Panas dan berbahaya.Entahlah, tidak ada kata lain yang dapat Camila temukan di dalam tumpukan kosakata yang ada di kepalanya untuk mendeskripsikan pria yang tengah mencumbunya ini. Otaknya tidak dapat memikirkan hal lain, selain ingin mendapatkan sentuhan yang lebih intens lagi dari pria tersebut."Kau menyukainya?"Di sela cumbuan itu, Joseph bertanya dengan nada sensual yang terdengar setengah mengejek atas respons tubuh Camila yang begitu mendamba sentuhannya."Shut ... up!" hardik wanita itu seraya menahan gairah yang membuncah.Senyum miring samar tercetak di bibir Joseph. Pria itu tentu tahu, bagian mana saja dari tubuh Camila yang akan membuat wanita itu menjerit, meminta dirinya untuk tak berhenti menyentuh.Dengan lengan kokoh yang membingkai sisi kepala untuk menahan kedua tangan Camila, Joseph menyusuri setiap inchi permukaan kulit leher dan bahu wanita itu dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda.Lenguhan seksi lolos dengan manja dari celah bibir wanita itu ketika Jose
Pandangan pria itu mengarah lurus ke depan, pada daratan di mana kekasih hatinya sedang bersama pria lain yang sangat dia benci."Di mana kita akan mendarat?" tanya Julian, setengah berpaling pada orang kepercayaannya."The Great Palace, Sir," jawab Morgan.Sekilas Julian menurunkan pandangan. The Great Palace adalah salah satu hotel bintang lima milik seorang pengusaha yang disinyalir sebagai pemimpin salah satu kelompok penjual senjata ilegal pesaing The Demon. Mendarat di helipad The Great Palace terdengar seperti sesuatu yang sedikit aneh bagi Julian."Kau yakin mereka akan memberi akses untuk kita?" tanya Julian."Yakin, Sir. Leon sendiri yang memberikan izin," jawab Morgan."Kau tentu tahu bahwa Leon hanyalah kacung Aberdein." Julian menghela napas samar."Dan dia adalah orang yang memiliki wewenang langsung untuk masalah perizinan ini, Sir. Jangan lupakan bisnis utama pemiliknya," timpal Morgan.Sebagai pelaku bisnis gelap, Zen Aberdein memang lebih sering menangani para pembel
Seorang wanita yang tampak seumuran dengan Dreyfus, berjalan memasuki pintu lobi sebuah hotel bintang lima. Kaki jenjangnya melangkah dengan anggun, setapak demi setapak menuju elevator. Entakan heels yang membalut ujung kakinya terdengar menggema di selasar, memberikan kesan angkuh sekaligus elegan dalam waktu yang bersamaan.Kendati usia sudah tidak lagi muda, namun paras cantik wanita itu berhasil membesut perhatian para lelaki yang dia lewati. Tak hanya cantik, tubuh molek yang dimiliki wanita itu pun tak luput dari perhatian. Bagaimana tidak? Wanita yang usianya hampir setengah abad itu memiliki postur tubuh seperti seorang gadis.Berlebihan? Tentu tidak!Namanya adalah Monica Simmons. Pemilik sebuah agensi model yang namanya cukup banyak dikenal di kalangan selebritis. Seorang wanita single yang lebih banyak bekerja daripada bergaul dengan orang-orang seprofesi di luar pekerjaan.Hal itulah yang membuat Monica menjadi sosok yang misterius. Orang-orang itu memang mengenal Monica
“Ayah akan pergi lagi?” Julian kecil menahan tangan sang ayah ketika pria itu hendak masuk ke mobil.Markus Blight menoleh ke arah putranya kemudian tersenyum. Pria itu membungkukkan badan, lantas mengusap kepala Julian kecil.“Ada yang harus ayah kerjakan. Ayah janji akan segera kembali,” jawab pria gagah itu dengan senyum lebar.“Tapi Ayah sudah berjanji akan menemaniku untuk bermain ice skating. Apa Ayah lupa?” Julian berusaha menahan sang ayah agar tidak pergi lagi.“Kau sudah besar, Julian. Sebentar lagi kau akan menggantikan ayah untuk memimpin Blight Corporation. Jangan merengek seperti anak manja begini. Ayah harus segera pergi,” tukas Markus.Julian kecil diam sambil memeluk bola, memperhatikan sang ayah yang memutar badan hendak masuk ke mobil. Hingga akhirnya, dia memberanikan diri untuk kembali menginterupsi apa yang ayahnya lakukan. “Apa aku boleh ikut denganmu?” tanya Julian kecil dengan mata bulat yang mengerjap lambat, berharap sang ayah akan mengizinkannya untuk ikut
Tidak seperti biasa yang selalu tampil rapi dengan setelan resmi, Julian keluar dari kamar hotel dengan tampilan yang sangat berbeda. Kaus fit body berlapis jaket kulit kualitas premium berwarna cokelat membungkus tubuh atletis pria itu. Celana jeans hitam dengan sepatu boots berbahan kulit berwarna senada dengan jaket, menjadi paduan yang sempurna.Melangkah dengan gagah, Julian disambut oleh anak buah yang sudah menunggu di depan kamar."Semua sudah siap?" tanya Julian."Seperti yang Anda perintahkan, Sir," jawab Morgan."Jangan sampai ada yang terlewat, karena aku tidak ingin kembali dengan membawa kegagalan!" ucap Julian tanpa berhenti melangkah."Saya mengerti," balas pria itu.Setidaknya ada tiga mobil yang membersamai Julian dalam perjalanan menuju rumah Joseph. Dua di antaranya berisi anak buah bersenjata, sementara satu mobil akan dia tumpangi dan dikemudikan langsung oleh Morgan.Di dalam mobil itu, Julian menyelipkan sebuah senjata api di balik punggung sekadar untuk berjag
Kesempatan ini digunakan anak buah Julian untuk menahan Joseph. Perhatian pria itu sempat teralih oleh jeritan Camila, sehingga tingkat kewaspadaannya pun berkurang. Maka anak buah Julian memanfaatkan kelengahan Joseph untuk menahan tubuh pria tersebut."Hentikan, Camila. Jangan bertindak konyol!" ujar Joseph seraya berusaha melepaskan diri dari cekalan anak buah Julian.Sejenak Camila berpaling. Wanita itu menghapus air mata, kemudian menggeleng pelan."Aku bisa melakukannya. Aku ingin semua ini berakhir. Percayalah padaku," ujar wanita itu.Sungguh, Camila tidak ingin siapa pun terluka. Julian ataupun Joseph, keduanya adalah pria yang memiliki tempat tersendiri di dalam hatinya. Kendati posisi mereka berada di tempat yang berbeda.Camila tahu, Julian yang sebenarnya tidaklah seburuk yang terlihat. Tak munafik, jika masalah di masa lalu dalam keluarga Blight membuat kedua pria itu memiliki perseteruan abadi. Namun, masing-masing dari mereka memiliki kebaikan dalam versi mereka sendir
Benar-benar tak disangka bahwa Camila akan mendengar hal seperti ini. Apa tadi yang Julian katakan? Joseph adalah pembunuh ayahnya? Jadi, ayahnya sudah meninggal?Oh Gosh! Julian benar-benar pandai mengambil momen.Di saat Camila sedang membela suaminya, Julian justru mengatakan hal yang begitu menyakitkan."Aku tidak membunuh ayahmu, Camila. Percaya padaku!" teriak Joseph yang semakin keras meronta untuk melepaskan diri dari cekalan anak buah Julian."A-ayahku meninggal?" tanya wanita itu dengan bibir bergetar."Bukankah aku sudah pernah mengatakannya padamu? Bahwa ayahmu adalah target yang harus dilenyapkan oleh pria itu?" Julian melirik pada Joseph."Tidak ... tidak mungkin!" racau Camila. Bola matanya bergulir liar, dengan genangan cairan kesedihan yang siap meluncur dari pelupuk.Hubungan Camila dan ayahnya memang tidak begitu baik, terlebih semenjak wanita itu menjalin hubungan dengan Joseph. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa Camila menginginkan kematian ayahnya. Camila t
Pada akhirnya, Camila kembali ke mansion Julian seperti yang pria itu harapkan. Akan tetapi, wanita itu kembali dalam kondisi yang tidak baik. Bukan kematian sang ayah yang paling membuatnya terpukul, melainkan ketidakjujuran Joseph. Camila masih bertanya-tanya, apakah alasan Joseph tidak mengatakan yang sebenarnya adalah untuk menutupi perbuatannya? Mengapa Joseph melakukan ini semua? Pria itu bahkan pernah berjanji, sekejam apa pun Andrew, dia tidak akan pernah menyakiti ayahnya. Lalu, mengapa Joseph membunuh ayahnya dengan cara yang sangat kejam seperti itu? Apakah Joseph telah melupakan janjinya?Camila sangat mencintai Joseph. Namun, wanita itu tidak bisa membenarkan perbuatan Joseph yang telah melenyapkan nyawa ayahnya. Bimbang, Camila terombang-ambing antara rasa cinta terhadap sang suami dan rasa kehilangan atas kematian sang ayah. Hal ini membuat kondisi kesehatan Camila menurun drastis.Suara ketukan pintu tak mampu membuat Camila berpaling. Wanita itu masih saja duduk terma
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk