Suara itu membuat mereka menoleh dan mendapati Arsen yang muncul entah dari mana dengan senyuman di wajah, mendekat tanpa sekalipun melihat ke arah Zafier dan berdiri di samping Melvina. "Aku sudah menunggumu sejak tadi pagi.""Hah?" Shine jelas bingung."Arsen sudah sejak pagi berada di sini menemani Mama nungguin kamu datang." Shine memandangi Arsen yang tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi diantara mereka. "Dan juga Mama sudah menyetujui pemintaannya untuk melamar kamu."Shine melotot, Zaf mengepalkan tangannya dengan tatapan tajam ke arah Arsen, tidak menyangka kalau inilah yang dia rencanakan. Dia jelas luar biasa terkejut."Tapi Mam—" Shine jelas tidak bisa diam saja. "Shine dan Zafier—""Shine--" panggil Mamanya membuat Shine bungkam, membalas tatapan matanya yang lembut tapi jelas tidak mau dibantah. "Mama bisa tenang kalau kamu bersama dengan laki-laki yang baik seperti Arsen yang Mama percayai. Zafier pasti akan mengerti kan?"Melvina menoleh ke Zaf yang terdiam kaku
Mamanya juga Arsen tersentak kaget saat Shine melepaskan diri dari himpitan mereka sesaat setelah masuk ke dalam kamar, berdiri menghadang dengan tatapan sarat emosi."Apa kalian sama sekali tidak peduli dengan pilihanku?"Shine berusaha menahan sengatan emosinya, berbicara dengan suara rendah tapi terasa lebih bergetar dari pada seharusnya. Shine harus berhati-hati karena Mamanya sedang dalam masa pemulihan dan kondisinya masih rentan jika sedang tertekan. Tapi dia jelas tidak bisa terima ketika mereka memutuskan sesuatu seenaknya sendiri, terlebih jika hal itu menyangkut hidupnya."Apa kalian berdua tidak mau bertanya dulu bagaimana perasaanku?" "Shine—""Jangan mendekat!!" Shine melotot garang ke Arsen. "Aku ingin menonjok wajahmu itu sekarang juga. Kalau kamu mau tetap aman, diamlah di tempatmu, Arsen Marvello!!""Sayang—" Mamanya yang maju mendekat. "Jangan seperti itu sama Arsen."Shine mengalihkan tatapannya, mengabaikan kenyataan kalau Mamanya lebih membela Arsen."Gak apa- a
Zafier sudah lama tahu kebenaran tentang masa lalu keluarga Shine Aurora. Dia sengaja tidak mengatakannya karena dia tidak memiliki hak melakukannya. Itu akan menjadi pembicaraan yang panjang antara Melvina dan putrinya dan Zaf tidak bisa melangkahinya dengan memberitahukan kebenaran itu lebih dulu.Zaf pernah memiliki pemikiran kalau Melvina akan bersikap lebih protektive pada putrinya karena didekati jenis lelaki sepertinya, persis seperti sikap Shine dulu padanya yang begitu membencinya, tapi pemikiran itu dia tepis saat dia membawakan surat Abigail dua tahun lalu, berharap Melvina melihat kesungguhannya. Banyak hal yang Zaf katakan saat itu, tentang perasaannya ke Shine tapi hal itu jelas sia-sia dan tidak sampai ke Melvina yang masih dalam keadaan depresi."Ini kedua kalinya kau datang."Zaf duduk, menyorongkan bir yang dibawanya di atas meja kecil di samping lelaki bule paruh baya yang asyik dengan alat pancing di tangannya, di pinggir kolam pemancingan. Zaf mengeluarkan rokok
"Shine—" "Aku mengangguk setuju di depan Mamaku, bukan berarti aku benar-benar setuju untuk menikah denganmu," desis Shine, melipat lengannya di dada sepanjang perjalanan di samping Arsen. "Kamu sudah berjanji dan Mamamu akan kecewa kalau kamu bersikap lagi seperti ini." "Dengar Arsen!!" Shine menoleh penuh amarah. "Kamu tidak bisa bersikap seenaknya seperti ini padaku. Pokoknya aku mau pulang!" "Ya ini kita lagi dalam perjalanan pulang." "Aku gak mau pulang sama kamu!!" teriak Shine, Arsen memukul setir mobilnya dengan kesal membuat Shine mendengus dan memalingkan wajah. "Kamu akan menjadi milikku," desis Arsen. "Milikku Shine. Zafier gak pantas buatmu." Shine menoleh dengan mulut ternganga lalu kaget saat tiba-tiba Arsen menginjak rem mobilnya sampai menimbulkan bunyi berdecit nyaring dan dia tersentak ke depan saat mobil sempurna berhenti. "BRENGSEK!!" umpat Arsen dengan tatapan lurus ke depan, melihat mobil Zafier menghadang jalan dan sosoknya berdiri di sana dengan tangan
"Katakan sekali lagi." Arsen memasukkan satu tangan ke saku celana, berdiri di balik dinding kaca tidak jauh dari ruangan meeting perusahaan Waster Grup, memegang ponsel yang menempel di telinga di tangan yang lain. "Om takut salah mendengarnya." "Aku akan segera menikahi Shine Aurora." Di sebrang sana, Om Martinnya terdiam sesaat lalu perlahan tawanya menggema disertai pekikan. "BRAVO ARSEN MARVELLO!!" Arsen tersenyum miring, menatap bangunan tinggi di luar dengan tatapan menerawang. Pagi-pagi sekali, Arsen datang ke apartemen Shine untuk membawa wanita itu pergi dan tinggal bersamanya di apartemennya agar Zafier tidak bisa seenaknya datang. Meski awalnya mereka harus adu mulut tapi Shine akhirnya menyetujui, dengan syarat, Arsen tidak boleh ikut campur dalam urusan pekerjaannya dan juga dia hanya tinggal sementara sampai Mamanya keluar dari Panti minggu depan dan tinggal di apartemennya. Arsen mengiyakan, tidak mau memaksakan kehendaknya lebih jauh, karena yang terpenting, Shine
"Kamu membela Arsen!" Shine mendengus marah, membiarkan saja perias menyapukan make up di wajahnya untuk pemotretan hari ini. "Kamu tidak mau menerima pilihanku."Sasha yang duduk di sampingnya menghela napas, menatap dari pantulan kaca rias. "Aku hanya mau kamu bahagia Shine, sama seperti keinginan Mamamu.""Bukan berarti sama Arsen," desisnya."Jadi bersama Zafier?" tanya Sasha, memijit pelipisnya, nampak juga kesal. "Aku tidak begitu percaya padanya. Bagaimana nanti kalau kamu disakitin sama dia?"Shine sudah akan melontarkan kata-kata balasan untuk membela Zaf, tapi tertahan di ujung lidah, dikatupkannya lagi bibirnya saat melihat tatapan kesedihan juga khawatir Sasha di sana hingga membuatnya sadar, sahabatnya hanya mengkhawatirkannya.Shine menoleh, mengambil telapak tangan Sasha dan menggenggamnya seraya tersenyum. "Aku tidak bisa menjabarkan bagaimana Zafier Gaster saat ini untuk mematahkan anggapanmu kalau dia tidak bisa dipercaya tapi percayalah Sha—" Shine menatap lekat sah
"Pergilah," ucap Zaf, menegak lagi whiskeynya, terlihat sudah mulai kehilangan kesadarannya karena mabuk. "Aku tidak membutuhkanmu." Wanita itu mengacuhkannya, bibirnya yang seksi menjelajah di rahang Zafier yang tanpa sadar menengadahkan kepalanya, menyandar di sofa dan menikmati setiap kecupannya yang tidak hanya berada di satu tempat. Membuat Zaf kehilangan akal, merasakan perasaan terbakar yang tidak bisa ditahannya, melarikan tangannya di sekitar pinggang wanita berambut blonde itu dan meremasnya di sana, meleguh saat wanita itu tidak berhenti menciumi setiap jengkal kulitnya yang terekspos. Zaf sedang berada di dalam pengaruh obat yang sejak awal di campurkan ke dalam minumannya. Tidak lagi bisa mengelak dan mengusir wanita itu yang membangunkan hasratnya. "Sial!!" desis Zaf, menarik tengkuk wanita itu agar mereka bisa saling menatap. "Kamu membahayakan." Wanita itu hanya tersenyum miring dan tersentak kaget saat Zaf menarik tengkuknya dan melumat bibirnya tanpa ampun di bawa
Flashback On "Kamu harus ikut denganku ke pesta!" Shine meletakan tas juga jaket jeans miliknya di sofa, melipat lengan seraya memandangi Arsen yang tiba-tiba saja datang tidak lama setelah menerima pesan singkatnya. Nada memerintahnya jelas membuat Shine meradang. "Aku punya pekerjaan yang lebih penting dari pestamu itu!" Desis Shine. "Jangan mengaturku sesuka hatimu. Kamu sudah janji untuk tidak mencampuri pekerjaanku." "Tapi aku membutuhkanmu di sana." "Untuk apa?" Shine mengangkat dagu. "Untuk pamer atau membuatmu merasa menang dari Zafier. Begitukah?" Arsen mengeraskan rahang mendengar tuduhan Shine, bergerak mendekat dan memegang lengannya. "Jangan membuat seakan-akan akulah penjahatnya di sini." Shine tersenyum miring, "Jadi kamu mau disebut pahlawan?" "Kamu tahu kalau sejak dulu aku berusaha keras untuk menjagamu begitu juga saat ini. Seharusnya kamu bisa mengerti bagaimana pandanganku terhadap si brengsek itu!" "Zaf memang bajingan tapi bukan berarti dia tidak bisa b
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Zaf bangkit membuat Alva langsung kaget, berjalan menghampiri putrinya yang menunggu anak lelaki itu membukakan permen bentuk bunga matahari itu dengan sabar. Zaf menyimpitkan mata, mencoba mengabaikan tatapan Shine yang sesaat tadi beradu dengannya dan menaikkan alis penuh curiga. Zaf mengabaikannya karena yang terpenting saat ini menyelamatkan putrinya dari penggoda yang hanya bermodalkan permen itu. Zaf berdiri di belakang Lize dengan tatapan tajam membuat anak lelaki itu reflek menatapnya dan tertegun. Zaf menarik senyum ke sudut bibirnya menakuti membuatnya langsung mengerjapkan mata. Saat Lize berbalik, Zaf sontak tersenyum. “Papi—“ Ucap Lize dengan senyuman lebar. “Hai sayang, kau sedang apa?” “Mau makan permen,” ujarnya seraya menunjuk permen bunga di tangan anak lelaki itu. “Ah begitu.” Zaf mendekat, melipat satu kakinya agar sejajar dengan Lize sembari tangannya mengambil permen lain di meja dan membukanya. “Rasa strawberry lebih enak. Ini Papi bukakan.” Mengabaikan an
Seattle, Amerika Gaster Coorporation semakin berkembang pesat. Setelah berhasil memperjuangkan cintanya, memperistri Shine dan mendapatkan malaikat secantik Lize juga Lucia yang kedatangannya benar-benar tidak terduga, Zaf memboyong anggota keluarganya menetap permanen di Seattle dan menjalankan bisnisnya yang tersebar di berbagai belahan dunia dari sana. Sebagai kepala keluarga, pebisnis dan suami yang saat ini tengah bahagia menjalankan perannya, Zaf benar-benar merasa sedang berada di momen terbaik hidupnya. Pada akhirnya dia menemukan tempat untuk pulang bukan lagi persinggahan, diberi kesempatan menjadi hot Daddy untuk kedua putrinya. Suatu keberkahan yang diberikan Tuhan padanya. “Bukankah mereka terlalu cepat besar,” gumam Zaf di samping sepupunya, Alva Alexander memperhatikan gadis mereka masing-masing yang sedang asyik bermain bersama teman-teman sepantaran mereka dalam acara ulang tahun Angela, putri Alva yang berumur tujuh tahun di taman kediaman keluarga Alexander di Ne
Teriakan itu membuat Zaf reflek menoleh ke atas tebing dan ternganga saat melihat Shine sudah berdiri di atas sana sembari berkacak pinggang. Bagaimana bisa dia sudah ada di atas sana? “Ngapain kau di situ?” “Hmm, entahlah. Enaknya ngapain ya.” Zaf mengeryit, “Kalau begitu ayo turun.” Meski tebingnya tidak terlalu tinggi dan kalaupun Shine jatuh ke bawah dia akan masuk ke dalam air tetap saja Zaf tidak mau istrinya itu kenapa-napa. “Look at me Zaf.” Zaf yang tadinya sudah berniat menyusul Shine langsung terhenti. Dilihatnya Shine tersenyum menatapnya membuatnya terpaku. Istrinyalah yang tercantik di dunia selain Maminya dan Lize, tentu saja. “Terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan.” Disela suara air, Zaf tidak mengerti kenapa Shine tiba-tiba bersikap sok terharu. “Seharusnya sejak awal kau mengatakannya agar aku senang.” “Dasar menyebalkan!!” dengus Shine. “Sekarang waktunya pertunjukan.” Zaf mengeryit tidak mengerti. Tercengang saat Shine dengan tatapan nakal mul