Dalam toilet pria Timur Tengah mengakui telah menggauli Dinda sebelumnya. Bukannya marah, wanita ini justru bahagia. Jerat mantra sihir sosok jin telah berhasil membius Dinda.
Kini pria yang sama telah kembali ke bentuk semula, bertinggi menjulang setinggi rumah kosong. Ia mengamati pasutri yang sedang berboncengan melintas di depannya. Tanpa menampakkan diri pada Dinda. Ia tak mau terlihat aneh di mata kekasih hatinya. Ia harus terlihat sempurna sebagai manusia di mata Dinda.“Tetap bersamaku, Sayang,” ucapnya terkirim lewat angin berembus sepoi-sepoi menghampiri pendengaran Dinda.Iya, Sayang, balas Dinda dalam hati tersampaikan lembut menggoda di telinga sosok empat meter. Senyum pun menghias di kedua pipi sosok berjambang lebat.“Sayang, kayaknya benar ucapan kamu. Mas harus segera ajukan penempatan baru. Kasian kamu dan juga tubuhku jadi loyo.”“Apa aku bilang, Mas,” sahut Dinda sembari memeluk sang suami.Gito sangat menikmati pelukan sang istri, tapi Dinda sudah tak bisa sepenuh hati lagi. Separuh hatinya telah diberikan kepada sosok Timur Tengah. Cintanya masih untuk Gito dan kini sudah terbagi tanpa sang suami mengetahuinya.“Mas, kalo aku hamil, gak papa?”“Istriku Sayang, aneh-aneh aja, kamu. Mas pengen banget segera punya anak. Makanya kita mau berobat tadi dan besok Mas libur, kita ke dokter untuk periksa,” ucap Gito sembari merapatkan pelukan Dinda dengan sebelah tangan.“Terima kasih, Mas,” balas Dinda sembari meneteskan air mata.Mas Gito begitu baik, ia sangat tulus mencintaiku. Kenapa aku tega berkhianat?Kalo aku hamil olehnya, lalu gimana nasib anak kami?Ia bukan manusia, sadar Dinda!Hati nurani Dinda bergejolak. Wanita bertubuh sintal ini meneteskan air mata. Ia menyadari atas kebodohannya. Ia bertekad akan menghindari sosok tampan itu. Dinda sadar betul, sosok tersebut adalah makhluk tak kasat mata. Meski nafsunya terpuaskan oleh sosok itu, tapi batinnya tidak. Cinta kasih Gito sebagai sosok suami tak bisa disamakan dengan sosok yang baru ia tahu.“Astaghfirullah hal adzim!”Dinda beristighfar sambil memejamkan mata. Air mata menetes tiada henti membasahi punggung Gito. Sang suami yang merasakan basah di baju bagian belakang, segera menghentikan motor di pinggir jalan. Pria berbadan tegap dan berambut cepak ini segera berpaling ke belakang.“Sayang, kenapa menangis? Barusan terlihat bahagia mau masak istimewa. Ada apa? Kita turun dulu, ya.”Gito mengusap buliran bening di kedua mata dan pipi sang istri. Kemudian ia mengajak Dinda turun dari motor dan melangkah ke sebuah lapak kosong. Di sebuah bangku panjang, mereka duduk berdampingan. Gito menatap ke wajah sang istri.“Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut kepada Dinda.“Mas, jangan marah, ya.”“Insyaallah, Mas gak akan marah. Asal kamu mau jujur kepada Mas.”“Semalam aku berhubungan intim dengan Mas. Tapi pagi tadi Mas bilang tak bawa kunci. Padahal Mas semalam itu masuk seperti biasa, pake kunci. Maafkan aku, Mas. Aku gak bisa bedain.”Setelah berucap, Dinda terisak-isak makin keras.“Astaghfirullah hal adzim 3x. Kita harus segera ke Pak Kyai, Sayang. Kamu harus dirukiah. Alhamdulillah kamu mau cerita. Kita cari jalan keluar bersama.”“Mas gak marah? Aku telah ternoda. Maafin aku, Mas!”“Insyaallah Mas gak marah. Kamu gak tau. Nanti salat mohon ampun pada Allah.”“Makasih, Mas.”Gito mengangguk lalu memeluk tubuh istrinya erat. Apa yang ia khawatirkan, terjadi juga pada istrinya. Gito menyadari itu juga karena kelalaiannya juga. Ia meninggalkan istrinya seorang diri saat bekerja sif malam.“Mas juga minta maaf Sayang. Harusnya minta tolong sodara buat temani kamu.”Gito membelai rambut sang istri dengan lembut. Tak terasa air mata Gito ikut menetes. Ada rasa marah pada sosok yang telah berani menyerupai dirinya demi menggauli Dinda. Namun, ia segera beristighfar. Mohon ampun kepada Allah dan mencoba mengikhlaskan karena Allah.“Habis belanja kita langsung ke Pak Kyai. Biar gak diganggu lagi.”“Iya, Mas.”“Tetap periksa ke dokter juga. Biar diketahui pasti, sakitmu karena apa. Ayo, Mas udah janjian dengan penjual jamu,” kata Gito sembari mengecup kening Dinda.Gito membantu Dinda berdiri lalu menggandeng tangannya. Mereka berjalan menuju tempat motor terparkir. Gito naik motor terlebih dahulu lalu diikuti oleh Dinda. Wanita muda ini memeluk sang suami erat. Ia merasa bersyukur diberi jodoh seorang suami yang sabar dan sangat menyayanginya.Hanya beberapa menit saja, mereka telah sampai di pasar. Motor oleh Gito diarahkan ke depan sebuah kios jamu. Ia memarkir motor tepat di depan kios. Dinda turun dari motor terlebih dulu, disusul olah sang suami.“Kamu harus minum jamu juga. Biar tambah segar.”“Iya, Mas.”Mereka melangkah masuk kios lalu memesan dua gelas jamu. Pasutri ini mencari tempat duduk di dekat jendela. Tak beberapa lama, pesanan jamu telah diantarkan ke meja mereka.“Ini jamu pasak bumi campur sehat lelaki buat Masnya,”ucap sang penjual sambil menaruh gelas jamu dan minuman penawar beserta dua butir permen di depan Gito.“Terima kasih, Bu,” ucap Gito sambil mencicipi dan bergidik sebentar setelah merasakan jamu.“Ini jamu bersih darah dan sehat wanita untuk Mbaknya.”Penjual meletakkan segelas jamu dan penawar serta dua butir permen, tapi ada yang berbeda, ada sebutir kapsul terbungkus plastik ditaruh di tatakan cangkir penawar.“Makasih, Bu.”“Sama-sama. Silakan diminum.”Penjual ini pun berlalu meninggalkan mereka. Dinda meminum jamunya sambil memencet hidung lalu meminum penawar. Setelah itu, ia menelan kapsul dibantu penawar sampai tandas.“Itu kapsul apa, Sayang?” tanya Gito penuh keheranan.“Kapsul bersih darah nifas,” ucap Dinda takut-takut.“Buat apa? Kok tau ada kapsul gituan? Gak usah macam-macam. Bahaya buat rahim.”“Aku tau ini dari Kakak waktu lahiran. Katanya buat bersihin nifas biar tak ada gumpalan darah di rahim.”“Kamu kan gak melahirkan? Gak usah aneh-aneh!”Gito pun segera memegang tangan Dinda lalu mengusap pelan-pelan.“Mas tau. Kamu takut hamil, kan?”Dinda seketika mengangguk lalu berurai air mata. Wanita ini terisak-isak dengan kepala tertunduk.“Aku gak mau, ada janin yang aneh dalam perut,” ucapnya terbata-bata. Penyesalan yang dirasakan Dinda teramat dalam. Tangisannya makin menjadi dan Gito segera bangkit dari kursi lalu memeluk sang istri.“Udah, malu di tempat umum nangis gini. Kita buruan pergi dari sini. Nanti Mas cerita sesuatu.”Dinda mengangguk lalu mengusap air mata yang tergenang di kedua mata dengan tisu. Penjual jamu memandangi mereka dengan penasaran. Saat pasutri muda ini menghampiri untuk membayar pesanan jamu, ibu setengah baya ini segera bertanya, “Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB.”Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.“Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid.”“Lah, kenapa minum kapsul nifas?”“Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu,” ucap Gito sambil memeluk sang istri menuju menghampiri motor.Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?•••¤•°•¤•••“Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB.”Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.“Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid.”“Lah, kenapa minum kapsul nifas?”“Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu,” ucap Gito sambil memeluk sang istri segera menghampiri motor.Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?▪▪¤•°¤▪▪Dalam pasarDinda sengaja sendirian masuk pasar. Padahal tadi Gito ingin menemani istrinya berbelanja. Namun, tak diperbolehkan oleh sang istri karena Dinda tahu betul, Gito tak sabaran di dalam pasar. Bisa dipastikan, ia akan menyuruh sang istri membeli tanpa proses tawar menawar dan buru-buru mengajak keluar dari pasar.Bisa dipastikan akan berakhir dengan penyesalan karena tak teliti pad
"Iya, Bu. Kami pamit pulang dulu. Terima kasih atas bantuannya semua,”ucap Gito sambil membantu Dinda berdiri. Mereka menyalami ibu pedagang ayam dan yang lain lalu beranjak keluar pasar.“Dinda Sayang, kamu tak boleh lepas dariku.”Terdengar suara bisikan di telinga Dinda. Aroma kasturi menguar di sekeliling pasutri tersebut.Hmm, bau yang sama, batin Gito sambil membaca doa.Pria ini menggandeng sang istri dengan langkah terburu-buru ke tempat parkir. Saat mereka telah di atas motor dan akan keluar dari tempat parkir, mendadak didatangin anak kecil.Ia berpakaian kumal dengan badan kurus kering membawa dua buah polybag berisi tanaman berdaun bulat. Anak berusia sekitar dua belas tahun ini tersenyum ke arah mereka.“Assalammu'alaikum!”“Wa'alaikumussalam, Dek.”“Tolong dibeli seikhlasnya. Insyaallah untuk pengusir jin. Sari daunnya dibuat mandi dan diminum setelah dibacakan surat rukiah.”“Pohon kelor, ya?” tanya Dinda sambil memetik salah satu daunnya.“Bukan, Mbak. Ini pohon Bidar
“Kamu pakai baju yang ada di dalam peti.”"Baju dalam peti mas?"“Ya, Sayang. Semua yang terindah hanya untuk wanita tercantikku.”Dinda segera membuka peti itu dan matanya akan melompat keluar, begitu tahu isi di dalamnya.“Ini punyaku semua? Benarkah?”“Iya, Sayangku. Pakailah!”Sosok tampan ini tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih. Akhirnya, sang pujaan hati bisa dibawa ke dunianya. Tak sia-sia, perjuangannya selama beberapa hari membius rasa sang pujaan.Mata Dinda berbinar-binar melihat dalam peti terdapat aneka gaun indah berhias untaian permata, berbagai model perhiasan emas bertakhta intan berlian, sandal flip-flop, The Aribian shore dan juga tiara bertakhta berlian. Dinda mendongak ke arah jin Timur Tengah yang sedang berdiri tak jauh dari pembaringan.“Aku panggil kamu apa?”“Namaku Mustafa Kemal. Panggil saja Mustafa,” ucap jin itu sembari menghampiri dan duduk menghadap Dinda yang masih berselimut.“Mustafa?” “Ya, Jamila!”“Namaku Dinda, bukan Jamila.”“Jamila itu
"Aku akan menemuimu setiap saat. Kau pun bisa memanggil namaku setiap kau ingin. Tak perlu berkata apa pun tentang kepergianmu. Biar dayang yang menjelaskan semua.”Setelah berkata Mustafa pun menghilang. Dayang mengambil peti lalu melipatnya jadi kecil dan disimpan dalam genggaman Dinda.“Silakan dibuka saat Tuan Putri sampai rumah. Tanpa manusia lain tahu.”Dinda tersenyum lalu mengangguk. Dayang ini kemudian memeluk tubuh Dinda dan seketika menghilang.▪▪¤•°•¤▪▪Gito bangun tidur mencari sang istri. Ia mencari ke seluruh ruangan tak ada, bahkan telah mencari ke sekeliling rumah. Pria berambut cepak ini pun telah bertanya ke tetangga sekitar, tak ada yang tahu tentang keberadaan Dinda.Dinda belum juga pulang sampai larut malam, akhirnya Gito menelepon teman-teman akrab sang istri. Mereka tak ada yang mengetahui keberadaan Dinda. Semalaman, Gito terjaga, menunggu kedatangan sang istri. Sempat tertidur sebentar dan terbangun saat azan Subuh berkumandang.“Ya Allah! Aku mohon lindungi
“Kau tak bisa membuatku terus menerus cemburu seperti ini. Akan kupastikan kau hidup di duniaku selamanya,” bisik lirih Mustafa di telinga Dinda.“Jangaaan!” teriak Dinda tanpa sadar.“Ada apa, Sayang?” tanya Gito yang kaget mendengar teriakan sang istri barusan. “Eng-gak ... maksudku. Tami, jangan bosan ke sini, ya,”ucap Dinda berusaha berkelit yang membuahkan hasil satu kecupan pipi oleh Mustafa.Dasar usil, kata Dinda dalam hati yang sukses meledakkan tawa Mustafa, tapi tak mampu didengar oleh Gito.“Bulu kuduk Mas jadi makin berdiri gini, ya,” celetuk Gito sambil meraba tengkuk dan kedua lengan.Dinda pura-pura tak mendengar omongan suaminya. Ia memperhatikan Tami yang menghidupkan motor.“Assalammu'alaikum,” ucap Tami berpamitan sambil menghadap ke arah tuan rumah.“Walaikummusalam,” balas kedua tuan rumah bebarengan. Tami melambaikan tangan lalu memutar motor ke arah jalan dan menghilang, berbaur dengan pengendara lain. Tak berapa lama Mustafa ikut lenyap, tapi aroma kasturi m
“Segini banyaknya dan gede-gede, masih seger lagi. Baunya laut banget. Serius ini dari Tami?” tanya Dinda sambil tegak lalu menghadap pria berbaju basah dan bersorot mata tajam.Wanita bertubuh indah ini menatap ke sorot mata yang beberapa hari telah familiar baginya. Ia tersenyum, seakan-akan minta jawab secara tak langsung, apakah benar yang dirasakan.“Terima kasih banyak, ya, Pak. Banyak banget ini. Tolong bilang ke Tami, makin sayang aku ke dia. Soulmate banget, deh.”Gito yang mendengar perkataan sang istri langsung menoleh.“Sayang, gak boleh berlebihan gitu. Doain segala kebaikan untuknya.”“Ya, Mas, Maaf. Maklum, masih suka terbawa jaman masih single.”Gito tersenyum mendengar omongan istri imutnya ini. Ia menyadari sang istri kadang masih terbawa sifat kanak-kanaknya. Dari awal mereka menjalin hubungan kasih selama setahun sebelum akhirnya menikah, Dinda memang terkesan manja. Apalagi perbedaan umur yang lumayan jauh di antara mereka, yaitu sepuluh tahun. Berasa layaknya pa
Angin dingin beraroma kasturi menguar menyengat memenuhi ruangan. Aroma menyengat kasturi semakin tajam menusuk rongga hidung pasutri ini hingga menyesakkan dada keduanya. Tiba-tiba asap putih terhampar menutupi pandangan Gito maupun Dinda.“Audzubillah Himinas Syaiton Nurokim. La Haula Wala Quwwata Illa Billah.”Suara Gito bergema seantero ruangan hingga mampu membuat asap yang mengepul lalu menipis pelan-pelan. Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman sangat keras layaknya dinding ambrol dan membuat lubang di lantai. Namun, saat pandangan pasutri tersebut semakin jelas, tak tampak kerusakan apa pun dalam ruangan. “Suara apaan tadi?” Gito gegas melangkah ke dua kamar tidur yang bersebelahan lalu menuju dapur, tak ada apa pun. Pria berambut cepak ini pergi ke ruang tamu melihat keluar dari kaca jendela depan, hasilnya pun nihil.Mustafa? Kamu terluka? tanya Dinda dalam hati yang berharap sang pujaan hati sudi menjawab. Gito kembali dengan menggeleng lalu memandangi sang istri ya
"Mas berhenti sebentar,” ucap Dinda seraya menepuk bahu Gito.“Kenapa, Sayang?” Gito segera menghentikan motor lalu menoleh ke arah istrinya. Sedangkan Dinda sudah tak mampu menjawab pertanyaan sang suami, begitu turun dari motor langsung berlari ke arah saluran air di pinggir jalan.Wanita bertubuh sintal ini langsung jongkok di pinggir saluran air dan menunduk untuk memuntahkan semua isi dalam perut. Meski sudah tak ada yang bisa dikeluarkan kembali, mulutnya masih ingin muntah.Dinda meremas perutnya yang berasa melilit dan perih. Dari kedua kelopak matanya keluar buliran bening. Tampak jelas yang dirasakan kini, membuat Dinda tersiksa.“Sayang, kita langsung ke dokter aja, ya?” tanya Gito lembut sambil mengurut tengkuk istrinya.“Ikan untuk Ibu?”Dinda menoleh lalu bangkit dibantu suaminya. Ia sesekali mengusap bibir dan sekitar pipi dengan tisu.“Setelah berobat ke rumah Ibu. Sekarang beli rujak langsung periksa,” ucap Gito sambil merangkul istrinya untuk kembali ke motor.Setela
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu