.Brata menggerakkan dagunya cepat, seakan meminta Septi untuk pergi ke kamar. Septi pun mengangguk pelan. Lantas, dia mengalihkan perhatiannya kepada kedua anak itu sembari tersenyum."Bagas, Rasmi. Nanti selesai makan. Jangan lupa sikat gigi, cuci kaki. cuci tangan. Setelah itu tidur ya," kata Septi. Bag
"Saya tidak bisa menerima kalian kembali karena kami sudah mendapatkan pengganti kalian." Bagaikan tersambar petir, mereka terperanjat. Bersamaan mendongak menatap Brata dengan tatapan memohon."Tuan, tolong terima kami kembali lagi. Nyonya," tatapan mereka beralih ke Septi yang hanya diam. pertanda dia sepemikiran dengan suaminya."Kalian tidak dengar apa yang saya bicarakan tadi?" Brata menegaskan perkataanya. Dia geram karena kejadian beberapa malam lalu, saat mereka bahkan tanpa permisi pergi bersama dengan Anton. Bagi Brata, tidak ada tolerir bagi mereka yang sudah berkhianat."Tuan, tolong...""Lebih baik kalian keluar dari sini, atau saya akan bertindak kasar!" bentak Brata yang membuat mereka menciut. Mereka bangkit dari bersimpuh di lantai sambil menunduk. Tidak ada gunanya mengiba di hadapan Brata yang sepertinya sudah membatu. Dengan langkah gontai mereka berbalik arah dan meninggalkan rumah itu."Sabar, Mas. ayo kita ke kamar lagi," ucap Septi setelah memastikan mantan pek
“Bayinya cantik sekali, Bu,” ucap Dokter sambil mendekatkan bayi yang bersih dan sudah terbalut dengan kain di dekat Septi. Septi yang sudah tidak sabar mengulurkan kedua tangannya, sehingga bayi itu beralih ke gendongannya. Dokter itu pun pergi meninggalkan mereka sementara.Septi tidak kuasa menahan haru melihat seorang putri mungil yang sedang menggeliat kecil. Gerakan kehidupan yang menambah kebahagiaan bagi keluarganya. Ekspektasi suaminya terkabul. Bayi yang sekarang ada dalam gendongannya adalah perempuan. Dan wajahnya cantik sekali mewarisi dirinya.“Pratiwi Nagara,” sebut Septi, sesuai dengan nama yang telah disiapkan Brata. Seakan merasakan batin sang ibu, bayi itu menangis. Septi segera menimangnya dan mencium pipi bayi kemerahan itu. Airmatanya tertumpah di sana.Sedangkan Alex memandangnya penuh keharuan. Sebuas apapun dirinya, kalau dihadapkan dengan pemandangan seperti ini pasti luluh juga. Dia yang tadi menyaksikan Septi yang berjuang bertaruh nyawa, hingga lahirlah ke
Brata kembali meringkuk di balik jeruji besi. Pakaian yang dia kenakan adalah tahanan. Dia tidak menyangka seorang predir yang begitu terhormat sekarang tidak ubahnya sampah masyarakat yang tidak berguna. Imbas dari sikapnya yang terlalu arogan.Dalam diamnya, dia menyesali atas semua yang terjadi. Kepalanya dipenuhi oleh pengandaian yang tidak mungkin terjadi. Perasaannya terlalu tertutup oleh bayang-bayang Delinda. Entah kenapa dia sulit untuk melepas bayang-bayang wanita itu.Kejadian di restoran itu kembali tergiang di benaknya. Wanita yang mengaku Merlinda itu sangat mirip dengan Delinda. Kalau dipikir secara logika, apa yang diucapkan Merlinda itu cukup masuk akal. Dia menikah dengan Warren setelah sekian lama sampai mempunyai seorang anak, Jelas sangat mustahil kalau dia adalah Delinda yang masih selamat dari kecelakaan dan kemudian amnesia. Dan dia sudah seringkali mengecek di sebuah situs penerbangan kalau tidak ada korban yang berhasil ditemukan lagi, bahkan jasadnya tidak.
“Pak Brata, Halo. Halo,” ucap Rangga saat panggilannya berhenti secara sepihak. Dia mendecak kesal pandangannya tertuju ke arah ruang bersalin di mana di dalamnya sudah ada Alex yang ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.Beberapa saat yang lalu, suster keluar dan bertanya siapa suami dari Septi, Alex yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk. Bahkan, sebelum dia bisa mencegah. Alhasil, sekarang Septi berjuang ditemani dengan cecunguk bedebah itu.Rangga tahu kalau tidak mungkin Brata datang hari itu juga karena sedang berada di dalam penjara. Maka perlindungan terhadap Septi jatuh kepadanya sebagai orang kepercayaannya. Persoalan rumah tangga memang rumit dan Rangga justru sering berkecimpung dalam urusan rumah tangga majikannya.“Pak Rangga,” ucap Dinda yang mengejutkannya, dia muncul sembari merangkul Bagas di sampingnya yang terlihat mengantuk.Rangga memaksakan untuk tersenyum. Dia menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Bagas,”Kamu mengantuk ya? Om minta anak buah om untuk
“Ya Ampun, Brata kamu kenapa?” tanya Jesica khawatir saat melihat Brata duduk di hadapannya. Dia baru bisa bertemu dengan Brata setelah menunggunya sadar dari pingsan, sampai sebuah insiden yang membuat Brata babak belur seperti ini.“Ini gara-gara para bedebah yang ada di dalam penjara itu, Ma. Awas saja kalau aku sudah keluar dari penjara. Akan kulenyapkan mereka dalam sekejap,” gerutunya dengan gusar. Jesica menghela nafas. Lagi-lagi Brata berbuat ulah seakan merasa dialah yang terbaik. Arogansi yang cenderung merugikan dirinya sendiri.“Brata, Stop it! Itu mungkin karena kamu yang membuat ulah duluan, makanya kamu bisa babak belur seperti ini.”Brata menatap Mamanya tidak percaya,”Kok Mama belain mereka. Aku Ini Presdir. Seharusnya pada begundal itu hormat kepada saya, bukannya berbuat kurang ajar!”Jesica menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengurut dada melihat anaknya yang masih keras kepala atas kesalahannya. Tidak mau kalah dan mengalah.“Sekarang, Lebih baik Mama bilang kepada
Brata terbangun dari tidurnya. Begitu merasa berada di tempat yang asing, dia terhenyak. Dia memegang kepalanya yang masih terasa pusing.“Jeruji besi?” gumamnya. Dia mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Astaga apa mungkin karena kesuruhan itu, dia dijebloskan penjara.“Woi! Get me out from this fucking place!” teriak Brata sambil memegang dua tabung besi. Menghardik petugas yang kebetulan lewat.“Shut up!” pekik tahanan yang lain. Brata menengok ke belakang. Terlihat lima tahanan tengah berdiri dengan raut wajah yang sangat. Demi apapun, tidak pernah terlintas di benaknya berada satu sel dengan para berandal. Dia adalah pria yang sangat terhormat. Sangat tidak selevel berada di tengah-tengah mereka.“Apa? Berani kalian dengan Saya!” hardik Brata dengan arogan. Merasa tersinggung dengan kelakukan penghuni baru itu, mereka saling pandang. Baru kemudian, mereka langsung sikap untuk menghajar Brata.“Heh! Apa-apaan ini!” ujar Brata panik saat kedua tangannya dicekal oleh dua pria bertu
Selepas makan malam, Septi termenung di atas ranjang. Sesekali, dia menengok ke samping di mana suaminya biasanya terbaring. Sudah beberapa malam ini, dia melaluinya tanpa terlelap. Tidurnya tidak tenang bahkan sering terbangun. Kalau sudah begitu dia teringat dengan Brata dan menangis sepanjang malam.Septi adalah wanita yang kuat. Tapi, sekuat apapun wanita pasti akan lemah karena kehilangan sosok pria yang biasa menaunginya. Seperti malam ini, dia sangat rindu mengoceh di depan Brata, sedangkan Brata mendengarkannya dengan tatapan seksama. Juga di kala dia mengantuk, maka Brata dengan sigap memberikan tangannya sebagai bantal dan Septi bisa memeluknya dengan leluasa, mencium aroma suaminya yang menenangkan sampai dirinya terlelap.Matanya menghangat. Namun, dia mencoba sekuat tenaga untuk menghalau tangisnya lagi. Ingin rasanya salah faham ini cepat selesai supaya hubungannya dengan Brata kembali seperti yang dulu. Tetapi, bagaimana mungkin bisa? Sementara Brata berada nun jauh di
“Maafkan saya, Nyonya,” ucap Rangga sambil melirik dari kaca spion tengah. Septi hanya tersenyum mafhum.“Ngapain kamu minta maaf. Justru saya berterima kasih sama kamu. Karena kamu sigap melindungi kami. Tapi, yang saya heran. Kenapa sikap Alex mendadak bisa semanis itu.” Septi terkekeh sambil menoleh ke arah Dinda yang semerah tomat.“Sebenernya dia siapa Ma?” tanya Dinda.Ketika Rangga akan menyahut dengan nada tinggi, Septi sudah terlebih dahulu bicara,”Cuma rekan bisnis saja kok.”Rangga mendengus sebal. Kenapa Majikannya justru malah menutupi siapa sejatinya Alex yang sangat berbahaya itu.“Iya, tapi Non Dinda harus hati-hati dengan Alex. Dia orang jahat,” sambar Rangga tanpa memperdulikan Septi protes atau tidak. Dia sudah terlanjur kesal dengan kebiadapan Alex selama ini.Septi menahan tawa, bukan karena Rangga yang masih kesal dengan Alex. tapi, Lihatlah rona wajah Dinda yang semerah tomat. Sikapnya yang malu-malu membuat Septi gemas. Mungkin Septi tidak bisa membaca pikiran
“Rangga, tolong temani saya di taman pusat kota. Saya ingin jalan-jalan ke sana,” pinta Septi. Rangga terdiam sejenak. Bukannya mau menolak. Tadi ketika akan sampai ke mansion, dia sempat melihat mobil jeep yang terparkir dari jalan masuk menuju mansion. Rangga tidak melakukan apa-apa karena mobil itu jeep itu hanya diam dan tidak melakukan gerakan mengancam. Tetapi dia sangat yakin kalau ada yang mereka rencanakan.“Rangga, kok diam?”“Enggak apa-apa, Nyonya. Baik kalau begitu pakai mobil saya saja,” ucap Rangga. Dia tidak ingin membicarakan hal macam-macam di depan majikannya yang sedang hamil. Terlebih, kondisi majikannya yang memang sedang stress mengingat pertengkaran dengan sang suami.“Sebentar, saya panggil Dinda dulu,” Baru saja akan memanggil, Gadis itu muncul dari belakang.“Iya, Mama.”“Temani Mama ke taman pusat kota yuk.”“Boleh, Ma. sebentar aku bangunin PraBrata dulu.”“Jangan! Kasihan dia kecapekan karena kegiatan outdoor di sekolah. Biarkan saja. Lagian, Cuma sebenta
Perth,“Thanks a lot, Honey. You made my day.” Delinda bergelayut manja di pundak kekar Brata. Di tangannya ada dua buah botol Wine versi mereka. Delinda tampak puas karena ikut meracik Wine itu bersama Brata tersayang. Keinginan yang lama terpendam terkabul berkat Brata. Mengunjungi indahnya perkebunan Anggur yang menjadi asal muasal Wine terbaik di dunia, dan yang paling mengesankan adalah kesempatan untuk ikut kecimpung dalam pembuatannya.“Everything I do for you, Honey,” balas Brata. Dia senang karena bisa meluangkan waktu dibalik kesibukannya sebagai design interior. Kepercayaan client yang begitu tinggi, membuat jadwalnya selalu padat. Konsekuensinya adalah kebersamaan yang kurang dengan Delinda.“Maafkan aku, Honey. Baru bisa menemanimu sekarang,” lirih Brata. Mendengar suara yang terdengar sendu, Delinda menegakkan badan. Meletakan kedua botol Wine di jok belakang mobil, dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada Brata. “Brata, tidak perlu meminta maaf. I know you have a goo