Malam itu, Bloodmoon kembali muncul di seluruh kerajaan Crator. Bulan darah itu terlihat di ufuk timur dan terus mengambang di angkasa hingga tengah malam. Hawa dingin yang menusuk menyelimuti Crator. Kabut tebal melingkupi seluruh wilayah itu dan memaksa semua orang bersembunyi di balik dinding rumah masing-masing. Tidak ada hujan ataupun badai, hanya gemuruh dan kilat yang terus terdengar sepanjang malam.
Di sepanjang pesisir kerajaan Crator ombak bergejolak hebat. Gelombang tinggi terus menghantam setiap tebing karang di sepanjang tepian samudera Crator. Seakan berusaha merobohkan kokohnya tebing yang ada, Menguji kekuatan dan ketahanan tanah itu dari amukan sang alam. Para nelayan dan pelaut yang telah melihat gelombang tinggi sejak senja hanya hanya bisa terdiam menatap kapal mereka yang dihancurkan oleh gelombang tinggi di dermaga.
Lain halnya dengan pe
Kenneth melewati jalan yang telah ia hafal dengan sendirinya. Langkah kakinya berjalan dengan sangat lancar seolah telah ribuan kali mendatangi tempat itu. Kakinya menghafal setiap tempat rumput hitam berada, jalur licin, atau bahkan sekedar jalur berbatu akan ada didepannya. Kenneth bahkan sedikit takjub dengan dirinya sendiri saat menyadari betapa cepat dia tiba di gua itu.Griffin penghuni gua itu bangkit mendekatinya saat Kenneth memasuki ruang gua menuju tempat Lady Reagen. Makhluk itu sepertinya telah cukup akrab dengan Kenneth hingga bersedia turun untuk menyapanya. Kenneth membelai kepala makhluk itu sejenak.“Aku harus segera menemui sang Lady,” tuturnya.Griffin itu menggeleng pelan seperti tak rela lalu mundur perlahan dan kembali terbang menjauh. Kenneth kembali melanjutkan perjalanannya dan
Ombak hari itu terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya. Angin laut juga berhembus dengan lebih pelan hari ini. Sepertinya, lautan mulai tenang setelah hari-hari yang melelahkan.“Siapkan kapal, kita kembali ke Thalassa hari ini,” tutur Nerwin.Pemuda itu berdiri di ujung dermaga Abendbrise. Memandang gejolak lautan yang perlahan tenang. Sudah hampir satu minggu dia tinggal disana, kini sudah saatnya mereka kembali ke Thalassa. Nerwin berbalik untuk kembali menuju rumah tempat mereka singgah. Namun, tiba-tiba angin berhembus kencang.Wush …Pemuda itu seketika berbalik merasakan perubahan energy di sekitarnya. Hawa dingin perlahan merambat ke tubuhnya bersamaan dengan awan gelap yang mulai berkumpul dan membumbung di seluruh garis pantai. Pe
Elaphus membawa Kenneth melewati sebuah jalur yang lebih terjal namun jalan itu jauh lebih cepat dari yang Kenneth duga, karena tak lama kemudian Kenneth sudah bisa mendengar suara deburan ombak keras yang menghantam karang. Kenneth melihat cahaya terang di depannya yang menunjukkan bahwa mereka akan keluar dari hutan. Sebuah akar pohon besar membentang di depan Kenneth memaksa pemuda itu melompat. Lalu dalam satu kali lompatan besar Kenneth akhirnya tiba di tepi hutan, dan saat itulah Kenneth sadar bahwa Elaphus menghilang.Kini, dari tempatnya berdiri Kenneth melihat sebuah dinding cahaya membentang di sepanjang teluk Fellas. Dinding magis yang Kenneth yakin berasal dari Nerwin dan pasukannya. Sedangkan di depan Kenneth, samudera selatan yang berbatasan dengan Feilas tengah bergemuruh. Gelombang besar tengah berlomba mencapai tepian. Angin dingin berhembus kencang dan awan gelap menyelimuti samuder
Tempat itu sangat dingin dan hening. Hanya terdengar deburan ombak dan suara samar burung camar di sana. Rachel membuka matanya yang terasa berat dan memaksa tubuhnya yang terasa remuk untuk bangkit. Gadis itu terbangun di sebuah tanah kosong di tepian tebing karang. Di dekatnya, ombak tengah berebut menghantamkan dinding alam yang berdiri kokoh menopangnya.“Kau sudah bangun?” sebuah suara terdengar di belakang Rachel. Rachel menoleh melihat seorang pria berdiri di belakangnya.Sosok pria itu mengenakan pakaian berwarna perak yang berkilau. Rambutnya berwarna putih layaknya salju, sedangkan matanya berwarna abu terang mengingatkan Rachel pada mata Sassafras.“Siapa kau?” tanya Rachel pada sosok yang tiba-tiba muncul itu.“Kau tidak mengenal
Segalanya terasa terlalu cepat untuk bisa di terima dan di cerna oleh siapapun. Seluruh kejadian aneh yang tiba-tiba muncul lalu juga dalam sekejab menghilang tanpa jejak. Bencana yang terjadi tanpa sebab, kekuatan yang tiba-tiba muncul dalam diri mereka, dinding magis yang hampir tak mampu bertahan. Lalu kini, segalanya hilang. Seperti tidak terjadi apapun sebelumnya, selain fakta bahwa kedua pemuda itu masih berada di tempat mereka berdiri. Di tempat terakhir mereka mlihat sosok Cornus, sang Unicorn.“Kau melihatnya?” tanya Nerwin dengan suara yang setara dengan bisikan di telinga Kenneth yang tiba-tiba menjadi lebih sensitive.“Ya, tadi aku melihatnya,” jawab Kenneth sengaja mempertegas bahwa kini tidak ada apapun selain mereka berdua di tempat itu.Cornus menghilang, dinding magis mereka telah sirna, bahkan samudera di depan mereka juga telah tenang seperti sebelumnya.“Apa yang baru saja terjadi? Apakah gelombang tadi ny
Tempat itu dipenuhi kabut tebal dan pekat. Sejauh mata memandang hanya ada asap putih yang mengelilinginya. Tanah di atasnya terasa terjal di telapak kaki telanjangnya, namun indera penciumannya bisa mencium aroma tanah basah dan harus segar daun yang di selimuti embun. Mengingatkan Rachel pada aroma hutan di pagi buta.Sebuah angina berhembus dan mendorong kabut di sekeliling Rachel. Rachel sedikit menutup matanya saat merasakan debu beterbangan di sekitarnya. Di sana, Rachel melihat tempat itu. Sungai besar dan air terjun tak jauh dari tempatnya berdiri, juga dua sosok yang telah Rachel kenal. Kailani Shore dan Rachel kecil. Di depan Rachel kini telah tersaji kejadian terakhir yang ada dalam ingatan Rachel. Hari dimana dia bertemu untuk pertama kali dengan Kailani.Tiba-tiba angina mendung terlihat di atas Rachel. Angin kembali berhembus, dan entang bagaimana arus sungai tiba-tiba semaki deras. Rachel melihat gadis kecil di depan Kailani meronta saat tubuh Kailani ti
Setelah berhari-hari terkunci, pagi ini gerbang Araceli di buka. Kelambu-kelambu yang menutupi jendela yang di ruangan itu mulai di s***k dan di lepaskan dari pengaitnya. Cahaya lilin yang telah menyala selama beberapa hari itu mulai di tiup satu per satu. Sedangkan sosok yang semeblumnya mengunci diri di dalam ruangan itu akhirnya kembali ke istananya. “Lord Nethras—“ “Tidak sekarang Vereena,” potong sang Lord saat pelayan istananya memanggilnya. Pria itu hanya berjalan lurus ke kamarnya dan mengabaikan panggilan dan sapaan setiap orang yang berpapasan dengannya. “Ada apa dengannya?” Lord Zathriel muncul di pintu istana kediaman Lord Nethras dan berjalan ke arah Vereena yang termenung menatap punggung Lord Nethras. Wanita itu menoleh dan tersenyum sambil menyapa sang Lord dan juga seorang bocah laki-laki di sampingnya, Aryan. “Saya juga tidak yakin, My Lord. Tapi sepertinya sesuatu telah terjadi,” jawab Vereena menanggapi pertanyaan Lord Zath
Rachel menatap gugusan pulau di depannya dengan mata nyalang. Perbukitan yang dikenalnya dan juga dermaga yang pernah dia lalui. Dari tempat Rachel berdiri, Rachel seakan bisa melihat seluruh pulau dalam satu frame luas yang tak pernah Rahel bayangkan keindahannya.“Kau yakin tidak ingin menemui mereka?” Adish, gadis itu berdiri di sisi Rachel dengan wajah khawatir.Rachel tak langsung menjawab. Gadis itu masih memandang hamparan surga yang terjaga di depannya. Tanah yang mungkin harusnya menjadi kampung halamannya yang lain, East Land. Rachel menoleh pada Adish dan menatap mata gadis itu sambil memberikan sebuah senyuman ringan.“Tidak perlu, aku hanya perlu memastikan sesuatu. Tidak usah mengganggu mereka,” balas Rachel.Rachel segera menaiki pu