Zahra membuka matanya perlahan saat dia merasa sudah tidak ada lagi guncangan. Saat kedua matanya terbuka sempurna, dia bisa melihat sebuah pemandangan yang sangat indah dari balik jendela yang ada di sampingnya. Sebuah langit yang dipenuhi dengan awan putih bak kapas yang lembut.Kedua mata Zahra membulat sempurna merasa takjub menatap kumpulan awan itu. Untuk pertama kalinya dia merasakan berada di atas awan. Gadis itu memiringkan tubuhnya ke arah jendela agar dia bisa menikmatinya dengan lebih jelas."Tuan. Ini benar-benar indah. Apa anda tahu? Saya baru pertama kali mengalami berada di atas awan seperti ini. Ternyata naik pesawat itu rasanya seperti ini ya Tuan?" tanya Zahra tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela tersebut."Sejak dari dulu saya selalu bermimpi bisa naik pesawat terbang," ucapnya lagi. Tiba-tiba gadis itu sedikit murung saat dirinya teringat akan sesuatu."Dulu, Kak Satria pernah berjanji jika kami menikah, dia akan mengajakku naik pesawat. Hmm…" Zahra menghe
Malam itu Zahra duduk di sofa sambil menonton televisi. Sesekali matanya melihat sang suami yang masih asik dengan layar laptopnya. Terkadang dia juga kesal, bukankah ini adalah momen liburan untuk mereka? Lalu kenapa juga laki-laki itu masih disibukkan dengan pekerjaannya?Beberapa kali Zahra memindahkan channel. Menurutnya tak ada satupun acara yang menarik. Gadis itu membuang nafas kasar saat perutnya mulai terasa lapar. Dia melihat ke arah jam di dalam kamarnya yang sudah menunjukkan waktunya makan malam."Apa dia tidak lapar? Biasanya kalau di mansion, jam segini udah siap aja di meja makan," gerutu Zahra dalam hati. Karena kesal, gadis itu pun akhirnya mematikan televisinya. "Kalau aku minta makan, dia marah gak ya?" pikir gadis itu lagi. Kali ini dengan menatap Tama intens."Ada apa?" ucap laki-laki itu tiba-tiba tanpa menoleh ke arah Zahra sedikitpun. Gadis itu kaget lalu tersenyum. Sesaat kemudian dia berdiri dan perlahan berjalan mendekati sang suami. Ada rasa ragu saat d
Selama perjalanan pulang dari restoran menuju hotel tempat mereka menginap, harus mereka lewati dalam diam. Beberapa kali Zahra melirik ke arah sang suami yang berada di balik kemudi mobil. Tatapan matanya memang fokus menatap ke arah depan akan tetapi Zahra tahu jika laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas dari kening sang suami yang sesekali mengkerut.Sebenarnya hati kecil gadis itu ingin sekali bertanya ada apa akan tetapi tingkat keberanian yang dimiliki oleh Zahra belum sampai pada level itu. Dia belum berani untuk ikut campur terlalu dalam, kecuali Tama sendiri yang berbicara kepadanya dan meminta pendapatnya.Selang beberapa menit kemudian, mobil mereka pun telah sampai di hotel. Tama dan juga Zahra berjalan berdua menyusuri lobi hotel menuju ke arah lift agar mereka bisa sampai di kamar. Keduanya masih tetap diam."Oh ya Tuhan, kenapa suamiku sangat dingin seperti es balok?" gerutu Zahra dalam hati.Sesampainya di kamar hotel, tanpa b
Zahra masih terdiam memandang sang suami dengan aneh. Menyadari dengan apa yang sudah dia ucapkan dan dia lakukan, Tama pun seketika menurunkan emosinya. "Ma… maksudku… maksudku kamu itu adalah menantu dari keluarga Kalingga. Keluarga ternama dan juga pengusaha sukses. Jadi tidak boleh ada seorangpun yang menjelekkanmu. Apa kamu paham?" ucap Tama masih dengan nada tinggi. Zahra mengangguk tapi sambil tersenyum. Dia menatap wajah Tama dengan tatapan yang menggoda. Dan hal itu berhasil membuat Tama menjadi salah tingkah."Kenapa melihatku seperti itu?" tanya laki-laki itu lagi."Tidak," jawab Zahra singkat, masih dengan bibir yang tersenyum."Kamu sudah gila!" umpat Tama. Laki-laki itu pun akhirnya melangkah pergi meninggalkan Zahra. Dia berjalan keluar menuju ke arah mobil."Hey Tuan, kenapa pergi? Kita belum melihat matahari terbenam," teriak Zahra."Aaaahhh," kesal gadis itu. Dia menghentak-hentakan kakinya lalu pergi mengikuti kemana sang suami pergi.*** Malam hari yang begitu t
Tama dan juga Zahra sedang duduk di dua kursi yang berhadapan. Posisi mereka hanya terhalang sebuah meja yang berisi dua buah makanan dan dua buah minuman. Pagi ini pasangan suami istri itu lebih memilih untuk melaksanakan sarapan di restoran hotel saja. Hari ini entah mengapa tapi Zahra merasa tidak bersemangat sekali. Tama tidak mempermasalahkan hal itu. Belakangan ini dia memang sedikit acuh pada Zahra. Dia sedang tidak ingin berdebat ataupun berkelahi dengan gadis itu. "Kamu kembalilah ke kamar. Aku harus pergi ke suatu tempat," ucap Tama setelah mereka selesai sarapan. Zahra menatap sang suami."Tuan mau kemana?" tanya gadis itu."Bukan urusanmu!" jawab Tama tegas seperti biasa.Awalnya Zahra merasa senang karena jika Tama pergi maka dirinya memiliki kesempatan untuk kembali bersantai dan tidur-tiduran di kamar. Akan tetapi dia ingat dengan pesan sang Ibu mertua yang mengatakan kepadanya untuk terus bersama dengan Tama. Dia harus menempel pada laki-laki itu kemanapun Tama akan
"Tama, aku sangat merindukanmu."Sebuah ucapan yang sungguh sangat mengejutkan baik bagi Tama maupun Zahra. Apalagi laki-laki itu juga merasakan kehangatan yang sejak dulu dia sangat rindukan dari dekapan Sonia. Zahra menoleh ke arah samping. Kedua matanya membulat sempurna saat dia melihat ada wanita lain yang sedang memeluk suaminya dari belakang. Gadis itu beralih menatap Tama yang hanya berdiri diam mematung. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam pikiran Zahra, Kenapa Tama hanya diam saja? Apakah laki-laki itu menyukainya? Apakah suaminya itu memang masih memiliki rasa cinta untuk mantan kekasihnya itu?Tama menutup matanya sejenak. Membuang nafas berat seolah mengumpulkan semua tenaganya. Baru kali ini Zahra melihat laki-laki itu tak tegas akan suatu hal. Dan sejujurnya ada sedikit rasa kecewa di hati Zahra melihat sang suami bersikap seperti itu. Setelah kedua matanya kembali terbuka, Tama menggerakkan tangannya lalu memegang kedua tangan lembut Sonia yang saat itu melingkar
Beberapa tahun yang lalu."Wah, ini indah banget, Tama," ucap Sonia. Mata gadis itu berbinar dengan bibir yang tersenyum sangat lebar. Bagaimana tidak, sebuah cincin berkilauan permata dengan harga yang fantastis ada di depannya dan sebentar lagi akan menjadi miliknya. Sore itu Tama sengaja mengajak Sonia berjalan-jalan. Mereka berkeliling kota hanya untuk menikmati kebersamaan keduanya. Setelah lelah berkeliling, Tama pun mengajak sang kekasih pergi ke sebuah restoran outdoor dengan pemandangan puncak gunung yang sangat indah. Tempat itu sudah disewa oleh sang CEO dan sudah dihias sedemikian rupa agar menjadi tampak sangat romantis. Tama memang sudah merencanakan semua ini jauh-jauh hari. Hubungannya dengan Sonia yang baru menginjak tiga bulan lamanya nyatanya tidak menyurutkan semangat Tama untuk melamar gadis itu. Apalagi hubungannya dengan Sonia sudah mendapat restu dari sang Ibu. Memang tidak secara langsung juga. Saat Tama membawa Sonia ke rumahnya dan memperkenalkannya pada
Rumah sederhana yang berada di sebuah jalan kecil tampak sangat tenang. Semua lampu di dalam rumah sudah mati dan hanya satu ruangan kamar tidur saja yang masih terlihat menyala. Seorang gadis sedang berdiri di sisi jendela menatap ke arah luar memandang sepinya malam itu.Sebuah piyama berwarna hitam membalut tubuhnya yang langsing. Sedangkan rambut hitam panjangnya terikat menjadi satu di belakang, membuat leher jenjangnya tampak terekspos."Aku tidak percaya jika Tama sudah menikah," gumam gadis itu yang tidak lain adalah Sonia. Sonia Atmajaya, seorang gadis yang sangat cantik. Berusia 29 tahun, terpaut satu tahun lebih muda jika dibandingkan dengan Tama. Memiliki sifat yang sombong dan juga serakah. Sonia pertama kali bertemu dengan Tama di negara ini. Waktu itu, Sonia sedang asyik minum kopi di sebuah kafe dan dia melihat Tama yang baru saja selesai meeting dengan kliennya. Sosok Tama yang masih muda, tampan dan juga mapan, berhasil menarik perhatian gadis itu. Berbagai cara d
Tama berdiri di depan sebuah cermin besar di dalam salon tersebut. Rambutnya kini sudah sangat rapi dan juga pendek. Jambang dan kumis yang asalnya tebal, kini berubah menjadi tipis. Tak sadar, laki-laki itu pun tersenyum melihat penampilan barunya tersebut.“Bagaimana? Jadi terlihat segar kan?” tanya Zahra berjalan mendekati sang suami.“Hmm,” jawab laki-laki itu dengan jari tangan yang menyisir tipis rambut barunya.Zahra tersenyum. Dia lalu merangkul lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya di sana.“Sekarang kamu tidak malu lagi jalan denganku, kan? Sekarang aku terlihat lebih muda,” ucap Tama memandang wajah sang istri dari balik cermin.Zahra mengangkat kepalanya untuk bisa mendongak melihat laki-laki itu. “Mas, sudah aku katakan, bukan? Aku tidak pernah malu untuk bersama denganmu. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kita. Karena sedih atau bahagia nya hubungan kita, kita sendiri yang tentukan dan kita sendiri yang rasakan. Bukan mereka.” Nada bicara Zahra
Sebuah restaurant seafood yang sangat terkenal di kota itu menjadi tujuan pertama mereka. Sebuah restaurant yang memiliki tiga lantai itu berukuran sangat luas. Zahra bahkan sampai menganga sesaat ketika dirinya menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Berbagai gambar menu yang disajikan menjadi penghias dinding berwarna emas itu. Semuanya benar-benar tampak sangat menarik dan tentu saja menggugah selera.“Ini restaurant, kan?” tanya Zahra dengan mata yang terperanjat. Tama tersenyum lalu menarik tubuh sang istri agar lebih menempel dari sebelumnya.“Iya sayang. Ini restaurant seafood nomor satu di kota ini,” jelas laki-laki itu.“Hmm wajar saja. Penampakkannya sangat mewah layaknya sebuah istana seperti ini. Mungkin hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa datang kemari,” jawab Zahra. Kedua matanya masih menyapu semua ornamen yang melekat di dalam ruangan tersebut.Tama memajukan bibirnya lalu berbisik, “Kamu belum melihat spot paling mahal di restauran ini.”Zahra mengalihkan
“Bagaimana dokter?” tanya Tama. Laki-laki itu membantu sang istri duduk di kursi di sampingnya.Pagi itu Tama membawa Zahra untuk memeriksa kondisinya pasca pemukulan yang dilakukan oleh Nufa beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan proses pengecekan panjang, hari ini adalah hari terakhir mereka datang. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tama memang sedikit berlebihan. Dia bahkan sampai memaksa sang dokter untuk memeriksa seluruh tubuh bagian dalam sang istri dengan berbagai alat.Awalnya dokter keluarga itu merasa bingung karena sesuai dengan apa yang dia ketahui, kecelakaan yang menimpa Zahra tidaklah separah itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Dia tahu jika yang memintanya itu adalah CEO Kalingga’s Group. Seseorang yang paling tidak suka jika keinginannya dibantah. Apalagi ini menyangkut seseorang yang sangat laki-laki itu cintai.“Semua jenis pemeriksaan yang anda inginkan sudah kami lakukan, Tuan Tama. Dan hasilnya tetaplah sama. Nyonya Zahra baik-baik saja. Bahkan hasil dar
Di dalam sebuah kamar yang memiliki ukuran cukup besar. Sinar matahari sudah mulai merambat masuk melewati kaca jendela yang memang sengaja dibuka. Walaupun demikian, wangi aroma terapi yang dipasang di dalam ruangan tersebut tidak memudar. Udara pagi yang sejuk mulai terasa menusuk di pori-pori kulit seseorang yang ada di dalam sana.Seorang gadis yang sejak semalam terbaring di atas kasur, matanya mulai mengerjap. Kelopak mata yang masih tertutup itu mulai menunjukkan sebuah pergerakan halus. Dan beberapa saat kemudian, Zahra membuka matanya dengan sempurna. Penglihatan yang awalnya kabur, perlahan berubah menjadi jelas. Namun demikian, kondisi tubuhnya yang masih sangat lemas, membuat wanita itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Di-dimana ini?” ucap wanita itu lirih. Mencoba untuk berpikir, membuat luka di bagian belakang kepalanya kembali terasa sakit. Membuat Zahra meringis kesakitan.Mendengar ada suara di dalam kamar sang majikan, pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istri da
Pengacara Aldi masih diam menunduk. Dia bahkan tidak berani memandang Rey maupun Nufa yang selama ini menjadi atasannya. Sudut matanya hanya bisa melirik Tama yang duduk dengan tegak di sampingnya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan sorot mata tajam yang langsung menembus jantung sang pengacara.Laki-laki itu menelan salivanya dengan kuat. Dia sadar jika dirinya kini sedang berada di tengah harimau dan singa. Entah mana yang harus dia pilih, yang jelas keduanya benar-benar sangat berbahaya baginya.“Pengacara Aldi,” panggil Rey kembali. Kali ini dengan nada suara yang sedikit naik.“I-iya tuan,” jawab pengacara Aldi terbata. Keringat dingin semakin terlihat jelas berseluncur di dahinya.“Ayo, keluarkan surat-surat itu! Surat yang menyatakan jika seluruh aset dan juga kekayaan Kalingga sudah jatuh ke tanganku,” titah Rey.“Benar pengacara. Ayo cepat tunjukkan pada laki-laki sok berkuasa ini. Cepat katakan jika sekarang dia sudah berubah menjadi tikus got yang tak memiliki apa
“Silahkan dokter?” ucap Tama. Dia langsung membawa Zahra pulang ke mansion dan meminta dokter keluarga untuk memeriksanya.Sang dokter melakukan pemeriksaan secara detail dan juga teliti. Dia tidak mau melakukan sebuah kesalahan apalagi ini menyangkut istri dari seorang CEO besar. Di sampingnya, Tama masih setia berdiri, memperhatikan sang istri yang masih terkulai tak berdaya. Pakaian yang semula berlumuran darah, sudah dia ganti. Tama melakukannya sendiri karena sejak kejadian Nufa, rasa kepercayaannya kepada para pelayan di mansion menjadi berkurang. Dia takut jika masih ada orang suruhan Rey yang tinggal disana. “Bagaimana, dokter?” tanya laki-laki itu saat melihat sang dokter sudah selesai memeriksa. Dokter tampan itu pun tersenyum.“Tidak apa-apa, Tuan Tama. Kondisi istri anda yang belum sadar, bukan karena ada kesalahan tapi memang itu akibat obat yang diberikan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya,” jelas sang dokter keluarga. Tama menghela nafas lega.“Jadi, kira-kira kapan
“Jika kamu berani menembak Rey, maka aku juga berani untuk menghabisi istri tercintamu ini,” ancam Nufa setengah berteriak.Rey dan juga Tama sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Nufa yang sedang menggenggam sebuah gunting dan bersiap untuk menancapkannya di dada Zahra yang belum juga sadarkan diri. “Coba saja kalau berani, Tama!” ucap Nufa lagi. Tama menatap tajam kedua mata tua sang kepala pelayan. “Dari sejak dulu, aku tidak pernah takut padamu ataupun juga pada Yudha - ayahmu.”Tama sadar jika ancaman Nufa bukan hanya gertakan saja. Dia tahu jika wanita paruh baya itu bisa saja berbuat nekad. Mereka sudah pernah menghabisi sang Ibu secara bersih. Sehingga semua bukti menjelaskan bahwa Naya meninggal karena sakit. Tama tahu jika pasangan bibi dan keponakan ini tidak bisa dianggap remeh.Perlahan laki-laki itu menurunkan senjatanya. Melihat Tama yang sepertinya menyerah, dengan cepat Rey berdiri dan mencuri senjata milik sang CEO. Kini suami istri itu berada di bawah
Senja sudah berakhir. Langit terang telah berubah menjadi gelap. Akan tetapi sampai detik ini Tama masih belum juga menemukan kabar keberadaan sang istri. Laki-laki itu mengemudikan kendaraannya dalam keadaan yang frustasi. Sesekali dia memukul kemudi mobil dengan keras dan sesekali dia juga menjambak rambutnya sendiri.Setelah mendapatkan pengakuan dari penjaga mansion, Tama langsung melajukan kendaraannya keluar dari rumah besar tersebut. Beberapa staf kantor pun sempat dia hubungi untuk mencari tahu tentang Rey akan tetapi mereka semua tidak tahu. Yang mereka katakan hanya satu yaitu Rey keluar dari kantor dengan cepat dan terburu-buru.“Aku berjanji padamu Rey, aku berjanji demi mendiang ayah dan juga ibuku, jika sampai kamu menyentuh Zahra sedikit saja, aku akan membunuhmu,” gumam Tama dengan sorot mata yang tajam.Fokus laki-laki itu membuyar saat dia mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat dia mengangkat panggilan tersebut.“Bagaimana, Alex?” tanya Tama pada orang diba
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat mobil yang dikendarai oleh Tama sampai di halaman parkir mansion. Setelah bertemu dengan Kiran dan menyelesaikan masalahnya dengan pengacara Aldi, laki-laki itu memilih untuk langsung pulang ke rumah saja, tanpa menyempatkan diri ke kantor. Dia sudah tahu apa yang sedang terjadi disana dan Tama akan membiarkan Rey bersenang-senang sesaat sebelum besok dia akan membalikkan keadaan.Seperti biasa para pelayan berjajar di depan pintu untuk menyambut sang CEO. Namun ada yang aneh disana. Di dalam barisan para wanita itu, Tama tidak melihat sosok Nufa dan juga sang istri - Zahra. Kedua mata laki-laki itu seketika melirik ke atas. Menatap pintu kamarnya yang masih tertutup.“Hmm, mungkin dia ketiduran lagi karena lelah,” ucap laki-laki itu dalam hati.Sebuah senyum terukir manis di bibir Tama saat dia membayangkan tubuh mungil sang istri yang sedang terbaring di atas kasur. Entah kenapa tapi semenjak hubungan diantara mereka membaik, membuat Tama