Pertanyaan yang terlontar dari bibir Vanessa terasa seperti anak panah yang dilesakkan tepat ke jantung Joseph. Merobek dan mengoyak organ vital itu hingga hancur tak berbentuk. Padahal sebelumnya, pria itu sangat yakin bahwa wanita ini adalah istrinya. Namun, mengapa pertanyaan seperti itu justru terlontar dari bibir si wanita?“Siapa kau?” Wanita itu mengulang kembali pertanyaan yang belum terjawab oleh Joseph.Sementara itu, pria tersebut terus menatap tak mengerti sambil memperhatikan wajah Vanessa dengan teliti. Seolah sedang berusaha mencari titik mana yang tidak sama dengan wajah istrinya. Akan tetapi, Joseph sama sekali tak menemukan hal yang membuat wanita itu tidak terlihat seperti Camila. Matanya, bibirnya, hidungnya, rambutnya, suaranya, bahkan caranya berbicara. Joseph yakin 100% jika wanita ini adalah sang istri—Camila.Joseph lantas melepas napas pelan sambil menggeleng lemah. “Tidak mungkin. Kau adalah Camila. Kau adalah Camila, istriku!” ucap Joseph dengan nada semaki
Keluar dari kamar dengan membawa kekecewaan, Joseph melangkahkan kaki dengan gontai. Pria itu berjalan melewati Jill dan Dreyfus yang menunggu dirinya di kursi kayu yang ada di depan kamar tersebut."Apa yang terjadi?" tanya Jill penasaran.Wanita itu langsung bangkit ketika melihat Joseph meninggalkan kamar yang ditempati Vanessa dengan tak bersemangat. Tak hanya itu, Jill juga mendengar Joseph dan Vanessa yang berdebat di dalam kamar tersebut. Sehingga, dia pun penasaran dan langsung menanyakannya kepada Joseph.Pria berdarah Italia itu berhenti melangkah lalu berpaling pada Jill dengan sorot mata yang sarat akan emosi. Kepedihan, kerinduan, dan kekecewaan seolah bercampur menjadi satu di dalam netra abu-abu itu.Tidak menjawab pertanyaan Jill, Joseph berlalu begitu saja meninggalkan sang rekan yang menatap bingung pada dirinya."Apa yang terjadi padanya?" gumam Jill, menggulir pandangan dari Joseph yang baru saja keluar, pada pintu kamar yang ditinggalkan rekannya tadi."Dia sedang
Sejenak melupakan tentang Camila yang tidak mengingat dirinya, Joseph bertekad untuk segera menyelesaikan tugas yang harus dia tuntaskan. Apa lagi jika bukan memburu orang nomor satu The Demon yang mulai menemui titik terang?Apa yang terjadi pada Camila, membuat Joseph lebih bersemangat untuk melakukan pekerjaannya. Bahkan, pria itu mendatangi Dreyfus dan meminta untuk menggantikan Jill memimpin misi semata-mata karena ingin segera menuntaskannya.“Biarkan aku yang memimpin misi ini,” ujar Joseph saat sedang menemui Dreyfus.Pria berjambang yang sedang menyesap kopi dari sebuah cawan keramik itu menggulir bola mata ke arah Joseph tanpa menggerakkan kepala. Dreyfus tampak menjauhkan cawan dari bibir lalu meneguk seraya menikmati sensasi pahit, gurih, dan manis dari cairan pekat yang dia minum dengan elegan. Kemudian dia letakkan kembali cawan tersebut di atas tatakan lantas menyandarkan punggung dengan nyaman pada kursi tempatnya duduk saat ini.“Aku tidak yakin kau bisa melakukannya,
Biar dikatakan bahwa Dreyfus menjebak Joseph, namun pria berjambang itu tetap tidak peduli. Hari ini adalah hari di mana eksekusi itu akan dilaksanakan. Semua bukti sudah mengarah jelas pada satu orang. Dari semua data yang dikumpulkan, semakin menguatkan dugaan tentang Andrew Reyes yang merupakan pemimpin The Demon. Hebatnya, hingga misi ini berada pada hari eksekusi, Dreyfus masih bisa menyembunyikan idenetitas orang nomor satu itu dari gladiatornya, Joseph Hunter.Hal ini tentu saja tidak semata-mata karena Dreyfus yang menahan segala informasi terhadap Joseph, namun juga karena Joseph yang pada waktu-waktu sebelumnya tampak kurang peduli terhadap misi. Fokus Joseph hanya pada bagaimana dia bisa bersama dengan Camila kembali, sampai-sampai pria itu tidak menyadari bahwa orang yang dia buru adalah ayah mertuanya sendiri.Dalam briefing terakhir menjelang eksekusi, berkali-kali Jill dan Dreyfus saling melempar tatapan yang hanya mereka berdua yang tahu maksud di balik tatapan itu.“A
Tim yang akan berangkat satu jam dari sekarang, semuanya telah bersiap mengenakan perlengkapan keamanan yang harus ada di tubuh mereka. Termasuk Joseph dan Jill yang tengah mengenakan rompi anti peluru dengan beberapa senjata api yang terselip dalam rompi tersebut.“Semua sudah siap?” Joseph menoleh pada Jill yang sedang menarik ritsleting sepatu boots di kakinya.“Kita siap bertempur, Kapten!” jawab Jill dengan sebelah alis yang terangkat.Wanita itu berdiri tegak lalu memutar badan ke arah Joseph yang terlihat begitu serius dan sedikit tegang. Sebuah senyum terukir di sudut bibir Jill. Tidak heran jika Joseph merasakan ketegangan yang cukup besar untuk menghadapi pertempuran kali ini. Selain karena dia akan mengambil kendali tim untuk pertama kali, misi ini juga merupakan tahap akhir yang mengharuskannya untuk mengambil tindakan eksekusi terhadap target.“Kau terlihat tegang sekali,” ujar Jill dengan satu sudut bibir yang terangkat. “Rileks. Semua akan berjalan sesuai rencana.”Jose
Selama berada di dalam helikopter yang membawa mereka menuju lokasi, keempat gladiator itu mendiskusikan tentang pembagian tugas yang harus mereka ambil. Intinya, mereka harus mengantar Joseph menuju pemimpin The Demon. Melindungi dan memberikan akses bebas untuk pria itu agar dapat menyelesaikan bagiannya dengan sempurna.“Aku dan Helena akan mengamankan titik ini,” ujar Jacob seraya menunjuk salah satu titik dalam peta dalam macbook yang ada di tangannya.“Kurasa itu bukan ide yang bagus,” kata Jill. “Titik itu terlalu dekat dengan titik masuk tim darat. Lihat, kedua jalur ini terhubung. Berapa pun orang yang ada di titik itu pasti akan fokus pada tim darat,” terangnya.“Di mana pusat aktivitas mereka?” tanya Joseph yang masih belum begitu paham dengan lokasi tersebut.“Di sini,” Helena menunjuk koordinat berupa tanda kotak merah dalam peta. “Tapi sebelum kita bisa menjangkau tempat itu, kita harus melumpuhkan orang-orang The Demon yang berjaga di radius beberapa mil dari titik pusa
"Shit!"Entah sudah berapa banyak kata umpatan yang keluar dari mulut Joseph. Tarikan gravitasi itu terasa semakin kuat. Bahkan parasut yang harusnya membuat tubuh pria itu melayang di udara pun seolah tiada guna. Raga Joseph terus tenggelam dalam gravitasi. Semakin lama, semakin dekat dengan bumi.Tak hanya pasrah dengan tarikan gravitasi, Joseph pun harus menerima kenyataan bahwa dia akan mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Pria itu bergeser sekitar sepuluh derajat dari titik pendaratan yang semestinya, dan ini sudah sangat fatal.Masih beruntung, bukan sepuluh derajat ke arah kiri yang mana landasan tempatnya mendarat adalah dasar jurang sedalam puluhan meter. Namun, tubuhnya terbawa gravitasi ke arah kanan. Tepatnya pada pepohonan rimbun yang ada di sisi dalam hutan."Aaargh ...!!!" Teriakan itu tak bisa Joseph tahan ketika kakinya mulai menabrak dedaunan dan ranting dari pepohonan tempatnya mendarat.Secara refleks kakinya bergerak, seperti menyingkirkan ranting dan daun ya
Tubuh Joseph dan Jill seketika terempas ke tanah yang tertutup dedaunan. Napas mereka tertahan kala hantaman keras itu menyapa raga. Sekejap, Jill sempat merasa seperti terlempar ke dimensi yang berbeda. Hingga dia tersadar bahwa di atas tubuhnya, Joseph sedang mengerang menahan sakit akibat luka robek di bahu akibat lesakan sebuah anak panah.“Hunter!” seru Jill seraya memegang kedua lengan pria itu.Saat hendak menyingkirkan tubuh Joseph dari atas tubuhnya, netra wanita itu melihat beberapa orang dengan busur di tangan dan beberapa anak panah di punggung. Orang-orang itu serempak mencabut anak panah dari punggung lalu mengangkat busur dan membidik Jill dan Joseph. Insting pertahanan Jill memerintahkan wanita itu untuk menarik senjata api dan menembakkan beberapa peluru ke arah orang-orang itu. Kemampuan yang sudah terlatih, membuat akurasi tembakan Jill tepat mengenai sasaran. Setiap peluru yang dilesatkan dari moncong senjata Jill, berhasil menembus kepala orang-orang tersebut dan
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk