Joseph sudah memutuskannya masak-masak. Dia akan menerima tawaran itu. Dia yakin bahwa Jill akan mendapatkan rekaman asli dari markas The Demon. Dengan rekaman itu, dia bisa membuktikan bahwa bukan dirinya yang menghabisi nyawa Andrew. Dan dia sangat yakin bahwa terungkapnya kebohongan Julian ini akan menghancurkan kepercayaan Camila terhadap pria itu. Sehingga, tidak ada lagi celah untuk memberi maaf kepada Julian Blight.Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak membalaskan dendamnya kepada Julian. Berdalih mengambil misi dari Monica Simmons, Joseph menumpanginya dengan misi untuk memuaskan dendam pribadi."Apa kau sudah mendapatkannya?" tanya Joseph.Pria itu mendatangi Jill yang sedang berada di ruang berlatih."Hampir," jawab Jill seraya mengelap keringat dengan handuk."Hampir?" Joseph mengerutkan kening.Jill mendesah pelan dan nyaris memutar bola mata di hadapan sang rekan."Tidak mudah menemukan sebuah jarum di antara tumpukan sampah, Hunter. Julian bermain sangat rapi. Perlu
Joseph dan timnya mulai berenang bahkan sesekali menyelam ketika sorot lampu mercusuar mengarah pada mereka. Tempat mereka menepi ini dipenuhi dengan batu karang, sehingga kapal tidak bisa merapat hingga ke pantai. Mereka juga harus berhati-hati karena beberapa karang yang tajam bisa melukai kaki.Tiba di pesisir, Joseph dan tim segera mengganti dive suit dengan pakaian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Memakai alat perlindungan diri kemudian menyandang senjata yang mereka butuhkan. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan darat, Joseph lebih dulu mengumpulkan timnya."Kita memiliki dua pilihan jalur yang bisa kita lewati untuk menuju terowongan itu." Joseph mengedarkan pandangan ke arah timnya. Pria itu mencari sebuah kayu kecil kemudian menggambar pola kasar di atas pasir."Jalur ini landai, tetapi banyak sekali kamera pengawas yang dipasang. Salah langkah sedikit saja, mereka akan mengendus keberadaan kita." Pria itu lantas menunjuk gambar di sebelahnya. "Sementara di sini mema
Pintu menuju terowongan yang akan membawa mereka pada mansion Blight telah terbuka lebar. Joseph membuka tangan, seolah baru saja memberi sambutan kepada tamu undangan untuk menikmati sajian pesta. Sayangnya, pesta yang dimaksud adalah aroma tidak sedap yang sepertinya akan menjadi pemandu mereka selama dalam perjalanan memasuki lorong panjang tersebut."Terowongan ini cukup panjang. Gunakan masker kalian sebagai pelindung," titah Joseph pada timnya."Sepertinya kita akan memasuki lubang penuh bangkai," gumam salah satu dari mereka."Tetaplah berada di belakangku. Ikuti aba-aba dariku, karena kita tidak tahu apa yang akan menyambut kita di dalam sana," ujar Joseph.Jika di luar pintu saja dia sudah mendapatkan kejutan berupa kamera pengawas, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam terowongan itu juga terpasang beberapa kamera pengawas untuk memantau keamanan. "Baik, Kapten!" jawab mereka bersamaan.Orang-orang itu lantas mengenakan masker wajah masing-masing. Selain untuk mengh
“Aku tidak yakin mereka masih hidup,” ujar salah satu anggota tim.Joseph menipiskan bibir. Jika memang dua anggotanya tidak selamat, maka dia baru saja gagal memimpin misi itu. Bagaimana tidak? Mereka bahkan belum sempat menginjakkan kaki di mansion Blight, namun dua anggotanya sudah lebih dulu menemui ajal.“Nyalakan hand flare!” titah Joseph.Kondisi terowongan pasca ledakan itu menjadi gelap gulita karena beberapa penerangan yang ada di sepanjang dinding terowongan pun turut padam.Dengan cahaya dari hand flare, Joseph berharap jika dua anggota timnya yang ada di balik reruntuhan itu masih hidup, mereka akan dapat menerima sinyal ini melalui celah kecil yang mungkin saja tercipta di antara bebatuan.“Walt! Herb! Kalian mendengarku?” teriak Joseph seraya mendekatkan telinga ke reruntuhan untuk mendengarkan suara yang mungkin berasal dari sisi berbeda.“Walt! Herb!” teriak Joseph lagi. Akan tetapi, tetap tidak ada jawaban yang menyahut.“Kurasa mereka memang tidak selamat,” seloroh
Joseph memandang setiap wajah dari delapan anggota timnya yang tersisa. Pria itu merasa terharu melihat kesetiakawanan anggotanya. Padahal, sebelum ini Joseph menganggap mereka hanya sebagai rekan. Hubungan yang terjalin di antara mereka pun hanya sebatas hubungan kerja. Joseph bener-bener tidak menyangka bahwa anak buah Dreyfus akan melakukan hal seperti ini untuknya. Tetap berjalan di sampingnya, meski mereka tahu Joseph memiliki maksud lain di atas misi yang mereka jalani. Bahkan rela mempertaruhkan nyawa demi dirinya seperti Herb dan Walt."Aku tidak tahu apakah ada kata yang lebih layak untuk aku ucapkan selain kata 'terima kasih'." Joseph sungguh terharu dengan ketulusan anggota timnya itu."Kau tidak harus mengatakan apa-apa, Capt. Karena sepertinya kita harus segera bergerak, jika tidak ingin berakhir mati konyol di sini," ujar salah satu dari mereka.Joseph tersenyum samar. Pria itu lantas mengangguk dan menarik napas dalam. Setelahnya, dia memutar pandangan ke sekeliling, pa
Tidak hanya Joseph, seluruh anggota timnya pun turut terempas karena ledakan tersebut. Dengung hebat menusuk indera pendengaran mereka. Hingga membuat mereka memerlukan sedikit waktu untuk kembali mendapatkan fokus.Joseph menggeleng kepala sambil mengerjapkan kelopak mata dengan lambat beberapa kali. Pandangannya pun terasa kabur, karena kepalanya sempat menghantam tanah dengan cukup keras hingga penglihatannya sempat menggelap sesaat.Mereka berusaha untuk bangkit, meski keseimbangan belum sepenuhnya kembali. Kaki mereka goyah. Tubuh mereka limbung saat bumi yang mereka pijak seakan berputar. Namun, keadaan berangsur membaik beberapa saat kemudian. Mereka mulai kembali fokus dan dengung di telinga pun mulai reda."Apa yang terjadi?" tanya salah satu dari mereka.Dinding menjulang di hadapan mereka masih berdiri kokoh, meski terdapat retakan di beberapa bagian. Tak berapa lama kemudian, salah satu helikopter berputar di atas kepala mereka. Berputar beberapa kali kemudian sedikit men
Sebagai bentuk dukungan untuk Joseph dari anggota timnya, para anggota di bawah kepemimpinan Joseph itu tidak banyak bertanya tentang kondisi sang kapten. Mereka cukup tahu bahwa pria itu sudah cukup berat untuk menerima kejadian mengerikan yang melibatkan istrinya ini, sehingga tidak ada lagi yang bersikap sok peduli dengan bertanya macam-macam. Orang-orang itu lebih suka menunjukkan empatinya dengan sikap, tanpa banyak kata yang terucap.Mereka kembali masuk ke hutan untuk menuju ke pantai. Namun, kali ini mereka memilih jalur yang lebih landai. Kamera-kamera yang menyebar di sepanjang hutan membentang kini sudah tidak berarti bagi mereka. Karena pusat pengendali keamanan di mansion itu sudah jelas tidak ada lagi. Sehingga mereka bisa melangkah dengan bebas tanpa perlu berusaha bersembunyi dari pengawasan.Selama dalam perjalanan itu, mereka melihat beberapa helikopter milik awak media yang melintas, terlihat dari logo yang ada di badan helikopter. Raung sirine juga terdengar bersah
“Biarkan aku masuk!” seru seorang wanita yang rela turun dari tunggangan mewahnya karena para pria bersenjata itu tidak mau membukakan pintu untuk mobilnya masuk.“Maaf, Nyonya. Ini adalah properti pribadi. Sebaiknya Anda tinggalkan tempat ini dan jangan membuat keributan di sini,” ujar salah satu pria yang menjaga pintu gerbang tinggi menjulang, yang menjadi akses satu-satunya untuk kendaraan darat.“Panggil aku Nona Simmons!” Monica murka karena anak buah Dreyfus tidak mengizinkannya untuk masuk ke markas Carnicero tersebut.“Maaf, Nona Simmons. Sebaiknya Anda meninggalkan tempat ini, sebelum kami memberlakukan protokol keamanan,” tutur pria itu, mengusir Monica dengan sopan.“Tidak!” tolak Monica mentah-mentah. “Aku harus bertemu dengan pemimpin kalian sekarang juga!”“Maaf, Nona. Mr. Eastwood memerintahkan kami untuk tidak menerima tamu, siapa pun itu.” Si pria itu tetap bersikeras.“Aku sungguh tidak percaya ini.” Monica memutar badan sambil melipat kedua tangan di pinggang.Apa-
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk