Hingga detik ini, pemberitaan tentang tragedi yang terjadi di Pulau Horsche masih menjadi perbincangan hangat di media. Bermacam-macam spekulasi pun mulai bermunculan. Teori-teori banyak yang bersliweran mengenai motif dari kejadian ini. Mulai dari dendam bisnis hingga serangan teroris.Tidak ditemukannya jasad Julian Blight menjadi salah satu hal yang memicu banyaknya spekulasi tersebut. Berbagai sumber mengatakan bahwa pada saat kejadian nahas itu, Julian baru saja kembali dari kunjungan bisnis ke New York. Jika menilik dari runtutan jadwal kerja Julian, harusnya malam itu dia sedang berada di mansion. Akan tetapi, pencarian yang dilakukan di reruntuhan bangunan sama sekali belum membuahkan hasil. Di antara puluhan jasad yang ditemukan tertimbun dalam reruntuhan itu, tak satu pun jasad yang teridentifikasi sebagai Julian Blight.Yang membuat tidak habis pikir, peristiwa ini mengundang banyak sekali simpati dari kaum hawa dari dalam dan luar kota, bahkan beberapa dari belahan dunia l
“Aku bisa melihatnya,” tutur Dreyfus saat memperhatikan baik-baik titik yang ditunjuk oleh Joseph.“Aku yakin mereka bersembunyi di dalam bunker itu selama serangan berlangsung.” Joseph menambahkan.“Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah bunker itu cukup kuat untuk menahan dua kali ledakan dahsyat yang meluluh-lantakkan mansion tersebut? Ingat, serangan ini bukan serangan main-main. Hanya dengan dua kali ledakan saja, seluruh bangunan itu sudah rata dengan tanah,” timpal Dreyfus.“Itu juga yang menjadi pertanyaanku,” sambung Jill.Pada saat itu, seorang anak buah Dreyfus datang dan menyela pembicaraan mereka. Sudah jelas ada situasi mendesak yang terjadi di sana, karena anak buah Dreyfus tidak akan berani menyela tanpa adanya alasan yang benar-benar urgent.“Maaf, Sir. Di line 3, Jenderal Boyd menunggu untuk berbicara dengan Anda,” ujar seorang pria seraya menyodorkan telepon wireless jarak jauh pada pemimpin organisasi tersebut.“Bukankah aku sudah memerintahkanmu untuk tid
Dalam rongga itu, Jill dan Joseph melihat ruang yang cukup luas. Bahkan dapat memuat beberapa orang sekaligus."Aku akan memeriksanya," ujar Joseph.Pria itu lantas menyingkirkan beberapa batu yang menjadi penghalang.Jill pun tak tinggal diam. Wanita itu turut membantu apa yang dilakukan oleh Joseph. Hingga akhirnya mereka berhasil membuat celah yang lebih luas pada rongga tersebut.Keduanya masih berjongkok di bibir celah sambil memperhatikan ruang di hadapan mereka. "Aku tidak percaya ini," seloroh Jill."Apa yang membuatmu tidak percaya, Jill? Aku yakin Blight sudah mempersiapkan semua ini karena dia tahu, banyak sekali orang yang membenci dirinya. Sehingga dia membuat antisipasi semacam ini," timpal Joseph.Jill mendengkus lirih."Dan ini menunjukkan bahwa dia telah bersinggungan dengan orang-orang yang berbahaya," ujar Jill."Atau mungkin ini hanyalah trik untuk mengelabuhi musuh-musuhnya." Joseph mengucapkan kalimat itu seraya bergerak masuk ke ruang yang ada di hadapan mereka
Sungguh kejutan yang megejutkan.“Mendadak aku merasa mual,” seloroh Jill sambil memalingkan wajah ke arah lain.Senyum yang tersungging di bibir Jenderal Boyd membuat Jill merasa muak. Berada dalam satu misi dengan jenderal itu satu kali saja, sudah cukup membuatnya paham bagaimana karakter si Jenderal yang sangat memuakkan.“Aku sungguh tidak menyangka akan menemukan kalian di sini,” seloroh Jenderal Boyd. Berhenti berjalan di hadapan Jill dan Joseph lalu berkacak pinggang dengan arogan.“Apa yang kau inginkan, Jenderal?” tanya Joseph datar dengan tatapan tidak tertarik.“Apa yang kuinginkan?” Jenderal itu mengerutkan alis seraya menunjuk dadanya sendiri. “Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Karena kalian baru saja menerobos garis polisi dan merusak tempat kejadian perkara.”Pandangan Jenderal Boyd berubah tajam. Pria berbadan tegap itu menatap penuh selidik pada kedua gladiator Carnicero tersebut.“Apa yang kami lakukan di sini bukan urusanmu, Jenderal. Jadi percuma saja
Kedatangan Sekretaris Menteri Pertahanan ke tempat tersebut membuat Jenderal Boyd merasa di atas angin. Pria berbadan kekar itu merasa sangat yakin jika setelah ini Carnicero akan terguling dan hancur. Entahlah, apa yang membuat pria itu sangat membenci Carnicero. Yang jelas, sejak awal Jenderal Boyd memang tak pernah menyukai organisasi tersebut. Kekehan Dreyfus membuat atensi Jenderal Boyd teralih dari pintu tenda pada pemimpin Carnicero itu. Raut puas yang tergambar di wajahnya beberapa waktu lalu mendadak berubah. Wajah itu mengerut samar dengan ekspresi bertanya-tanya.“Bukan dirimu yang meminta Sekretaris Menteri datang ke tempat ini, bukan?” Dreyfus menaikkan sebelah alis dengan senyum miring yang tampak begitu mengintimidasi.Kemudian, pria itu berjalan ke arah dua gladiatornya yang duduk dalam kondisi terikat pada kursi. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya.“Apa maksudmu?” desis Jenderal Boyd.Berhenti persis di hadapan kedua gladiatornya,
Berhasil terbebas dari Jenderal Boyd, Dreyfus membawa kedua anak buahnya itu kembali ke markas. Selama di dalam helikopter, Dreyfus sudah memeriksa sekilas berkas berisi bukti-bukti yang mengarahkan serangan itu pada Carnicero. Namun, pria itu perlu mempelajarinya lagi dengan seksama ketika tiba di markas nanti. Motif penyerangan mansion Blight ini memang menimbulkan banyak spekulasi yang harus diteliti dengan hati-hati, agar analisis sejalan dengan bukti.Memberi waktu bagi kedua gladiatornya untuk beristirahat, Dreyfus meminta mereka untuk berkumpul di ruang konferensi keesokan harinya untuk menelaah bukti-bukti itu. Tak hanya memeriksa bukti yang dikumpulkan oleh Jenderal Boyd, mereka juga harus mencari keterkaitan bukti-bukti tersebut dengan analisis yang telah mereka buat sebelumnya. Oleh sebab itu, Dreyfus tidak akan terlalu memforsir anak buahnya untuk bekerja keras. Karena mereka membutuhkan energi dan pikiran yang segar untuk memecahkan masalah ini.“Ini tidak masuk akal,” uj
Mengudara meninggalkan Pulau Horsche, Joseph dan Jill melihat reruntuhan mansion Blight. Dari ketinggian itu, gundukan yang tercipta tampak seperti sebuah gunung yang ambruk. Joseph memandangi bekas bangunan tersebut dengan pikiran yang terfokus pada Camila. Alasan dia tetap bertahan di Carnicero adalah karena dia membutuhkan sumber daya yang dimiliki organisasi itu untuk dapat merebut kembali istrinya dari tangan Julian Blight.Selain itu, masalah terkait ledakan ini juga membuatnya berpikir keras. Karena bukan tidak mungkin Julian sengaja menghancurkan mansionnya sendiri demi dendam pribadi di antara mereka. Harta bukan masalah untuk Julian. Bangunan megah seperti apa pun akan dapat dengan mudah dia bangun kembali. Namun, kehancuran Joseph adalah sesuatu yang sangat mahal, dan bisa jadi Julian menganggapnya sepadan dengan runtuhnya mansion megah yang dia miliki.Setibanya di markas, mereka langsung menuju ke tempat di mana Dreyfus berada. Pria itu tengah ada di ruangannya dengan beb
Berjalan tergesa-gesa, Dreyfus dan kedua gladiatornya segera mencari tahu di mana pusat ledakan itu terjadi. Raungan alarm serta lampu peringatan yang menyala, menambah dramatis perjalanan mereka. Dari kuatnya ledakan, Dreyfus yakin jika ini bukan sebuah kecelakaan semata, dan inilah yang membuat pria itu gusar. Anak buah yang lain pun tampak buru-buru menuju lokasi terjadinya ledakan yang baru saja menggetarkan bangunan tersebut."Pusat ledakan itu ada di hanggar, Sir," lapor salah satu anak buah Dreyfus.Pria berjambang itu bersama dua gladiatornya tidak menghentikan langkah cepat mereka saat informasi itu disampaikan. Dreyfus bahkan hanya menoleh sekilas saat mendengar laporan tersebut. Dan pria itu semakin murka ketika mengetahui bahwa hanggar menjadi pusat ledakan. Yang mana itu berarti moda transportasi Carnicero akan menerima dampaknya."Apa yang menjadi sumber ledakan itu?" tanya Dreyfus dengan netra cekung yang menyorot tajam ke depan."Helikopter kita meledak, Sir," jawab an
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk