Zafier tertegun menatap wajah Shine yang semula pucat berangsur kembali berwarna. Rasa panik di dalam dadanya menyurut perlahan. Disapukannya jemarinya di pipi Shine yang masih terasa dingin dengan hati-hati seakan-akan wajahnya perwujudan sempurna sebuah kristal yang mudah pecah meski pada kenyataannya wanita yang tertidur dengan kepala di pangkuannya itu begitu tangguh.Satu jam yang lalu, dia hampir kehilangan Shine Aurora. Detak jantung wanita itu sempat terhenti sesaat akibat hipotermia yang menyerangnya karena tubuh tropisnya belum bisa menyesuaikan dinginnya udara Alaska padahal dia hanya keluar tidak lebih dari beberapa menit di luar sana.Tapi sekian detik detak jantungnya melemah dan sempat menghilang, dunia Zafier seakan berhenti berputar untuk selamanya."Kate, please, periksa lagi keadaannya." Zafier menoleh ke Kate, kekasih Aldrick beberapa bulan ini yang berprofesi sebagai dokter. "Katakan kalau dia sudah baik-baik saja."Kate yang duduk di pangkuan Aldrick di sisi bagi
"Para wanita ini begitu menyebalkan dan juga cerewet," desah Aldrick membuat Zaf dan Kellan yang ada di masing-masing sisinya mengangguk bersamaan seraya memandangi para wanita yang sibuk tertawa-tawa dan berfoto untuk di upload di sosial media mereka. "Tapi kalau tidak ada mereka, perjalanan ini hanya akan terisi tiga laki-laki yang mungkin dicap gay." "Brengsek!!" ucap Zaf dan Kellan seraya memukul bahu Aldrick di masing-masing sisi. Zaf berdecak, melihat Shine yang berfoto dengan senyum bahagia. "Kita ada di sini untuk membahagiakan mereka. Persetan dengan klub bucin atau apalah itu namanya!!" "Aku sama sekali tidak suka mendengar istilah itu," decak Aldrick. "Mereka memang sangat berbakat membuat kita terlihat mengenaskan." Kellan menepuk bahu Aldrick. "Kau masih belum ada apa-apanya dibandingkan aku dan Zaf jadi jangan menggerutu terus. Pikirkan saja apa yang akan kita dapatkan nanti malam di atas ranjang. Percintaan panas di tengah pegunungan es dengan taburan bintang di ata
"Apa kau masih takut masuk ke dalam air?" Mereka berdua berdiri di pinggir kolam air panas yang berada di antara hamparan salju di balik bukit yang ada di Fairbanks tidak jauh dari Villa Aldrick. "Aku belum begitu yakin." "Siapa dia?" Zaf bergeming mendengar pertanyaan Shine. "Sampai kau mendapatkan trauma seperti ini?" Zaf mengalihkan tatapannya. "Masa laluku. Kemarin saat kau mendorongku ke air, aku masih bisa melihat wujudnya dengan jelas terbayang di mataku hingga menyeretku semakin dalam kalau saja kau tidak datang. Mungkin sekarang pun masih akan tetap sama." "Kau belum benar-benar merelakannya." Zaf kembali menoleh mendengar nada menyindir Shine. "Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku melihatmu seperti seorang pengecut. Aku ingat kau langsung pergi setelah aku menyelamatkanmu yang tenggelam saat di Riau. Apa kau langsung menangisinya di kamar?" Zaf mengalihkan tatapannya. Shine berdecak. "Apa kau akan tetap terus seperti ini?" "Percayalah Shine." Zaf menghadapnya. "I
"Shine—" Shine tersenyum meski saat ini matanya dipaksa untuk memejam dan terhalang tangan Zaf yang memeluknya dari belakang. "Aku ingin menunjukkan sesuatu." "Apa? Jangan-jangan kau mau bugil di tengah salju ya—AWWW!" Shine memekik saat Zaf mencubit lengannya karena perkataannya. "Itu kata-kata termesum yang pernah aku dengar darimu," decaknya. "Aku hanya bercanda. Sensitive sekali." Shine manyun. "Aku akan menghajarmu kalau kau tidak bisa membuatku terpana dengan apa yang mau kau tunjukan." "Meremehkan," cibir Zaf. "Aku yakin kau akan bengong." "Berisik!!" desis Shine. "Mana sih lama banget!" "Bisa sabar gak?" Zaf balik nyolot. Saat ini mereka berada di Borealis Basecamp setelah menempuh beberapa jam perjalanan dari Villa Aldrick dan mereka akan menginap semalam. Penginapan berbentuk setengah lingkaran yang bagian atasnya transparan hingga yang ada di dalam bisa melihat langsung ke arah langit. Zaf mengecup kepala Shine lalu berbisik. "Aurora milikku datang bagai keajaiban
Jakarta, Indonesia "Foto-foto ini—" Lelaki yang duduk dibalik meja kerjanya di ruangan Chief Executive Officer salah satu perusahaan Multimedia itu terlihat memperhatikan satu persatu lembaran foto di tangannya dengan tatapan tidak percaya. Dahinya berkerut samar, sesaat setelah melihat satu lembar foto terakhir, dia hempaskan semua tumpukan foto itu di atas meja dengan amarah yang tidak bisa disembunyikan. "Zafier Gaster kembali," ucap Sekretarisnya, seakan mengonfirmasi ulang bukti foto yang terpampang dengan tujuan ingin mengobarkan amarahnya semakin besar. Lelaki itu mengangkat pandangannya. "Kenapa CIA tidak mengeluarkan pernyataan resmi?" "Entahlah. Aku berpikir kalau Zafier Gaster sendirilah yang akan memberikan pernyataan di depan publik nantinya setelah dia pulang dari liburan romant—" BAAAKKK!!! Meja kerjanya bergetar akibat pukulan kepalan tangannya. "Brengsek!! Dia sengaja belum menampakkan diri seperti ini dengan maksud terselubung." "Mereka tidak sengaja bertemu
Zafier tetaplah Zafier. Sang penggoda yang bisa menjerat lawannya hanya dengan senyuman. Shine tidak tahu kenapa dulu dia begitu yakin kalau Zaf bisa menghilangkan kebiasaannya itu. Hubungan mereka memang berubah tapi Shine masih tetap berhati-hati. Dia tidak mau jatuh yang benar-benar jatuh karena itu akan menghancurkan dirinya sampai berkeping-keping. "Apa kau akan tetap membiarkan lelaki itu bertingkah semaunya sendiri?" Jenna berdiri di sampingnya, sama-sama memandangi Zafier yang sedang berbincang akrab dengan dua wanita cantik yang kelihatan sekali berusaha menggoda. "Kalau aku jadi kau, dia sudah aku tendang sampai keluar."Shine menaikkan dagunya. "Mungkin dia berharap, aku marah dan menangis melihat tingkahnya." Shine tersenyum miring dengan mata menyimpit tajam. "Aku punya ide yang lebih bagus dari itu." Jenna menoleh heran, "Maksudmu?"Shine mengerling, bergerak mendekati mejanya di mana ada Kellan memandanginya di sana, mengambil cangkir coklat hangat miliknya yang sisa
"Selama ini dia tertekan memikirkanmu, sayang." Zaf hanya diam, duduk di kursi di samping tempat tidur Papinya yang masih terlelap. Keadaannya sudah jauh lebih baik setelah kemarin sempat kritis meski alat kedokteran masih terpasang di tubuhnya. "Dia hanya memikirkan Max," jawab Zaf akhirnya. Max, kembarannya selalu menuruti semua kemauan Papinya. Maminya menghela napas, menatapnya penuh sayang. "Mungkin Papi pernah mengambil keputusan yang salah tapi dia selama ini menyesalinya." "Kalau dia tidak pernah mengambil keputusan itu, Max akan berdiri di sini bersama kita." Zaf mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. "Nyatanya kita semua kehilangannya." Dan memberikan Zaf rasa penyesalan yang dalam karena pertemuan terakhir mereka diwarnai dengan perkelahian. "Dia terlalu egois untuk sekedar mengatakan penyesalannya dan memilih mengacuhkanku, menyalahkanku untuk musibah itu." "Kalian berdua sama keras kepalanya," desah Maminya. "Itulah kenapa dia mencintai Max yang selalu menuru
"Zaf— Shine mengusap telinganya, takut salah dengar. "Apa tadi, Tan?" Tante Julie yang duduk di sampingnya memberikan isyarat dengan tangan menyuruhnya mendekat hingga membuatnya langsung merapat dan bersiap untuk mendengarkan bisikannya. "ZAFIER ITU TERLAHIR KEMBAR!" "Demi Tuhan!" Shine langsung mundur seraya mengusap telinganya. "Tante gak perlu pakai teriak kayak gitu dong. Shine kaget." "Salah kau sendiri. Sudah dua kali Tante kasih tahu masih aja gak percaya." Shine cengengesan. "Shine tetap gak percaya ah, Tan." Tante Julie jelas mendelik, Shine langsung berkilah. "Satu Zafier di muka bumi aja sudah lebih dari merepotkan dan membuat orang kesal apalagi ada dua." Shine menggeleng kencang. "Jangan lakukan ini padaku Tan." "Seharusnya Tante marah ya, anak Tante dijelek-jelekin modelan gini tapi karena memang itu kenyataannya ya gak bisa dibantah." Tante Julie memotong steak daging di piringnya sementara steak milik Shine sudah ludes duluan karena lapar. Tante Julie tadi meny