Aku yang mendengarkan perbincangan mereka dari balik dapur merasa kata-kata bang Eka terdengar begitu kasar. Aku tahu dia bermaksud baik. Dia hanya tak ingin aku merasa kekurangan dan terlantar. Tapi bagi bang Haikal yang kini masih terlalu sensitif, tentu saja kata-kata seperti itu semakin melukai harga dirinya."Maaf, Ka. Tapi Dwi sekarang isteriku. Aku yang bertanggung jawab penuh atas dirinya. Apa pun yang aku berikan, dia harus terima. Dwi tetap bersamaku." Bang Haikal berucap tegas.Aku menarik sudut bibir. Merasa tersanjung karena suamiku terdengar begitu bertanggung jawab dalam mempertahankanku. Sedikit pun dia tak ingin ada yang merasa lebih peduli padaku selain dirinya.Aku jadi merasa, semakin hari bang Haikal tak lagi bisa hidup tanpa aku."Kau terlalu cepat membawa adikku pergi. Aku jadi tak punya mainan lagi. Kalau begitu cepat berikan aku keponakan sebagai penggantinya." Bang Eka layaknya membuat penawaran.Nampan berisi cangkir teh yang baru saja aku bawa hampir saja
Aku membuka mata secara perlahan. Melihat sekeliling ruangan yang masih tampak asing. Memegang kepala yang terasa begitu pusing. Lalu merasakan sesuatu menempel di keningku. Perih. Seperti ada luka yang tertutupi. Bau alkohol pun masih begitu menyengat terasa di pangkal hidung.Aku berusaha bangkit dari sofa empuk tanpa sandaran. Namun tak ada seorang pun di sini. Sekujur tubuhku juga kini terasa nyeri, padahal seingatku aku baik-baik saja selama ini."Dwi!" Bang Haikal muncul entah dari mana, lalu bergegas mendekat dan langsung memelukku.Aku terpaku. Tak menyangka suamiku akan bersikap seperti ini. Diciumnya keningku dengan napas yang memburu, membuatku semakin bingung dengan apa yang terjadi."Ini di mana?" tanyaku dengan suara pelan.Dia tak melepaskan dekapannya. Terdengar ada tarikan ingus seperti suara sebuah isakan."Abang?" panggilku lagi.Belum lagi dia menjawab, datang beberapa orang yang tidak aku kenal. Sepertinya mereka sepasang suami isteri. Disusul kemudian Bima yang b
Aku melirik jam yang menempel di dinding. Ini sudah larut malam. Padahal sepertinya aku ke minimarket sehabis salat maghrib tadi.Sebentar, sebentar. Apa tadi aku terjatuh hingga tak sadarkan diri?"Tunggulah di sini. Jangan kemana-mana!" perintahnya. Lalu turun dari ranjang dan keluar dari kamar.Aku kembali mengingat apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Sepertinya ada benda keras yang menghantam bagian belakang kepalaku. Aku langsung terjatuh dan tak sadarkan diri.Luka di keningku mungkin saja akibat terbentur aspal jalan. Tapi rasa nyeri di tubuh ini?Aku kembali meneliti tiap inci tubuhku. Baru kusadari ada beberapa luka lecet seperti tergesek benda kasar. Apa ini juga akibat berbenturan dengan permukaan jalan?Oh, Tuhan. Tiba-tiba aku teringat akan Kania. Pasti dia yang melakukan semua ini. Lalu Bima....Ah, yang datang tadi pasti Bima. Ayahnya menyuruh mengantar obat tadi. Aku tak boleh membiarkan mereka lama-lama bertemu.Dengan masih menahan rasa ngilu, aku beranjak turun.
Pernah suatu ketika aku menangis dengan tiada henti. Membaca novel fiksi karangan Tere Liye dengan judul 'Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin'. Kisah tentang dua orang insan yang saling jatuh cinta, namun masing-masing memendam rasa. Danar, si pria yang mencintai dengan setulus hati, nyatanya menutup rapat perasaannya yang dia anggap sungguh tak lazim.Mencintai gadis kecil berkepang dua dengan jarak umur yang begitu jauh darinya. Bahkan hingga dewasa dia mengubur dalam perasaan itu dengan berpura-pura jatuh cinta, bahkan menikahi wanita lain. Miris.Aku pikir kisah itu begitu naif. Di mana tokoh utama pria terlihat bodoh dan tidak bersungguh-sungguh. Bukannya memperjuangkan, malah berlari dan selalu menghindar. Tidak masuk akal dan hanya menyiksa diri sendiri.Tanpa kusadari, kini aku pun bernasib serupa seperi Tania, gadis berkepang dua yang selama bertahun-tahun dibohongi oleh Danar dengan perasaannya sendiri. Suamiku juga menutup rapat isi hatinya padaku, hanya karena perb
"Makanlah! Setelah itu minum obatmu." Suamiku menyediakan semangkuk bubur untuk sarapan.Aku mengangguk dengan senyum yang masih tersipu.Dia pun salah tingkah dan terlihat malu-malu. Rambutnya yang masih basah dengan wangi shampo yang begitu memikat, membuatku kembali teringat apa yang terjadi malam tadi. Sakit yang kurasa semakin bercampur aduk entah dari area mana saja. Namun anehnya tubuhku sama sekali tak menolak. Membiarkan dia dengan segala gerakannya menguasai tubuh dan juga pikiranku. Mengakhiri semuanya dengan sebuah bisikan yang membuat aku melayang sebelum terkulai."Aku mencintaimu, Sayang. Bahkan sebelum kau menyadari apa itu jatuh cinta." Detik berikutnya dia menjatuhkan diri di sisiku. Memelukku hingga terlelap.Malam tadi, berkat kegilaan Kania, bang Haikal telah menyempurnakan pernikahan kami.."DWI! HAIKAL!" Suara bang Eka berteriak dari arah luar dengan suara gedoran pintu yang dipukul keras-keras.Aku dan suamiku saling memandang."Bukankah sudah kubilang jangan
Manik mataku liar ke sana kemari agar tak bersirobok dengan Bima. Entah bagaimana caraku menyapanya saat ini. Jika mengingat saat terakhir kali kami bertemu, tentu hati ini masih begitu marah. Tapi mendengar suamiku yang begitu jujur menceritakan aksi heroiknya menyelamatkanku malam tadi, harusnya aku yang datang dan mengucapkan terima kasih padanya.Menurut cerita, Bima melihat Kania mengayunkan kantong belanjaan ke arahku. Dia berlari sambil berteriak memanggil namaku. Berharap aku mendengar, lalu segera menghindar. Namun belum sempat terucap, benda yang terasa keras sudah menghantam bagian tengkukku. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang terjadi.Aku dengar Bima melihat Kania menginjak-injak tubuhku dengan marah. Pemuda jangkung itu mengejar sambil berteriak agar Kania berhenti. Gadis itu terlihat seperti kerasukan tanpa menghiraukan peringatan Bima.Terakhir, Bima melihat dia mengayunkan kantong belanjaan itu lagi. Kali ini mengarah ke bagian kepalaku. Namun sebelum itu terjad
Kejadian seperti ini tidak mungkin bisa disembunyikan lagi. Orang tuaku datang setelah bang Eka mengadu. Ibu menangis memelukku. Sementara ayah menginterogasi bang Haikal."Harusnya hal seperti ini bisa dihindari, jika kalian segera menjauh dan pindah dari sini!" Ayah berbicara dengan sangat berwibawa. "Apa kau akan terus-terusan menolak apa yang kami berikan padamu, Kal?" "Pikirkan Dwi. Jangan egois!" Ayah tampak lebih tegas dari biasanya. Kali ini ucapannya seperti sebuah perintah ketimbang menawarkan suatu pilihan. Bang Haikal hanya bisa tertunduk pada laki-laki yang begitu dihormatinya sejak kecil itu. Terlihat begitu menyesal dan merasa bersalah atas apa yang menimpaku. Aku benar-benar tak sampai hati melihatnya."Bang Haikal sudah mengajakku pindah, Yah. Aku yang menolak. Jangan menyalahkan bang Haikal terus." Aku merengek. "Kau ini." Ayah berucap lemah. "Untuk apa kau lakukan itu? Mau pamer, bahwa kini kekasihnya sudah menjadi suamimu? Begitu?" Ayah terlihat tak sampai hati
"Kau tidak bilang kalau kalian seakrab itu, Dwi." Dea manyun saat aku berkunjung ke rumahnya.Sepertinya dia benar-benar marah, sejak pagi itu, tak sekali pun dia datang untuk kembali mengunjungiku. Membalas pesanku pun hanya dengan kata 'iya' dan 'tidak' saja. Membuat aku harus turun gunung langsung untuk menemuinya.Biasanya semarah apa pun dia, tetap tak bisa berlama-lama mendiamkanku. Tapi sekarang, dia bahkan membuang muka meski saat ini aku duduk di atas ranjang di hadapannya."Lihatlah! Hanya karena seorang pria, kau lebih memilih memusuhiku seperti ini. Setidaknya dengarkan dulu penjelasanku." Aku memasang wajah iba.Dia melenguh, dengan hidung yang kemban-kempis menatapku sinis."Kau sudah tahu aku menyukainya. Tapi tetap tak bilang bagaimana perasaannya padamu. Kau membuatku malu, Dwi." Mata dia berkaca-kaca. Aku merasa bersalah dibuatnya."Kau jangan salah paham. Siapa pun yang terluka di hadapannya pasti akan dia perlakukan sama. Kita semua berteman, De.""Apanya yang sama
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Kau semakin lancang, Bim. Aku tak mau punya teman sepertimu!" Kubuang muka, tanda tak terima dengan sikapnya."Aku mendengar pembicaraanmu saat di toko buku. Kenapa tak menurut saja? Suamimu bahkan ingin menjauh dengan kembali menyekolahkanmu." Ucapannya kini tak lagi kasar. Terkesan seperti memohon pengertian.Aku menelan ludah. Lalu beralih kembali menatap wajahnya. Begitukah cara dia mengungkapkan perasaannya? Sama sekali tak ada bedanya denganku. Egois dan selalu menggunakan berbagai cara."Kau mengikuti kami?" Aku langsung menebak.Dia sama sekali tidak menyangkal. Malah memandangku dengan sorot mata yang... mungkin meminta pengertian."Sikapmu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa terpelajar, Bim. Kau seperti....""Ya! Aku terlihat seperti orang gila, kan?!" Menggeram dia menebak ucapanku yang terhenti. "Aku sama sepertimu. Jatuh cinta pada orang yang salah."Mata itu kini
Setelah menjalani proses yang memakan waktu cukup lama, akhirnya pengadilan memutuskan Kania bersalah. Dia dijatuhi hukuman dua tahun kurungan.Aku merasa lega, bukan hanya karena tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Namun juga karena sikapnya yang selama ini terus menerus meneror batinku. Membuatku merasa tak layak dicintai oleh suamiku sendiri. Juga membuat bang Haikal selalu merasa rendah diri dan takut mencintai wanita sepertiku, meski telah sah menjadi isterinya.Masih kuingat dengan jelas wajah terakhir gadis itu sebelum petugas membawanya. Tak ada penyesalan terlihat di sana. Seolah apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Di sidang-sidang sebelumnya pun dia selalu mengumpat jika sedang berpapasan denganku. Mengatakan kalau dia belum kalah, dan akan merebut kembali miliknya yang telah aku curi.Matanya jelas masih begitu berharap agar bisa bertemu lagi dengan suamiku. Memang selama sidang berlangsung, hanya sekali mantan kekasihnya itu
"Jangan pedulikan ucapan mereka, Bang." Aku mulai merayu saat mendatangi suamiku di kamarnya. Aku membantu melepaskan kemeja yang tadi dia pakai.Entahlah. Masih canggung rasanya bagi kami untuk bersatu dan menempati kamar yang sama. Hingga kami masih harus saling menghampiri jika ada yang ingin dibicarakan."Sudah kubilang aku tak apa-apa." Bang Haikal tersenyum sembari memakai kaos oblong tipis untuk tidur. Lalu seenaknya membuka kancing dan resleting celana panjang, lalu menurunkannya tanpa pemberitahuan."Ish, Abang!" Tubuhku refleks berbalik memunggunginya. Malu jika melihat sesuatu yang sebenarnya sudah pernah aku rasakan."Kau kenapa?" Dia berjalan dengan suara yang kian mendekat."Kenapa buka celana di hadapanku?" Aku merengek."Kau ini aneh. Seperti tidak pernah melihatnya saja." Bang Haikal berjalan mendekati pintu dan menggantung celana panjang tadi. Kini dia sudah terlihat memakai celana pendek di bawah lutut."Tapi
Bima tampak masih sangat tenang meski semua orang menatapnya. Ingin sekali rasanya aku mencekik lehernya karena telah membuat suamiku kembali memikirkan hal yang bukan-bukan tentang aku dan dia.Bang Haikal pasti berpikir kalau Bima masih menaruh perhatian dan mencari cara agar bisa mendekatkan diri denganku. Tanpa dia tahu, kini aku dan Bima terlibat selisih paham karena kekurang ajaran mahasiswa psikologi itu.Jika malam ini sampai terjadi masalah lagi di antara kami karena Bima, aku bersumpah akan melempar kaca jendelanya hingga pecah. Aku lelah dengan semua masalah yang seperti tidak ada habisnya."Wah, Bima baik sekali. Kau dengar itu, Dwi?" Ibu tampak lebih mengagumi pemuda itu dari sebelumnya. "Harusnya kau juga bersemangat seperti Bima. Bukannya kalian seumuran? Kau bisa mengejar ketertinggalan jika belajar bersama Bima."Aku mendesis pelan. Ibu seolah-olah masih menaruh harapan agar aku juga memiliki antusias seperti Bima. Menjadi anak perempuan
Aku rasa sikapku selama ini terlalu kasar menghadapinya. Dari caranya menatapku tadi, seperti ingin menyapa dan menanyakan kabarku. Namun hal itu urung dia lakukan, karena Kania langsung menarik tangannya, dan menyeretnya menjauh dari kami.Tak lama kulihat sebuah mobil Daihatsu Sigra berhenti menghampiri mereka. Lalu gadis yang masih menatapku dengan penuh kebencian itu menghilang bersama ibunya saat mobil itu melintasi dan meninggalkan tempat."Singgah ke rumah, ya, Dwi. Biar nanti Haikal suruh menjemputmu di rumah." Ibu merangkulku hendak menuju mobil.Aku melirik Bima sekilas."Iya, Bu. Bang Haikal pasti akan bergegas menjemput jika tahu aku tidak di rumah." Sengaja aku bicara berlebihan agar Bima tahu bahwa hubungan rumah tanggaku tak seperti yang dia pikirkan.Dia hanya menatapku tajam tanpa mengucap sepatah kata pun.*[Norak!] Sebuah pesan whatsapp masuk atas nama Bima.Mataku membesar saat membacanya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil milik ayah langsung membalasnya.[K
"Sudah mulai nakal kau rupanya, ya." Bang Haikal menyentil keningku dengan jemarinya. Membuat bibirku mengerucut dibuatnya."Makanya jangan menyuruhku yang bukan-bukan. Lebih baik aku mengurus sepuluh anak daripada memegang buku pelajaran," protesku.Dia tertawa kecil. "Kalau soal membantah, kau memang juaranya." Bang Haikal mengacak-acak rambutku.Aku tersenyum malu. Menganggap bahwa hal itu adalah suatu pujian, bukan lagi sebuah sindiran yang dia alamatkan untuk mengejekku seperti biasanya.*Siang ini aku menemani Dea ke toko buku. Tadi aku menghampirinya di kampus, lalu pergi bersama dengan Honda Brio merah-nya. Hal rutin yang sering kami lakukan saat bahan bacaan di rumah sudah habis.Dea terkikik geli saat aku menceritakan ide bang Haikal yang ingin kembali menyekolahkanku. Aku mencubit bahunya karena terus-terusan meledek, bahwa suamiku mungkin amnesia dan tak lagi mengenalku. Si bodoh yang ingin cepat-cepat lulus SMA agar bisa menikah dengan pria impiannya."Wanita yang baik
"Abang bicara apa? Kalau mau punya mainan, ya menikah saja. Abang bisa membuat anak sebanyak-banyaknya." Aku menggantikan suamiku menjawab permintaannya. "Aku masih kecil. Belum siap menjadi seorang ibu." Aku memasang wajah merengut.Ini kali kedua abangku meminta hal yang bukan-bukan pada kami. Hanya karena aku sudah jarang mengganggunya, dia jadi meminta penggantiku sebagai tumbal keisengannya.Bang Haikal mengamati wajahku, kemudian menunduk. Masih mengusap-usap dadanya yang mungkin masih merasa sakit akibat tersedak tadi.*Aku dan bang Haikal kembali melintasi malam dengan motor matic kesayangannya. Masih dengan pelukanku yang mesra melingkari pinggangnya. Kami tak ubahnya seperti pasangan remaja yang sedang dimabuk cinta. Dia juga tak lagi canggung saat menunjukkan perhatiannya padaku di depan keluarga kami. Baik di hadapan orang tuaku, terlebih lagi pada ayah dan ibunya. Tak seperti saat awal-awal pernikahan dulu. Selalu saja kaku, bahkan hanya untuk merangkul bahuku."Dwi?" B
Di pagi hari aku kembali menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk suamiku. Bang Haikal keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi, lengkap dengan rambutnya yang masih basah dan juga wangi.Aroma shampo menyeruak menerobos indera penciuman. Membuatku merasa nyaman seperti menghirup aroma terapi.Dia duduk di kursi makan. Memerhatikan aku yang meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Wajahmu memerah. Apa kau demam?" tegur pria dengan kemeja lengan panjang itu.Sontak aku memegang kedua pipiku. Lalu melotot ke arahnya. Tahu Kalau dia sedang meledekku. Padahal wajahnya sendiri tak berbeda jauh dari apa yang dia katakan tentang aku. Merah dan juga merona di bagian pipinya.Dia tertawa kecil. Lalu menarikku agar berdiri merapat ke tubuhnya. Wajahnya yang kini hanya setinggi perutku dia dongakkan untuk menatapku. Memandang dengan tatapan penuh cinta. Membuatku semakin terpesona dibuatnya."Terima kasih." Setengah berbisik dia ucapkan kata itu. Aku mengulum senyum. Mengingat sikap manisnya m
"Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi, kan?" Dia tak lagi terlihat santai. "Lalu sekarang kau mau apa? Kau ingin aku mengakui semuanya dan bertanggung jawab atas pelecehan yang aku lakukan padamu? Aku akan bertanggung jawab. Akan kukatakan semuanya pada suamimu.""Hentikan, Bima! Kau lepas kendali. Aku sudah bersuami dan kau tidak pantas mengatakan semua itu padaku.""Kau sendiri yang memaksaku mengaku. Aku bisa menyelamatkanmu dari pernikahan palsu itu. Sadarlah. Hubungan kalian tidak akan pernah berhasil.""Kau benar-benar kelewatan. Aku membencimu. Aku tak mau lagi bicara padamu!" Aku berlari masuk dan membanting pintu dengan keras. Duduk bersimpuh di balik pintu dengan meremas kerah bajuku sendiri.*Aku baru saja selesai mandi. Terkejut saat melihat bang Haikal sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan kamar mandi. Sontak aku menutup tubuh bagian atas yang hanya berbalut handuk sampai sebatas dada."Kenapa ditutup? Aku sudah pernah melihat semuanya." B