"Arsen.” Shine menyela, jemari tangannya yang bebas memainkan bulu tangan Zafier dan menarik-nariknya tanpa sadar. "Aku tidak menyangka dia seperti itu." Zaf menatap kejauhan. "Aku mengerti dengan apa yang dia lakukan. Dia hanya khawatir denganmu. Laki-laki mana yang akan suka melihat wanita yang selama ini dijaganya, bersama dengan seseorang sepertiku. Arsen sama seperti orang lainnya yang sudah biasa melihatku berkelakuan brengsek, dan menganggap tidak akan semudah itu berubah." Shine merapat, mengangkat kedua kakinya ke atas pangkuan Zaf dan bertopang dagu, "Tapi Arsen tidak seharusnya ikut menjebakmu seperti ini. Jelas-jelas dia menyuruhku untuk menggodamu bahkan tidak mengenaliku dan memanggilku bitch." Shine nampak kesal. "Aku rasanya ingin menggigit lehernya saat itu juga—" Zafier tertawa. "Untungnya bisa aku tahan dan hanya mencebik. Sepertinya kepalanya perlu dipukul supaya sadar." "Kau merubah semua penampilanmu semalam. Rambutmu, matamu memakai softlense, aroma parfummu,
"Aku memang harus datang." Shine perlahan tersenyum. "Oke baiklah, kau menang. Aku merinding mendengarnya." Zaf tertawa, Shinenya akan selalu seperti ini. Menggemaskan. Lalu tiba-tiba kecupan Shine di pipinya membuatnya terdiam. "Anggap aja bonus." Zaf tidak lagi bisa menahan tawanya lebih kencang, menarik tengkuk Shine dan mencium keningnya. "Aku merinding menerimanya." Shine memutar bola mata, mereka saling menatap sambil tersenyum sampai Zaf teringat sesuatu dan memandangi gedung megah di kejauhan. "Aku sudah menyewa satu kamar mahal di Marina Bay Sands tapi kenapa kau malah ngotot ingin melihat sunrise dengan gaya lesehan begini?" "Sekali-sekali merakyatkan tidak apa-apa," dengus Shine. "Oh oke. Aku jelas tahu kalau bersamamu, aku tidak akan takut jatuh miskin." "SIALAN!!" umpat Shine. "Ngomong-ngomong, bagaimana reaksi Arsen kalau tahu wanita blonde itu aku?" "Dia jelas akan menyesalinya karena tidak mengenalimu juga mengataimu Bitch lalu mengumpat untukku." Zaf nampak yaki
Jakarta, Indonesia Arsen duduk diam di dalam ruang kantornya sejak pagi hingga hampir mendekati jam makan siang. Membiarkan saja layar laptopnya menggelap setelah tadi dia mencoba untuk mencerna semua hal yang muncul di dalam CD yang di dapatnya semalam. Sama sekali tidak pernah berpikir kalau Omnya memperkaya diri dengan cara licik selama bertahun-tahun dan berhasil memperdayanya karena dia memiliki kaki tangan yang berkompeten. "Sial!" umpatnya, menyanggah kepalanya dengan tangan saat ponselnya berbunyi. Alisnya terangkat naik saat melihat siapa yang menghubunginya dan tanpa pikir panjang mengangkat panggilannya. "Apa maumu?" desisnya. "Apa kau sudah menerima hadiah yang aku tinggalkan semalam?" Ucap Zafier. "Apa wanita blonde itu Shine Aurora?" Arsen malah menanyakan hal lain. "Wanita yang mencoba menggodamu tapi kau usir begitu saja, wanita yang kau panggil bitchy dan wanita yang kau coba bayar untuk menggodaku itukah maksudmu?" Arsen menutup matanya, memijit pelipinya. "Dia
"Selamat siang Pak Robin."Robin hanya mengangguk singkat tanpa senyuman, duduk di salah satu bangku kayu favoritnya di sudut terjauh koridor rumah sakit, membiarkan saja perawat yang menyapanya tadi berlalu entah kemana. Diusapnya jam tua di pergelangan tangannya, disela helaan napas yang mengaburkan detak jantungnya yang menderu lalu mengangkat pandangan, menatap kejauhan—tepatnya ke arah taman tidak jauh dari kolam buatan yang ada di sana.Menghitung di dalam kepalanya sampai bibirnya menyunggingkan senyuman. Wanita itu baru saja duduk di sana, terlihat melanjutkan kegiatan merajutnya dalam diam setelah menghabiskan makan siang juga obatnya.Robin selalu datang ke rumah sakit di jam yang sama setiap harinya. Tidak peduli apa yang dia lakukan dan apa yang sedang terjadi dengannya, dia akan mengusahakan tetap datang. Meski kehadirannya lebih seperti bayangan yang tidak disadari oleh objeknya sendiri. Padahal para perawat juga dokter di sana tahu benar siapa Robin dan apa yang dilakuk
"Urusan apa yang membuat Om langsung memutuskan untuk pulang?" Arsen mengamati ekspresi Om Martin yang duduk di sofa kantornya, nampak santai seperti biasanya. "Urusan yang harus aku selesaikan secepatnya." Hanya itu jawabannya, Arsen mengangguk sebagai balasan. "Di mana Shine Aurora? Aku ingin sekali bertemu dengannya dan mengucapkan selamat untuk pernikahan kalian." Arsen memalingkan wajah ke arah lain, menyembunyikan ekspresi getirnya. "Sepertinya sedang bekerja. Jadi model ternyata membuatnya sangat sibuk." "Ahh begitu. Mungkin lain kali." Arsen menatap Martin yang juga sedang menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Oh ya, apa Zafier ada memberimu sesuatu?" Arsen menaikkan alisnya, "Sesuatu seperti apa Om?" "Entahlah. Apapun yang bisa membuat perusahaan kita terancam. Dia itu licik, jadi wajar saja kalau kita harus waspada." "Untuk apa kita takut Om, kalau Perusahaan milik kita bersih dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Martin diam tanpa ekspresi dan Arsen benar-benar
"Aku katakan pada diriku kalau ini karma dan aku harus menerimanya. Aku menyakiti orang-orang yang aku sayangi bahkan yang aku anggap seperti anakku sendiri karena kalian lahir dari saudara kambarku seburuk apapun hubungan kami dulu." Shine tidak lagi menatap apapun yang ada di sekitar area rumah sakit karena dia menemukan pegangan lain yang memberinya dukungan meski hanya melalui tatapan mata dari jauh. Zafier Gaster berdiri menyandar di dinding rumah sakit, menatapnya intens dan menunggu di sana. Mengingatkan dia kalau laki-laki brengsekpun bisa berubah jika diberi kesempatan dan kepercayaan. Teringat dengan sikap bajingan dan liciknya Zaf yang dulu begitu dibencinya tapi nyatanya banyak hal yang tidak sesuai perkiraannya bersembunyi di baliknya. Bertemu dengan Zafier jelas memberikan pandangan baru setelah bertahun-tahun yang lalu, dia seperti menutup mata dengan semua hal yang mengingatkannya pada sikap bajingan Robin yang dia anggap Papanya. Sekarang, Zafier benar-benar nampak
Keesokan Malamnya,Ballroom Hotel Mulia, JakartaZafier berdiri di area depan, menjadi pusat perhatian semua undangan yang ada di ballroom salah satu hotel mewah yang menjadi tempat gala dinnernya. Hadir dengan tampilan sempurna meski sendirian tanpa pasangan seperti yang lainnya. Banyak wartawan yang menunggu konfirmasi resmi yang disiarkan live terkait penangkapannya oleh CIA juga mengenai hubungannya dengan Shine Aurora dan kabar skandal yang beredar di dunia maya sejak semalam tentang dirinya yang mabuk dan membawa wanita bayaran berambut blonde itu ke dalam kamar hotel lengkap dengan foto-fotonya.Matanya menatap nyalang sosok lelaki berjas hitam yang mengangkat tinggi gelas wine-nya dengan senyuman smirk penuh kemenangan, duduk dengan nyaman di sana. Seharusnya dia memang tidak berbaik hati lagi dengan laki-laki itu."Aku hanya akan mengatakan beberapa hal," ucapnya dengan tenang. "CIA tidak menemukan bukti kuat untuk semua tuduhan yang dilayangkan meski mereka membutuhkan waktu
Langkah kaki Arsen terhenti sesaat setelah keluar dari lift ketika melihat punggung seseorang berdiri di depan pintu ruangannya dengan satu ponsel di tangan. Sebelumnya tadi, dia sudah dalam perjalanan pulang tapi memutuskan kembali karena teringat ada barangnya yang ketinggalan, juga CD yang diberikan Zafier Gaster masih tersimpan di laci meja kerjanya. Setelah kepergian Omnya tadi siang, Arsen menghabiskan sisa waktunya dengan berpikir juga melihat lagi bukti itu yang berakhir dengan satu kesimpulan; dia tidak peduli karena itu urusan Omnya. Tidak mungkin dia menjebloskan keluarga dekatnya sendiri ke penjara. Arsen melangkah mendekat saat mendengar seseorang itu berbicara. "Saya sudah memeriksa semuanya." Langkah kakinya terhenti, bergeming di tempatnya berdiri lalu buru-buru mundur ketika punggung yang dikenalnya itu akan berbalik, bersembunyi di balik pilar bangunan di belakang hiasan pot bunga besar dan diam menunggu sampai di dengarnya langkah kaki seseorang itu semakin mende
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Zaf bangkit membuat Alva langsung kaget, berjalan menghampiri putrinya yang menunggu anak lelaki itu membukakan permen bentuk bunga matahari itu dengan sabar. Zaf menyimpitkan mata, mencoba mengabaikan tatapan Shine yang sesaat tadi beradu dengannya dan menaikkan alis penuh curiga. Zaf mengabaikannya karena yang terpenting saat ini menyelamatkan putrinya dari penggoda yang hanya bermodalkan permen itu. Zaf berdiri di belakang Lize dengan tatapan tajam membuat anak lelaki itu reflek menatapnya dan tertegun. Zaf menarik senyum ke sudut bibirnya menakuti membuatnya langsung mengerjapkan mata. Saat Lize berbalik, Zaf sontak tersenyum. “Papi—“ Ucap Lize dengan senyuman lebar. “Hai sayang, kau sedang apa?” “Mau makan permen,” ujarnya seraya menunjuk permen bunga di tangan anak lelaki itu. “Ah begitu.” Zaf mendekat, melipat satu kakinya agar sejajar dengan Lize sembari tangannya mengambil permen lain di meja dan membukanya. “Rasa strawberry lebih enak. Ini Papi bukakan.” Mengabaikan an
Seattle, Amerika Gaster Coorporation semakin berkembang pesat. Setelah berhasil memperjuangkan cintanya, memperistri Shine dan mendapatkan malaikat secantik Lize juga Lucia yang kedatangannya benar-benar tidak terduga, Zaf memboyong anggota keluarganya menetap permanen di Seattle dan menjalankan bisnisnya yang tersebar di berbagai belahan dunia dari sana. Sebagai kepala keluarga, pebisnis dan suami yang saat ini tengah bahagia menjalankan perannya, Zaf benar-benar merasa sedang berada di momen terbaik hidupnya. Pada akhirnya dia menemukan tempat untuk pulang bukan lagi persinggahan, diberi kesempatan menjadi hot Daddy untuk kedua putrinya. Suatu keberkahan yang diberikan Tuhan padanya. “Bukankah mereka terlalu cepat besar,” gumam Zaf di samping sepupunya, Alva Alexander memperhatikan gadis mereka masing-masing yang sedang asyik bermain bersama teman-teman sepantaran mereka dalam acara ulang tahun Angela, putri Alva yang berumur tujuh tahun di taman kediaman keluarga Alexander di Ne
Teriakan itu membuat Zaf reflek menoleh ke atas tebing dan ternganga saat melihat Shine sudah berdiri di atas sana sembari berkacak pinggang. Bagaimana bisa dia sudah ada di atas sana? “Ngapain kau di situ?” “Hmm, entahlah. Enaknya ngapain ya.” Zaf mengeryit, “Kalau begitu ayo turun.” Meski tebingnya tidak terlalu tinggi dan kalaupun Shine jatuh ke bawah dia akan masuk ke dalam air tetap saja Zaf tidak mau istrinya itu kenapa-napa. “Look at me Zaf.” Zaf yang tadinya sudah berniat menyusul Shine langsung terhenti. Dilihatnya Shine tersenyum menatapnya membuatnya terpaku. Istrinyalah yang tercantik di dunia selain Maminya dan Lize, tentu saja. “Terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan.” Disela suara air, Zaf tidak mengerti kenapa Shine tiba-tiba bersikap sok terharu. “Seharusnya sejak awal kau mengatakannya agar aku senang.” “Dasar menyebalkan!!” dengus Shine. “Sekarang waktunya pertunjukan.” Zaf mengeryit tidak mengerti. Tercengang saat Shine dengan tatapan nakal mul