Share

Part 9

Penulis: Manda Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. 

"Ibumu bilang apa?"

"Dia bilang kau plin plan."

"Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.

Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.

Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.

Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.

Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.

Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar kehaluan saja. Dia benar-benar dari keluarga kaya raya.

"Yan."

"Apa?"

"Waktu itu, kau sengaja mengupload foto agar aku datang, kan?" Aku memberi kesimpulan. Dia tersenyum kecil. Tak menampik.

Bagaimana tidak. Dia sudah hafal jam berapa biasa aku menutup dagangan. Saat itulah dia memajang foto di i*******m agar aku tahu dia dimana.

Pemuda yang mengaku sebagai anak bungsu itu pasti tahu kalau aku sedang berusaha mencarinya melalui semua akun. Untuk itu dia memberi sebuah petunjuk. Pantas saja, tak ada gurat keterkejutan di wajahnya saat bertemu denganku di sana. Bahkan sepertinya aku sedang dinantikan.

"Kau sengaja menungguku, kan? Bagaimana kalau aku tidak datang?"

"Kenapa? Karena sibuk pacaran?"

"Yan!"

"Iya, iya. Kau hanya pura-pura. Sudah ratusan kali kau mengatakannya."

Malam itu, aku menceritakan tentang kedatangan ibunya. Juga tentang sandiwaraku bersama Ren. Tentu saja tanpa mengadu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu sudah menamparku dengan keras.

"Pria itu terlihat tampan. Kau yakin tidak merasakan apapun saat memeluknya?"

"Aku tidak memeluknya, Daryan. Dia yang mengambil kesempatan!" protesku.

"Tapi tetap saja dia terlihat menarik."

"Tidak sama sekali."

"Bagaimana kalau dia menyukaimu."

"Amit-amit." Aku mengusap perutku seperti wanita hamil yang takut anak dalam kandungannya mirip dengan orang yang dia benci. Daryan terkekeh.

Begitulah percakapan kami sepanjang jalan, saat Daryan mengantarku pulang. Aku juga bercerita bahwa laki-laki itu adalah Ren. Rentenir yang selama ini menagih hutang dengan garang padaku.

Sekian lama mengenalku, mereka memang tidak pernah saling bertemu. Ren memang selalu begitu. Seperti pengamat yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Tak pernah datang saat jualanku sedang ramai. Lalu tiba-tiba muncul dengan wajah garang dan selalu mengintimidasi saat aku sedang sendiri.

Terkadang aku juga merasa ngeri. Takut jika dia akan melakukan tindakan kekerasan seperti debt collector pada umumnya. Untuk itu aku selalu bersikap kasar, agar dia tahu aku bukan wanita lemah yang bisa selalu ditakut-takuti. Meski sebenarnya rasa was-was itu memang ada saat melihatnya datang.

Kesalah pahaman terjadi saat Daryan datang keesokan harinya. Sebelum turun dari mobil, dia melihat Ren duduk di depan booth container. Penampilannya sama persis seperti yang ibunya ceritakan.

Gaya berpakaian Ren dan juga topinya membuat dia mudah untuk dikenali. Sebelumnya, tak pernah ada yang menghampiriku seperti itu selain Daryan. Karena itu dia mengambil kesimpulan, bahwa aku benar-benar telah berpacaran.

Bab terkait

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 10

    "Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi," rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki."Tapi kau sengaja memintaku datang.""Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku.""Hish, Daryan!" Aku memukul bahunya. Kesal.Dia kembali terkekeh.*"Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan?" tanyaku serba salah. Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha memint

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Patt 11

    Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur. Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil."Ada apa?" jawabku, dengan suara khas bangun tidur."Kak." Suaranya terdengar ragu."Apa?""itu....""Katakan saja.""Motorku...."*Ah, shit! Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah. "Mana Ayah?" cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng."Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang,"

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 12

    "Ada apa lagi?" tanyanya heran."Kenapa kau masih meminjami Ayahku uang. Kau tahu sendiri Ayahku tak akan sanggup membayarnya. Pakai otakmu sedikit saja. Jangan hanya memikirkan keuntungan." Seperti biasa aku menyerangnya dengan kata-kata kasar tanpa berbasa-basi."Kau bicara apa? Ini masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran. Aku bahkan belum sempat sarapan." Dia masih berusaha bersikap santai."Kembalikan BPKB adikku. Akan kutransfer setengah dulu. Sisanya minggu depan." Aku langsung pada pokok permasalahan.Uang yang dipinjam Ayahku hanya tiga juta. Itu pun dengan janji hanya dua bulan, dengan bunga lima puluh persen. Tapi sampai saat ini Ayah terus mangkir dari waktu yang dijanjikan. Hingga bunga bertambah lagi lima persen sebagai denda.Rincian angka itu tertulis jelas pada pesan whatasapp yang diterima Adit. Selain menjamin surat itu, Ayah juga memberikan nomor Adit, kalau-kalau ponselnya tidak bisa dihubungi.Tentu saja Ayah melarikan diri. Dengan apa dia akan membayar huta

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 13

    Motor melaju membelah jalanan. Tanganku sebentar-sebentar memegangi pinggangnya, lalu melepaskannya kembali sesuai laju kendaraan. Sulit bagiku untuk tidak berpegangan di situasi seperti ini. Caranya mengemudikan seperti sengaja mempermainkan dan memanfaatkan keadaan. Dasar pria mata keranjang. Hanya memikirkan kesenangan.Akhirnya kuputuskan menggenggam jaketnya saja. Memegangnya dengan kuat, tanpa berniat melepaskan lagi. Hampir setengah jam kami menyusuri jalan raya, hingga akhirnya sampai ke pinggiran kota. Motor memasuki halaman rumah bergaya minimalis. Membuatku berpikir, apakah ini rumah milik rentenir yang meminjami uang untuk Ayah. Sejauh ini rupanya, Ayah berhubungan dengan banyak orang seperti Ren. Dan anehnya, Ren juga mengenal mereka."Mana Bos-mu?" Ren berjalan mendekati seseorang yang sedang menyiram tanaman. Lalu terjadi percakapan di antara mereka."Tunggu di sini!" Ren memberi perintah padaku, lalu mengikuti langkah pria paruh baya itu untuk masuk.Dasar bodoh. Kal

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 14

    Daryan terdiam. Mulutnya yang sedari tadi mengunyah martabak isi kacang itu, langsung mematung dengan pipi yang menggelembung. Aktifitas mengunyahnya seketika terhenti. "Jangan ikut campur! Itu urusanku." Wajahnya berubah serius."Aku hanya memberi tahu. Demi kebaikanmu. Setidaknya kau harus punya kegiatan yang berarti. Jika senggang, kau masih bisa main ke sini. Setiap profesi pasti memiliki waktu libur. Jangan sia-siakan masa mudamu. Harta warisan tak bisa menjamin kebahagiaan.""Diamlah!" Dia terlihat semakin berang. "Kau mulai lancang." Aku terkejut mendengar ucapannya.Apa aku bersikap terlalu berlebihan?"Kau marah?" Aku mencoba membujuknya."Jangan terlalu lancang memasuki kehidupan pribadiku.""Daryan... Aku....""Aku tak suka!" Dia langsung bangkit dan berdiri. Sepertinya benar-benar marah atas sikapku tadi.Dia pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan rasa kesal. Ternyata aku bukan siapa-siapa yang bisa dengan mudah memasuki kehidupan pribadinya. Membuatku menyesal dan haru

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 15

    Aku tahu Daryan tersinggung dengan ucapan lancangku. Sikapnya kembali seperti waktu itu. Sudah tiga hari sejak kejadian, batang hidungnya kembali menghilang. Bukan aku tak mau membujuknya. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kurasa dia bukan tipikal orang yang suka dipaksa. Dia butuh waktu untuk menerima dan mencerna kata-kata yang aku ucapkan. Sama sekali tak ada maksud untuk menjatuhkan mentalnya.Kupikir kami sudah terbiasa bicara secara blak-blakan. Aku pun tak pernah keberatan jika ia menyinggung nasib buruk dan juga ketidak sempurnaan dalam hidupku. Namun entah kenapa dia jadi begitu sensitif jika aku menyinggung soal keluarganya.Maka kubiarkan dia begitu saja. Berharap dia sedikit lebih tenang, lalu kembali menyuruhku datang untuk berbaikan. Aku akan menunggu saat hari itu tiba. Aku mengalah. Aku kembali bersalah. Daryan tak butuh nasihat dariku. Dia hanya butuh aku untuk mendengarkan. Percaya dengan apa pun yang dia ucapkan.*Udara siang terasa begitu terik. Seorang wanita

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 16

    Mataku membesar melihat siapa yang datang. Dengan spontan langsung menepis kasar tangan pria hidung belang yang sedang merangkulku tadi. Aku langsung berdiri, menatap dia yang memandang kami penuh amarah."Siapa kau?" Om Rudi _pria yang bersamaku_ ikut berdiri dengan emosi. Merasa terganggu dengan kesenangan pribadi yang akan kami lalui malam ini.Pemuda dengan ciri khas topi dan jaket denim itu langsung mendekat ke arah kami. Mataku membesar menatapnya dalam jarak dekat."Sedang apa kau di sini?" ucapnya dengan nada mengerikan.Habis sudah harga diriku. Bahkan yang aku lakukan lebih rendah dari pekerjaannya selama ini. Pria ini pasti akan mencemoohku lebih parah lagi."Dia "gadisku"," ucap Om Rudi. Kembali meraih bahuku dalam rangkulannya. Aku hanya tertunduk pasrah. Tak berani menatap Ren karena malu."Tua bangka bajingan!" Ren langsung menendang dengan beringas. Kaki panjangnya tepat mengenai perut om Rudi. Pria yang hampir sebaya dengan ayahku itu langsung terpental ke atas sofa.

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 17

    [Aku sakit.][Kau tak menjengukku?][Maaf soal waktu itu. Aku tak akan lagi bertanya.][Ini sudah satu minggu.][Kau sengaja membuatku rindu, ya?][Aku ingin sekali makan pizza jamur.]Beberapa pesan kukirimkan pada Daryan dengan tak tahu malu. Takut dia akan melupakan aku seiring berjalannya waktu. Kupikir dia dia pun sudah tahu tentang perasaanku. Lama aku menunggu, namun tak ada tanda-tanda dia akan membalas. Aku melempar asal ponsel, lalu menutup wajah dengan bantal.Hari ini aku memang tak membuka dagangan. Masih merasa lelah atas kejadian semalam. *Samar terdengar suara ketukan dari luar. Aku membuka mata secara perlahan. Meraba ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Aku pasti tertidur nyenyak, saat sadar hari telah beranjak sore.Dengan malas aku bangkit, membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Di luar sana tampak raut wajah yang selama ini aku rindukan."Daryan?" Aku membuka pintu dengan lebar. Dua box pizza menggantung di jarinya."Kau hanya pura-pura sakit.

Bab terbaru

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 92 (Ending)

    Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 91

    Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 90

    Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 89

    Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 88

    "Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 87

    Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 86

    Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 85

    Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 84

    Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap

DMCA.com Protection Status