Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Membuat mataku silau karena cahayanya. Aku menutup wajah dengan membalik telapak tangan dari terpaan sinarnya, agar bisa membuka mata dengan lebar. Lalu kurasakan pinggangku mendadak terasa sakit. Ini pasti karena tidur dalam posisi duduk dengan kepala bertumpu pada sisi ranjang.Aku mengucek mata, lalu menyipit saat Ren sudah tak ada di tempat tidurnya. Aku meraih ponsel guna melihat jam digital yang ada di sana. Hari masih sangat pagi. Bahkan belum lagi genap pukul tujuh. Mataku berkeliling mencari keberadaan pria yang bersamaku semalaman.Memoriku kembali teringat saat terpaksa berbohong pada Daryan. Beralasan kalau aku menginap di rumah ayah bersama Adit, agar ia mengurungkan niatnya untuk datang ke kamar kos-ku malam tadi.Aku tak tahu kenapa aku sampai melakukan hal itu. Yang kulakukan adalah mengabulkan permintaan Ren untuk menemaninya sepanjang malam.Sebagai wanita yang telah terbiasa hidup sendiri juga mandiri, hal seperti ini buk
"Kau sudah pandai berbohong rupanya." Daryan mengungkit soal itu lagi hari ini."Maaf." Hanya itu yang dapat aku katakan."Kau kemana? Kau bertindak yang aneh-aneh lagi, May?""Untuk apa? Hutangku sudah lunas karenamu." "Ada rahasia yang aku tak boleh tahu?""Kau juga punya rahasia," sahutku begitu saja."Jadi ini semacam balas dendam? Begitu, kah?" "Kau ini bicara apa? Aku belum terbiasa menjalani hubungan. Aku tak tahu kalau semuanya harus aku ceritakan pada pasangan."Daryan terdiam. "Maaf," ucapnya kemudian. Dia terlihat seperti merasa bersalah. Aku mengernyit. Kupikir dia akan marah-marah dan merajuk seperti waktu itu."Kenapa kau minta maaf?" Aku penasaran."Kau pasti takut aku melakukan hal itu lagi, kan?" Aku memandang sorot matanya.Laki-laki ini berpikir, bahwa aku takut kembali berciuman dengannya? Lucu sekali. Aku bahkan menikmatinya."Sudah kuduga," ucapnya lagi. "Kau bukan gadis nakal seperti yang kau tunjukkan selama ini. Kau hanya mengada-ada saat bilang akan mau m
"Menjaga parkir?" Aku mengulangi ucapannya. Adit mengangguk. Jadi Ren memberikannya pekerjaan sebagai tukang parkir? Bukan kurir pengantar barang haram yang aku sangkakan selama ini?Aku menghela napas dengan lega. Setidaknya adikku sedang tidak dalam masalah, atau menjadi salah satu DPO yang diincar oleh polisi. Ternyata Ren masih punya otak untuk tidak menjerumuskan adikku dalam bisnisnya."Memangnya apa yang kakak khawatirkan?" Adit menaruh curiga. Menuduhnya yang bukan-bukan tanpa bertanya terlebih dahulu."Aku hanya tak menyukai pria itu. Kau jangan lagi bertemu dengannya.""Bang Ren orang baik, Kak. Kakak tidak perlu curiga padanya. Hanya gayanya saja yang seperti itu." Adit tampak bersemangat membicarkan orang itu."Bang Ren?" Dahiku mengernyit. Kenapa Adit bisa ikut memanggilnya seperti itu. Bukankah itu hanya sebutanku saja agar dia sadar, kalau dia tak lebih hanya seorang rentenir di kehidupanku."Aku menanyakan namanya. Tapi dia bilang, kakak memanggilnya Ren. Dia menyuruh
Usai berdamai dan mengalah pada Adit, aku kembali membereskan rumah. Adit sudah berangkat ke restoran tempatnya bekerja. Sepertinya dia sudah melakukannya saat melapor padaku waktu itu. Padahal jelas-jelas aku sudah melarangnya.Namun sepertinya kali ini adikku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.Tak lama mobil Daryan muncul, setelah aku mengirimkan google maps alamat rumahku padanya. Begitu banyak bahan makanan yang dia bawakan. Semua sesuai pesananku."Aku beruntung, punya pacar anak orang kaya sepertimu." Aku terkikik geli, sambil menyusun rapi semuanya."Dan aku seperti duda yang ditinggal istrinya." Aku tertawa."Harusnya kau membelinya di pasar. Harga sayuran dan bumbu dapur jauh lebih murah di sana." Aku mengamati harga-harga yang menempel di tiap bahan."Jangan protes! Kartu ajaibku tidak akan berlaku di sana." Aku semakin tertawa.Awalnya aku hanya berniat meminta Daryan datang saat ingin menjemputku saja. Tapi karena tak Adit yang mengantarku pergi berbelanja, kuminta saja
Daryan merogoh saku celananya. Mengambil benda pipih yang tengah berdering. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang kembali merasa terganggu."Ibumu?" tanyaku."Ya. Siapa lagi." Aku kembali tertawa."Kau ingin aku yang menjawabnya?" Aku menggoda. "Aku ingin memberitahunya, bahwa anak kesayangannya sedang bersamaku malam ini.""Jangan nekat, May. Ibuku tidak akan membiarkanmu begitu saja." Daryan sedikit menjauh, menerima panggilan itu.Mendengar nada bicara Daryan, sepertinya mereka terlibat perdebatan. Lalu diakhiri ucapan Daryan yang mengatakan dia akan segera pulang."Hati-hati di jalan. Ini sudah larut malam," pesanku saat mengantarnya ke depan pintu.Dia tersenyum mengangguk. Lalu pamit menuju mobil.*Udara begitu terik. Aku baru saja selesai melayani segerombolan mahasiswa yang antri untuk membeli minuman. Ada lebih dari sepuluh orang sekaligus yang memesan. Membuatku merasa puas, dan semakin bersemangat. Aku duduk di atas kursi tinggi yang aku letakkan di dalam booth container
Daryan hari ini sama sekali tak datang. Dia bilang kakak perempuannya sedang merayakan ulang tahun anaknya. Jujur aku merasa kecewa, nyatanya dia tidak mengajakku ikut serta. Aku tidak dianggap sama sekali.Padahal saat di hotel kakaknya terlihat ramah padaku. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu mereka. Selain perangai, wajah mereka juga sangat berbeda. Meski kak Erin_ kakaknya_ begitu mirip dengan Daryan. Apa mereka berdua hanya mirip dengan ayahnya saja?Aku terlonjak kaget saat melihat siapa yang tiba-tiba muncul di depan pintu booth container. Ren datang lagi. Mungkin dari tadi mengawasi dan tak melihat Daryan ada di sini.Wajah itu kembali menatapku, semakin berani."Mau apa lagi, kau? Aku sudah tutup." Aku kembali bersikap ketus, sembari membereskan dan menyusun perlengkapan."Kau galak sekali. Kupikir hubungan kita sudah membaik sejak malam itu." Dia masuk tanpa kupersilakan."Apa yang kau lakukan?" Mataku membesar melihat dia yang semakin lancang."Membantumu.""Kau tidak perl
"Kau tak membalas pesanku sejak semalam." Daryan tampak cemas saat datang. Aku menyeruput "brown sugar milk tea" tanpa boba. Tak mengindahkan ucapannya."Hei, kau pasti marah karena aku tak mengajakmu kemarin, kan?" Dia kembali meyakinkan.Dia benar. Aku merasa kesal karena sudah larut malam dia baru mengabariku. Mengatakan kalau dia baru saja sampai di rumah setelah acara selesai.Padahal dia bilang hanya acara ulang tahun keponakannya. Tidak mungkin selesai sampai larut malam.Aku meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah ponsel. Duduk manis di atas kursi dengan meletakkan dagu di atas meja."Sudah kuduga, kau pasti marah," bujuknya."Untuk apa aku marah. Aku menerima kembali uang yang diberikan ibumu untuk melunasi hutangku. Aku tak punya hak lagi mengambil anaknya," balasku, tanpa melihat wajahnya."Hei, apa-apaan kau!" Giginya merapat dengan geram. Aku tersenyum. "Aku sudah menjualmu. Jadi sebaiknya kau kembali saja. Atau ibumu akan datang dan marah-marah lagi padak
Aku menatap Daryan penuh tanya. Lalu kulihat dia menyunggingkan sebuah senyum, seperti sebuah kekecewaan."Aku tidak ingin terus menyakitinya. Seburuk apa pun perangainya, dia tetap ibuku," sahutnya."Berhenti menghukum dirimu sendiri, Daryan. Jangan lagi bertingkah gila. Berhenti menghukum diri sendiri. Semua bukan salahmu."Aku masih terperanjat heran. Hanya bisa diam menyaksikan dua kakak beradik itu saling bersahutan.Ada apa dengan keluarga mereka? Adakah skandal yang terjadi hingga orang luar sepertiku tak boleh tahu? Inikah yang dimaksud Ren dengan keluarga Daryan yang tak wajar itu?Keluarga macam apa ini? ~~~~Jadi seperti itu kehidupan Daryan sebenarnya. Menolak posisi dan jabatan yang diberikan oleh Ayahnya demi menghargai perasaan ibunya. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Terlebih Daryan yang hanya sebagai korban, meski seluruh keluarga bersedia menerima kehadirannya.Aku menangis sendiri di kamar sempit ini setelah Daryan mengantarku pulang dan menceritakan s
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap