Ustaz Hamdan yang melihat tersenyum senang. Hadiah pemberiannya, berguna juga di saat seperti ini. Wanita setengahbaya yang berada di antara mereka ikut tersenyum bahagia melihat keduanya.Namun, tiba-tiba kebahagiaan mereka dirusak oleh embusan angin kencang beraroma kasturi bercampur bau bangkai memporak-porandakan isi dalam kamar. Dinda menjerit dan seketika wanita separuh baya tersebut segera mendekapnya erat.“Waqur rabbi a'ụżu bika min hamazātisy-syayāṭīn.” [SuratAl-Mu'minun: 97-98].Ustaz Hamdan melanjutkan doanya dengan berzikir. Ia sangat geram dengan ulah jin satu ini. Meski telah dihancurkan wujudnya, tapi masih mampu bertahan.Padahal kekuatannya pun sudah tak bisa dipergunakan lagi. Namun, dengan adanya angin yang berembus barusan, bisa jadi iatak akan datang lagi untuk waktu yang lama.“Nekat kamu. Tersisa kekuatan harusnya buat beribadah pada Allah, dibuang percuma. Kembali ke alammu!” seru sang ustaz sembari meniup kembali pada satu titik, yaitu tepat di dekat pintu.U
"Bener kata Mbah Dinda. Baju dan aksesoris yangdipake berlebihan. Cantik mirip artis, tapi salah tempat. Saya gak kenal. Tetangga dan sodara Mbak Dinda mungkin.”“Gak ada yang kayak gitu, Bu.”“Menurut saya, tak pantas berpakaian ala artis Bollywood di tempat orang berduka. Terlalu menor.”“Boleh gak, saya telepon Ustaz?”Wanita setengah baya tersebut tersenyum lalu dengan kedua telapak tangan terbuka memberi isyarat kepada Dinda.“Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap salam seseorang di depan pintu ruang tamu.“Pucuk dicinta ulam pun tiba,” sahut wanita setengah baya tersebut sembari tersenyum kepada Dinda.“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas salam kedua wanita ini bersamaan.“Silakan masuk, Ustaz,” ucap wanita setengah baya ini membuka tirai ruang tengah.Selama tembok kamar masih basah, ruang tengah dialihfungsikan sebagai tempat menyimpan makanan. Sedangkan, ruang makan dibuat tempat tidur Dinda. Ada kamar satu lagi, akan tetapi Dinda tak ingin me
Tampak sang ustaz agak kewalahan mengatasi sesuatu tersebut. Namun, beberapa saat kemudian kedua tangan pria muda tersebut memegang dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan layaknya menangkap seekor burung.Ustaz berlari ke arah dapur diiringi tatapan keheranan semua yang melihatnya.“Keluar dari tubuh ibu itu! Atau kau ingin liat kematian yang lebih mengerikan?”Sang ustaz berteriak lantang ke arah ibu yang kesurupan. Mata wanita yang sedang mengejang ini mengarah pria muda ini dan ia tertawa terbahak-bahak.“Tukang bual! Kau hanya pandai menakut-nakuti bangsa kami,” ucap wanita kesurupan tersebut.“Jadi ingin bukti? Baik!” teriak Ustaz Hamdan yang semakin tak sabaran.Pria muda ini membawa ‘sesuatu' yang tertangkup menuju meja lalu jongkok di bawahnya untuk memasukkannya ke dalam sebuah botol di krat minuman.Kemudian, Ustaz Hamdan menutupnya dengan tutup botol dan menyegel dengan doa.Tempat minuman beling ini lalu dibawa ke tunggu dalamdapur yang kayu-kayunya sedang membara.
“Mustafa! Sudah waktunya tobat,”ucap pria setengah baya ini dengan suara berwibawa.“Ampun, Pak Tua. Aku tak akan ganggu kalian. Tolong lepaskan kami! Kasian sodaraku ini. Kami harus segera balik ke dunia kami.”Ustaz Hamdan memberi isyarat dengan kedua tangan terbuka ke arah abahnya. Pak Kiai pun mengangguk lalu tersenyum.“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Pak Kiai dan Ustaz Hamdan bersamaan.Pria bersorban tersebut membuka tutup botol lalu meniupkan sebuah doa ke dalamnya.“Mustafa, ajak sodaramu pulang. Jangan ganggu kami lagi!”Setelah Pak Kiai berkata, seketika botol bergetar hebat. Terasa ada hawa dingin keluar dari mulut botol lalu berubah menjadi semilir angin yang berputar mengitari seisi ruangan. Tak seperti biasa, angin yang berembus beraroma kasturi sangat lemah.“Terima kasih, Pak Tua. Dan juga Ustaz baik. Kami pulang,” ucap Mustafa tanpa wujud.Sesaat kemudian, angin semilir pun lenyap. Pak Kiai dan Ustaz Hamdan bersamaan mengusap wajah dan tampak jelas ekspresi lega dari
“Tahu dan tempe asli ini, Mbak Dinda. Ke mana Bu Teti sebenarnya?”Tiba-tiba telinga Dinda mendengar suara sayup-sayup meminta tolong. Sesaat kemudian tak terdengar lagi. Wanita muda ini jadi panik karenanya.“Ya Allah! Ibu kemana?” tanya Dinda sembari menunduk tanpa terasa buliran bening menetes dari kedua pelupuk mata.“Berdoa demi keselamatan beliau, Mbak. Semoga segera pulang. Banyak istighfar, biar hati bisa lebih tenang,” nasihat Ustaz Hamdan yang hanya mampu melihat wanita.tercintanya dari kejauhan.Dinda maupun Ustaz Hamdan yang kebetulan sedang menghadap ke jalan seketika terkejut melihat kedatangan Bu Teti dengan diantar warga lain desa. Dinda segera bangkit dan berlari menghampiri Bu Teti dengan diikuti Ustaz Hamdan.“Assalamualaikum,” ucap salam dari salah satu warga yang mengantar.“W*'alaikumussalam.W*rahmatullahi W*barakatuh, “jawab salam dari Ustaz Hamdan diikuti oleh Dinda.Wanita muda ini segera memeluk Bu Teti dengan mata berkaca-kaca.“Alhamdulillah! Ibu dari mana?
“Tak perlu dijawab sekarang. Saya memahami rasa kehilangan yang dialami Mbak Dinda. Setiap saat, jika memerlukan bantuan saya, bisa langsung WA.”“Terima kasih sebelumnya, Ustaz.”Tanpa disangka-sangka, tiga gelas yang ada di meja dekat Ustaz Hamdan terlempar ke lantai dan pecah berkeping-keping.“Astaghfirullah haladzim!” seru keduanya spontan secara bersamaan.“Rupanya ada yang cemburu, Mbak Dinda,” ucap Ustaz Hamdan sembari memidai sekeliling.Dinda tersenyum dan mengerti maksud ucapan sang ustaz. Wanita muda ini bergegas masuk rumah lalu datang kembali dengan membawa sapu dan pengki. Saat ia sampai teras, Ustaz Hamdan sudah mengumpulkan pecahan gelas dan dua gelas yang masih utuh diletakkan di meja.“Biar saya yangbuang ke tempat sampah. Alhamdulillah yang dua masih utuh,” ucap ustaz berhidung bangir ini sembari mengambil alih barang yang dibawa Dinda.Wanita muda ini segera mengambil dua gelas dari meja.“Makasih, Ustaz. Sayabalikin gelas ke dapur dulu.”“Silakan.”Sepasang mata
"Saya ketemu seorang ibu yang sedang mencari alamat.”“Nah itu. Mustafa berubah wujud jadi ibu tadi lalu membuat pikiran Bu Teti kacau. Dan belanjaan dibawa pulang dengan berubah wujud seperti saya,” jelas sang ustaz kembali.“Astaghfirullah! Berarti jin itu telah sampe sini, saat saya tersesat?” tanya Bu Teti dengan rasa kaget.Pertanyaan wanita ini dijawab anggukan oleh sang ustaz dan juga Dinda.“Gak ada kapoknya,” ucap Bu Teti kemudian. “Tenang, Bu. Selama taat beribadah dan selalu ingat pada Allah, bangsa jin tak bisa ganggu kita.”Ustaz Hamdan bangkit lalu mengambil botol dan dimasukkan ke dalam saku celana. Pria muda ini berpamitan kepada kedua wanita ini. Bu Teti memergoki beberapa kali sang ustaz mencuri pandang ke Dinda, dalam hati ikut senang jika mereka berjodoh.Kedua wanita mengantar sampai ke teras. Ustaz Hamdan melangkah menuju motor yang berada di luar pagar dengan berat hati. Ada sesuatu yang ingin ia katakan kepada Bu Teti, tetapi ia lupa.“Kita duduk di ruang tamu
“Nduk, baca doa. Mohon pertolongan pada Allah,” ucap Bu Teti saat melihat Dinda berlinangan airmata.“Kenapa gak ada selesainya musibah ini, Bu? Aku harus bagaimana lagi?”Dinda menunduk sembari mengusap genangan air mata yang seakan-akan tak mau menyusut.“Sudah, Nduk! Insyaallah masih ada jalan. Gak boleh putus asa.”Setiba di klinik, ibu dan anak bergegas menuju loket pendaftaran lalu ikut antre. Dinda dan Bu Teti duduk menunggu di bangku panjang dengan beberapa pasien lain. Seorang wanita tua menghampiri Dinda lalu duduk di bangku kosong sebelah.Wanita tersebut menatap lekat ke perut Dinda, hingga membuat risih sang wanita muda.“Bu, boleh tukar tempat duduk?”“Ada apa, Nduk?”Dinda tak menjawab, tetapi telunjuknya mengarah ke wanita tua. Bu Teti segera bergeser untukbertukar tempat. Beberapa menit kemudian, nama Dinda dipanggil petugas. Ia dan sang ibu bangkit lalu melangkah ke ruang dokter kandungan.Sampai di dalam, Dinda diminta ke toilet untuk mengambil simple urine. Ia dipe
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu