"Mas, aku nginep sini, boleh, ya?"
Adhinata mendongak mendengar Nadira bicara demikian. Pria itu tersenyum samar, lalu bertanya, "Kenapa?""Ya enggak kenapa-napa." Gadis itu malas menjelaskan. Masa iya, gitu aja gak peka, sih, Mas?!"Apa yang kamu khawatirkan?" pancing Adhinata."Enggak khawatirin apa-apa, sih. Pengin aja. Kangen masa-masa nginep di sini." Gadis itu berkilah.Adhinata tertawa kecil. "Kalau kamu takut saya dan Siska ngapa-ngapain, tenang aja, nanti Om Adrian ke sini."Nadira menunduk, memainkan ujung baju, "Mas segitu gak maunya, ya, aku nginep di sini.""Hei, bukan begitu," ujar Adhinata lembut. Lalu dia meminta Nadira mendekat, duduk di sampingnya, yang kini bersandar kepala ranjang. Sang gadis yang semula duduk di sofa pun tak menolak."Kamu kan harus belajar, harus nyiapin jadwal buat besok sekolah, dan harus istirahat dengan benar. Biar fit pas latihan renang. Kalau di sini, nanti yang ada sPagi datang dengan tenang, meninggalkan hujan deras dan mati lampu semalam sebagai cerita. Matahari mulai menyusup ke sela tirai kamar Adhinata, menyinari ruangan sederhana yang kini dipenuhi kehangatan dengan penghuni tambahan.Adhinata sudah terjaga lebih dulu, duduk bersandar di ranjangnya sambil menatap Nadira yang masih tertidur di sofa kecil di pojok kamar. Gadis itu tampak lelap dengan posisi meringkuk, memeluk bantal dengan wajah polos. Semalam Adhinata meminta Nadira ikut tidur bersamanya di ranjang, tetapi gadis itu menolak."Tidurnya kayak anak kecil, tapi keras kepala seperti ibu-ibu," gumam Adhinata sambil tersenyum tipis.Tak lama, Nadira menggeliat pelan, kelopak matanya membuka perlahan. Dia memandang ke arah Adhinata yang menatapnya. "Mas udah bangun? Kok nggak bangunin aku?" tanyanya dengan suara serak khas baru bangun tidur."Kan katanya mau nemenin dan jagain saya. Harusnya kamu yang bangun duluan," balas Adhinata sambil tersen
Pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi medan perang dingin di halaman rumah Adhinata. Nadira, masih dengan wajah cemberut, berjongkok di dekat pagar rumah sederhana itu, sibuk mencabuti rumput liar. Bukan karena tiba-tiba dia cinta berkebun, tapi lebih karena butuh pelampiasan untuk rasa kesalnya."Dasar cowok gak jelas! Masa tunangan sendiri dibilang cuma murid. Bisa-bisanya sesantai itu tanpa mikirin perasaanku," gumamnya sambil mencabut rumput dengan tenaga yang seolah mewakili perasaannya."Apa susahnya bilang kalau aku ini tunangannya?! Menyebalkan." Nadira masih saja mendumal.Rumput-rumput liar itu tak bersalah, tapi nasib mereka sungguh tragis pagi ini.Dari ambang pintu rumah, Adhinata yang tadi mengejar Nadira, berhenti sejenak. Melihat sang gadis yang sedang ngambek sambil mencabuti rumput liar membuatnya menghela napas panjang."Ya Tuhan, kenapa saya harus menghadapi drama seperti ini pagi-pagi?" gumamnya sebelum akhirnya
Adhinata berdiri di tempatnya, menatap jalan yang sudah kosong setelah motor Regas melaju menjauh. Ada perasaan tidak nyaman di dadanya, seperti campuran kesal, khawatir, dan sedikit bingung. Nadira benar-benar membuatnya mati gaya hari ini.Ia menggaruk kepala, lalu kembali ke rumah dengan langkah gontai. Siska, yang tadi memperhatikan dari jendela, menyambutnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu."Tuan tidak apa-apa?" tanya Siska."Apa-apa." Adhinata menyahut cepat.Siska mengerutkan keningnya, lantas bertanya, "Apa-apa bagaimana, ya, Tuan?"Adhinata berdecak. Mengurungkan niat semula yang ingin ganti celana dan mencuci kaki yang kotor oleh tanah. "Kamu nggak lihat, saya sama dia ribut barusan? Bukannya kamu mengintip dari jendela?!"Ups. Siska ketahuan.Wanita itu menggaruk tengkuknya. "I—iya, Tuan. Maaf, saya tidak sengaja. Uhm, tapi yang tadi itu ... beneran murid Tuan Nata atau ...?" Siska menggantungkan pertanya
Adhinata berdiri di depan kelas dengan aura serius, memegang spidol di tangan kanannya. Setelah menyapa para siswa, ia mulai menuliskan materi di papan tulis dengan gerakan yang teratur.Beberapa siswa menanyakan keadaannya, dan dia balas dengan santai serta mengucapkan terima kasih atas kepedulian mereka.Nadira masih terpaku di tempat duduknya. Gadis itu berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Adhinata di sini? Apa dia benar-benar sudah pulih? Dan yang lebih membuat Nadira terkejut, bagaimana pria itu bisa bersikap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa pagi tadi?"Nadira. Berani sekali kamu melamun di jam mata pelajaran saya!" Suara Adhinata yang tegas memecah lamunan gadis itu.Nadira terkesiap. "Eh, iya, Pak. Saya fokus, kok," jawabnya gugup sambil buru-buru membuka bukunya. Dia masih kesal dengan sang pria, tetapi dia sadar di sini bukan area untuk 'mode pacar'. Walau bagaimanapun, dia tetaplah harus bersikap hormat sebagaimana murid
Langit sore berwarna jingga kemerahan ketika Adhinata menunggu Nadira di gerbang sekolah. Selesai jam pelajaran tadi, gadisnya itu berpamitan untuk latihan renang. Dan Adhinata memilih diam di ruang BK menunggu gadis itu selesai latihan, sembari memeriksa beberapa laporan perusahaan yang dikirim oleh sekretarisnya.Beberapa saat lalu, Nadira mengirim pesan bahwa dia sudah selesai latihan dan minta diantar pulang. Maka, di sinilah Adhinata sekarang. Di depan gerbang sekolah, dengan santai bersandar di kap mobilnya. Adhinata melipat kedua tangan di depan dada, dan menatap ke arah biasanya sang gadis muncul dengan riang.Ketika akhirnya Nadira berjalan menghampirinya, Adhinata membuka pintu mobil, mempersilakannya masuk. "Ayo, kita jalan-jalan sebentar," ucapnya ringan."Ke mana, Mas?" tanya Nadira, menaikkan satu alis curiga."Rahasia. Kamu ikut saja," jawab Adhinata sambil menyunggingkan senyum misterius.Meski penasaran, Nadira tidak bert
Adhinata memarkir mobilnya di halaman rumah dengan perasaan campur aduk. Perjalanan mengantar Nadira pulang tadi cukup menyenangkan, meskipun meninggalkan sedikit kegelisahan di hatinya. Ia belum bisa berhenti memikirkan janji pada diri sendiri untuk datang diam-diam ke kompetisi renang Nadira. Namun lagi-lagi dia meragukan kemampuannya apakah benar sudah lepas dari jerat trauma?Saat ia hendak keluar dari mobil, matanya langsung tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di dekat pintu rumah. Mobil itu tidak asing baginya. Ya, itu adalah kendaraan milik Adrian.Adhinata mendesah panjang. "Dia lagi ...," gumamnya sambil mematikan mesin mobil.Adrian berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersilang di dada. Ekspresi wajahnya keras, seolah sedang bersiap untuk menginterogasi tersangka."Cepat buka pintunya!" seru Adrian dari kejauhan.Adhinata memutar bola mata, merasa kesal karena harus berhadapan dengan pria itu setelah seharian p
Pagi itu, Adhinata berdiri di depan pintu masuk rumah sakit dengan perasaan beragam. Langit masih terlihat cerah, dan udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan dalam hati. Ia tahu ini adalah hari yang penting, hari di mana ia akan memastikan apakah tubuh dan jiwanya benar-benar pulih atau masih ada yang harus ia hadapi."Selamat pagi, Tuan Muda," suara Adrian dengan nada candaan terdengar dari belakangnya.Adhinata menoleh dan mendapati Adrian berjalan mendekat dengan jas putihnya yang rapi. Senyumnya mengembang lebar, tetapi mata dokter itu tetap tajam seperti biasa."Sudah siap?" tanya Adrian, menatap lekat sang keponakan."Siap tidak siap, harus tetap dijalani, kan?" balas Adhinata sambil mengangkat bahu.Adrian menepuk pundak keponakannya itu. "Bagus. Itu semangat yang harus kamu jaga. Ayo, langsung ke ruangan pemeriksaan."Adrian membimbing Adhinata berjalan menuju ruang pemeriksaan fisik sembari berbincang ringan
Adhinata hanya bisa tersenyum kecil saat Nadira dengan semangat menentukan tempat mereka berkencan kali ini."Kita pergi ke tempat favoritku," katanya riang sambil menarik tangan Adhinata menuju mobil.Tidak ada penolakan dari pria itu. Saat ini, kebahagiaan Nadira adalah prioritasnya, dan ia tidak ingin merusaknya.Perjalanan menuju tempat yang Nadira maksud terasa santai, dengan obrolan ringan mengalir di antara mereka, sembari Nadira menunjukkan arah jalan. Namun, ketika mobil mereka mulai mendekati tujuan, Adhinata tiba-tiba merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia mengenali area ini. Di seberang jalan, tampak bangunan besar dengan tulisan Gelanggang Renang Nasional yang mencolok."Kita berhenti di sini, Mas. Udah, sini aja." Gadis itu menunjuk sebuah kedai eskrim di sisi kiri.Adhinata memarkir mobil. Dia diam sejenak, menelan ludah. Gelanggang di seberang jalan itu adalah tempat di mana trauma terbesarnya bermula, dan sekarang,
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad