Tidak tahu apa yang membuat Dreyfus tampak begitu marah, Jill segera melangkah mengikuti pria tersebut. Derap langkah yang saling bersahutan menggema di selasar. Jill mengekor di belakang bersama para bodyguard yang mengawal Dreyfus. Terus melangkah lebar dan cepat tanpa sepatah kata yang terucap.Ruang kerja pemimpin Cernicero adalah tujuannya. Dreyfus membuka pintu dengan kasar hingga membuat dinding di sekitar bergetar, bahkan bisa dibilang setengah mendobraknya. Dan Jill hanya bisa terus mengekor di belakang pria berjambang itu tanpa bantahan.“Tutup pintunya!” perintah Dreyfus sejak dia memasuki ruangan. Meski tanpa perintah sekalipun, para bodyguard itu juga selalu menutup kembali pintu ruangan tersebut.Memutari meja, pemimpin Carnicero tersebut lantas menarik kursi kebesarannya dan mengempaskan tubuh dengan kasar di sana. Mengangkat pandangan pada Jill sekilas lalu kembali membuang pandangan.“Duduklah!” titah Dreyfus.Menurut, Jill lantas duduk di kursi yang ada di depan meja
Mana mungkin ada dua wajah yang terlihat sama persis? Bahkan dua orang yang kembar identik pun pasti memiliki perbedaan fitur wajah yang bisa dilihat dengan jelas jika keduanya disandingkan.“Camila Reyes sudah mati. Tidak mungkin wanita itu berada di dalam mobil Julian Blight.” Dreyfus berpaling pada gladiatornya. “Apa kau yakin dengan yang kau lihat?” tanyanya memastikan.“Aku tahu apa yang kulihat, Drey. Dan kurasa Hunter tidak akan salah mengenali istrinya,” jawab Jill dengan sebuah rasa yang diam-diam menusuk di dalam dadanya.Ah, tentu saja!Ketertarikan Jill terhadap Joseph bukanlah sebuah kebohongan. Ketika sosok Camila Reyes melintas dalam pandangan, sudah pasti wanita itu merasakan kegusaran. Kendati sudah berusaha menekannya dengan kuat, nyatanya Jill masih merasakan nyeri yang mengiris hati.Mendengar berita ini, amarah Dreyfus terhadap pemerintah seolah terlupakan begitu saja. Pria itu menaruh rasa penasaran dan ketertarikan untuk mengulik berita yang baru saja disampaika
Dalam posisinya yang bertekuk lutut, nyali Joseph sama sekali tak terlihat surut. Kendati pria itu menahan sakit yang amat menyiksa, nyatanya hal itu tak dapat menundukkan raga. Joseph masih bertahan dengan segala sakit yang dirasa. Karena sakit itu sama sekali tak sebanding dengan sakit yang dia derita selama hampir satu tahun hidup tanpa Camila.Lantas, ketika sang istri muncul di hadapan, siapa orang yang pantas untuk dicurigai jika bukan pemimpin Carnicero tersebut?“Aku tidak peduli dengan tawaran busukmu!” Joseph mengumpat berkali-kali hanya untuk mengeluarkan isi hatinya yang bergitu mendesak.“Apa kau sungguh ingin aku manaikkan kekuatannya?” ancam Dreyfus dengan sebuah benda yang disinyalir sebagai pengendali gelang metal di pergelangan tangan Joseph.“Lakukan saja!” desis Joseph, antara menahan sakit dan amarah yang sama besar.“Seperti yang kau minta, Hunter,” balas Dreyfus.Sudut bibir pemimpin Carnicero itu terangkat, membentuk sebuah seringai. Lantas, jemarinya pun berge
Dreyfus sudah mempertimbangkan keputusannya dengan baik. Joseph hanya membutuhkan motivasi yang lebih besar untuk dapat merilis semua kemampuan yang dia miliki. Pemimpin Carnicero itu tahu, Joseph akan menjadi gladiator yang sangat berbahaya dengan motivasi yang tepat. Dan sekarang adalah saat untuk mengeluarkan monster di dalam diri gladiator pembangkangnya itu.Entah suatu kebetulan atau mungkin Tuhan hanya sedang berbaik hati membrikan jalan. Di saat pemerintah terus mendesak dengan ancaman akan mengekspose Carnicero sebagai organisasi berbahaya yang mengancam negara, sosok wanita yang dikatakan memiliki wajah sangat mirip dengan istri Joseph pun muncul. Bukankah ini terlalu indah untuk dikatakan sebuah kebetulan?Demi Camila, Joseph rela melakukan apa saja. Sekalipun harus menukar nyawa, Joseph akan melakukannya. Dan kini, sebuah tawaran dihadapkan pada pria itu. Dia pun sadar jika dia tidak akan bisa mengalahkan Dreyfus tanpa power dan strategi. Pun begitu untuk menghadapi Julian
Semakin cepat tugas itu diselesaikan, maka akan semakin cepat pula Joseph bertemu Camila. Melakukan apa yang diminta oleh Dreyfus, bukan karena pengabdiannya terhadap organisasi pemusnah itu, melainkan karena misi pribadi untuk mendapatkan sang istri kembali.“Aku akan melakukan apa pun untuk membawamu kembali, Camila. Aku berjanji, kita akan bersama lagi,” ucap Joseph dengan lirih sembari menggenggam cincin pernikahannya.Joseph masih ingat betul dengan sumpahnya terhadap sang istri pada saat mereka baru saja menikah. Tentunya sebelum kejadian nahas itu terjadi. Joseph telah bersumpah bahwa dia akan menjaga Camila dengan jiwa dan raganya.“Mereka bergerak,” ujar Jill yang berjalan menghampiri Joseph di salah satu bangku taman, tempat Joseph menunggu wanita itu.Joseph menegakkan punggung, berpaling pada Jill lalu bertanya, “Berapa banyak yang bersama Pierce?”“Aku melihat ada empat orang,” jawab Jill.“Bagaimana dengan penjagaannya?” Joseph bangkit dan memutar badan menghadap sang re
Tentu saja. Jika bukan karena Camila, Joseph tentu tak akan bisa melenggang dengan bebas melewati petugas keamanan yang ada di pintu lobi. Ini memang bukan kali pertama Joseph menyambangi hotel tersebut. Bahkan bisa dikatakan Joseph sering menyelinap masuk ke hotel itu untuk bertemu dengan Camila. Sehingga petugas keamanan di sana tidak mengenali dirinya.Ada satu ruangan di Golden Empire yang terhubung dengan gudang penyimpanan bahan makanan. Mereka memang tidak akan bisa melewati bagian dapur untuk menuju gudang penyimpanan tersebut, karena penjagaan di dapur pun tak kalah ketat. Akan tetapi, Joseph tahu melalui jalur mana dia bisa membawa Jill menuju ruangan tersebut.“Ikuti aku!” kata Joseph seraya menelengkan kepala, menuju sebuah lorong yang ada di samping lift barang.“Kau yakin kita akan pergi ke sana?” Jill mengerutkan kening, tampak tak begitu yakin karena lorong itu cukup ramai dilalui oleh para petugas hotel di bagian kebersihan.“Ada jalan lain, tapi kau harus keluar lebi
“Ahahahaha ….” Jill tertawa setelah beberapa saat hanya diam dan saling berpandangan dengan Joseph. “Kau serius sekali, Hunter!” imbuhnya dengan sisa tawa yang masih terdengar.Joseph memalingkan wajah sambil menjilat sudut bibir. Kemudian dia kembali melihat pada Jill dan berkata, “Aku serius dengan apa yang kukatakan. Keluar dari sana dan temukan kebahagiaanmu!”Jill menggeleng pelan. “Carnicero adalah keluargaku. Aku menikmati setiap tantangan yang membuat adrenalinku meningkat. Aku menikmati setiap bahaya yang setiap saat mengincar. Dan ya, aku bahagia di sana,” seloroh Jill. “Jadi … terima kasih untuk nasihatnya.”Akting Jill memang sudah tidak diragukan lagi. Jika dia ingin Joseph mengira yang dia ucapkan itu benar, maka di mata pria itu semua yang dikatakan Jill adalah kebenaran. Sekalipun Jill merasa seperti sedang menelan panah api di setiap abjad yang keluar dari mulutnya untuk meyakinkan Joseph.“Oh, mereka keluar!” seru Jill, merasa terselamatkan dari topik pembicaraan sen
"Kau baik-baik saja?" Joseph memalingkan wajah sekilas pada sang rekan yang berjalan di sampingnya."Tidak–umh ... maksudku, ya. Aku baik-baik saja," jawab Jill terdengar ragu-ragu."Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja, Jill." Joseph memiringkan kepala, melirik rekannya melalui ekor mata. "Kau jadi lebih pendiam semenjak kita meninggalkan Golden Empire. Apa aku melewatkan sesuatu?" telisik pria tersebut."Kau terlalu banyak berpikir!" Jill mengibaskan tangan di depan wajah dengan satu sudut bibir terangkat. “Aku baik-baik saja dan tidak ada yang kau lewatkan, Hunter.”Joseph mengedikkan bahu. Entahlah. Mungkin ucapan Jill benar, tentang dia yang terlalu banyak berpikir. Atau lebih tepatnya, memikirkan sang istri–Camila.Berbagai rencana telah tersusun dalam kepala Joseph. Dia sangat merindukan Camila, dan ada banyak sekali hal yang ingin dia lakukan bersama sang istri. Tak pelak, rencana-rencana itu membesut pikiran Joseph terlalu banyak. Hingga kadang cukup mengganggu fokusnya dal
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk