Ren tampak menyeringai. Aku langsung merengut. Tahu kalau Ren mulai berani berbuat lebih, seperti malam tadi."Sarapan, Bos!" Terdengar suara seseorang mengetuk pintu dari luar. Ren tampak berdecih."Makananmu datang!" Aku langsung mendorong perutnya. "Mengganggu saja!" Dia mengumpat. Aku tertawa kecil, melihatnya berjalan menuju pintu dengan kesal."Kau selamat, pagi ini!" ucapnya, menyodorkan bungkusan makanan dan segelas panjang susu coklat padaku. Aku kembali tersenyum."Aku akan berterima kasih padanya. Ternyata si tato tidak semengerikan yang aku kira." "Beni!" ketusnya. "Hem?" Aku mengernyit."Namanya Beni. Jangan sembarangan memberi gelar pada orang."Mataku berkedip menatapnya. Apa selama ini dia juga merasa keberatan aku menyebutkan kata depan rentenir untuk memanggilnya?"Cukup aku saja," lanjutnya kemudian. Aku mengulum senyum. Sepertinya dia sudah terbiasa dan menyukai nama itu."Tetaplah di sini. Jangan coba-coba turun dan mencari perhatian para pelangganku." Dia ber
Aku tersentak saat suara itu tiba-tiba muncul. Spontan aku menurunkan kaki, saat Ren kini sudah berjalan mendekat ke arahku. Aku langsung bangkit dari singgasana kebesarannya."A-aku hanya duduk," jawabku gugup. "Aku sama sekali tak menyentuh apa pun."Matanya langsung memicing menatapku."Aku bosan seharian di kamar. Turun ke bawah pun tak kau perbolehkan. Aku baru saja masuk, tak berbuat apa-apa pada aset-asetmu."Dia tersenyum menyeringai. Semakin mendekat, hingga aku tersudut dan kembali terduduk."Ho, kau baru saja menikmati peranmu, Nyonya Ren?""Nyonya Ren?" Mataku mendelik. Lalu kembali mendorong tubuhnya. "Kau pikir aku mau jadi rentenir sepertimu?"Dia kembali menahanku agar tak melewati tubuhnya. Membuat aku kembali terkungkung, dengan kedua tangannya memegangi pegangan kursi."Apa yang salah dengan pekerjaanku? Aku hanya membantu orang." Dia menantang ucapanku."Membantu apanya? Kau malah membuat orang-orang seperti kami merasa terancam." Aku tak mau kalah."Itu karena aya
Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Ren pada orang itu. Tak bisakah dia bersikap tenang sedikit saja? Kenapa harus mengatakan hal-hal mengerikan mengenai nyawa seseorang. Memangnya sudah berapa banyak, orang yang sudah mati di tangannya?Aku masih saja gelisah, berdiri kesana-kemari menanti kepulangannya. Sesekali melihat ke bawah dari balik jendela, mungkin saja ada motornya yang sudah terparkir di sana. "Berikan saja nomornya!" teriakku saat menghubungi adikku."Tidak bisa, Kak. Laki-laki itu yang dipegang janjinya. Aku lebih baik mati dari pada harus mengkhianati Bang Ren." Lagi-lagi Adit berpihak padanya. Padahal aku sudah bilang ini keadaan darurat. Namun Adit tak percaya. Dia malah mengataiku mengarang cerita sembarangan. Karena menurut Ren, aku pasti akan terus-terusan meneror dan mengancamnya jika berhasil mendapatkan nomor rentenir itu.Ya, Tuhan....Ren benar-benar sudah mencuci otak adikku hingga menjadi bodoh seperti itu.Tunggu saja sampai masalah ini selesai. Akan ku
Aku bahkan tak tahu bagaimana keadaan Ren sekarang. Hatiku merasa cemas, melihat pakaian Beni penuh bercak darah. Dia terlihat baik-baik saja, hingga aku tak tahu darah siapa yang ada di sana."Sudah kubilang, Bos menginap di rumah orang tuanya. Dia akan marah jika aku membawamu ke sana.""Lalu apa dia tidak akan marah, begitu tahu bahwa kau ingin melecehkanku di saat dia tak ada?" Aku terus menggila."Aku tidak melakukannya!" Dia terdengar menggeram, dengan tangan yang terus mengepal."Kau pikir dia akan percaya?" Aku tak kalah geram mendengar banyak sekali alasannya.Dia terdiam, tak lagi menjawab. Seperti memikirkan semua ucapan dan segala ancamanku."Sekarang, Beni!" Aku berteriak kuat memerintahnya.Kulihat bahunya naik turun, seperti menarik napas dengan kuat. "Baiklah. Siapkan pakaiannya!" Dia menyerah. "Aku tunggu di bawah." Aku menarik napas lega, melihat dia berlalu menuju pintu. Kemudian langkahnya berhenti tanpa menoleh."Tolong ganti bajumu," ucapnya tegas. "Tutup kemba
"Ini luka kecil. Hanya tergores." Ren mencoba tersenyum. Padahal jelas terlihat wajah pucat itu tampak meringis saat aku memeluknya tadi."Saat sakit pun kau masih saja menjaga gengsi padaku, Ren. Tergores apanya?" Bibirku bergetar melihat perban itu."Aku tidak bohong. Kalau tak percaya kau boleh memelukku lagi. Ayo sini!" Dia merentangkan kedua tangannya padaku. Aku tersenyum di sela tangis, sambil mengusap air mata yang tak bisa lagi terbendung."Cepatlah pulih! Setelah itu aku akan memelukmu dengan erat." Ucapan nakalku keluar begitu saja. Aku hanya mengusap bagian otot lengannya, takut untuk kembali menyentuh bagian tubuh lainnya."Kau sengaja memancingku, ha? Kau pikir aku selemah itu hingga tak bisa memaksamu?" Dia meraih bahuku dan menarikku hingga bersandar di bawah ketiaknya."Hati-hati, Ren! Lukamu bisa kena." Aku merengek manja. Menyentuh pelan bagian yang terluka. Tak lagi berusaha menghindar dari pelukannya. "Kembalilah ke ranjang. Kenapa jam segini belum tidur?" Aku
Kami sampai di ruko hampir subuh. Ren tak mau lagi menunda-nunda meski aku sudah meminta maaf, dan memintanya tinggal agar kembali mendapat perawatan di sana."Aku lebih memilih melawan sepuluh orang sendirian, dari pada menghadapi kau yang sedang cemburu!" ucapnya tegas. Membuatku kembali mengerucutkan mulut, merasa bersalah.Sepanjang perjalanan Ren tak lekang menggenggam tanganku di kursi belakang mobil yang dikendarai Beni. Aku ikut meremas jemari besar itu hingga telapak tanganku tenggelam di dalamnya, lalu saling melempar senyum.Aku membantu memapahnya hingga menaiki tangga menuju kamar. Ren langsung menarikku dalam pangkuannya saat aku mengantarnya sampai ke atas ranjang."Lukamu!" pekikku, dengan sikapnya yang tiba-tiba seperti ini."Tidak sakit," sahutnya setengah berbisik. "Aku merindukanmu." Dia menarik pinggangku dengan erat.Aku tersenyum, kembali membelai rambut lurusnya dengan lembut. Aku menatap matanya, lalu tiba-tiba saja menempelkan bibirku ke keningnya."Kau pikir
Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan jika akhirnya Daryan muncul di hadapanku. Cepat atau lambat, kami pasti akan bertemu. Entah itu sekarang, ataupun nanti, dia pasti akan mempertanyakan keberadaanku selama ini, juga bagaimana kelanjutan hubungan kami.Aku tak mungkin terus menghindar, apa lagi bersembunyi. Tak ada yang perlu aku takuti. Aku bukan miliknya. Belum juga menyerahkan diri padanya. Aku masih punya hak untuk memilih, laki-laki mana yang kini membuatku merasa nyaman, sekaligus... aman.*Aku menoleh ke arah sumber suara, meski sudah tahu siapa pemiliknya. Suara tengil itu juga pernah membuatku hampir gila saking rindunya. Namun kini hanya sebatas kisah yang hampir membuatku kehilangan nyawa.Aku sedikit tertegun, melihat penampilan barunya yang kini layaknya eksekutif muda. Dengan setelan kemeja berdasi, juga jas yang membalut bentuk tubuhnya yang atletis.Aku membuang pandangan, kembali menatap layar ponsel dengan video mukbang sedang memutar.Kudengar langkah sepatunya m
"Cukup dengan mengorbankan keselamatannya demi aku. Apa itu lebih dari cukup untuk mengalahkanmu?""MAYA!""Berhenti membentakku, Daryan!" Aku tak ingin mengalah. "Kau tahu bagaimana aku sekarang. Kau bilang akan mundur jika tahu aku dimiliki orang lain. Pegang saja ucapanmu. Jangan lagi merengek padaku."Kulihat wajahnya semakin menggeram. Kepalan tangan itu semakin menguat hingga lengannya bergetar. "Brengsek!" Dia melampiaskan semua kekesalan dengan menyapu semua wadah yang terletak di etalase hingga jatuh, berserakan. Membuatku terkejut dan segera menghentikannya."Apa yang kau lakukan, Daryan?" Aku mendorong tubuhnya agar menjauh. Lalu berjongkok, memungut benda-benda plastik itu dari lantai.Mataku mengembun melihat serbuk-serbuk itu bertaburan. Berusaha memasukkan kembali mana yang masih bisa terpakai.Tubuh tinggi tegap itu kini ikut berjongkok, mensejajarkan diri, berusaha menatap wajahku yang kini telah dibasahi oleh air mata karena ulahnya."Maaf," lirihnya. Berusaha memeg
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap