Friska bergetar menahan tangis, matanya mulai panas pun dengan hatinya. Padahal beberapa waktu lalu ia sedang berusaha untuk bisa tegar. Tetapi nyatanya tak semudah yang terucap.
Cepat-cepat ia membuka sosial media mertuanya, benar saja ia sedang melakukan siaran langsng disebuah acara yang tadi disebutkan oleh Amara. Lokasi, suasana semuanya pun menggambarkan hal yang sama. Bahkan sekilas Friska pun menangkap sosok Zafriel yang sedang berbincang dengan Gladies dan Yoana.
Tak memikir panjang, Friska sontak memblokir akun sosial media mertuanya, bahkan akun Amara pun ia blokir. Karena amarahnya semakin berkobar, ia pun membuka sosial media Zafriel dan kembali melihat postingan yang sama, jadilah Zafriel pun ia blokir.
“Kalian benar-benar jahat!!” Friska berteriak sendirian. Memukul stir mobil. Ia bahkan tak menyadari bahwa sedari tadi mobil dibelakang sudah mengklaksonnya berkali-kali.
Mengingat jalanan sudah kembali lengang, sementara Friska m
“Aku bisa melihat dengan jelas dari wajahmu, Fris.” Zafriel menatap lurus. Meski sudah tidak ada air mata, tetapi sorot sendu di wajah Friska tetap tidak bisa disembunyikan.Friska menelan ludah dengan berat. Darah dalam tubuhnya terasa mendidih terbayang bagaimana acara di dalam tadi. Merasa sudah dikhianati oleh keluarga suaminya sendiri, bahkan oleh Zafriel yang sebenarnya tidak tau apa-apa.“Aku permisi, Zaf.” Friska langsung memasuki mobil saat melihat dari arah lain Amara tengah melihatnya dengan ekspresi kebingungan.“Friska, tunggu!” Zafriel kembali memanggil. Tetapi wanita dalam mobil itu tak lagi menghiraukan dan memilih beranjak cepat-cepat.Pria itu hanya bisa menatap hingga mobil Friska menghilang dari pandangan. Hatinya merasa sangat resah dan kasihan melihat teman lamanya itu. Jadilah, Zafriel pun memilih kembali ke tengah-tengah acara.Namun, tujuannya bukan untuk melanjutkan acara, melainkan berpamitan dengan sang pemilik acara. Bagaimanapun ia datang baik-baik dan ha
Friska menyeka air mata, kemudian menyalami nenek juga ayahnya. Mereka kemudian duduk bersama di ruang tamu. Membicarakan hal yang cukup serius ini. Setiap sebulan sekali, neneknya itu memang akan berkunjung ke rumah putranya. Kebetulan sekali saat kedatangannya kali ini ada Friska juga di sana. “Maksud Mbah putri apa?” tanya Friska. “Kamu dibilang mandul oleh mertuamu kan?” kata Mbah putri. Friska hanya menunduk lemah. Jika sedang bersikap tegas, wanita tua itu terlihat lebih mengerikan. “Memangnya kalian sudah sejauh apa memeriksakan kesehatan sampai si Farida itu menyimpulkan kalau kamu yang mandul?” tanya Raden Arya, ayah Friska. “Kami baru sekali ke dokter kandungan, Pa.” Kata Friska. “Terus apa kata dokter?” tanya Arya. “Kondisi aku terakhir hanya gangguan hormon karena terlalu stress. Sisanya keadaan rahimku baik. Itu pun hanya di lihat dari pemeriksaan USG aja. Kami belum konsultasi lebih jauh lagi,” ujar Friska. “Terus keadaan suamimu gimana?” tanya Arya lagi. “Faris
Friska menghela napas panjang. Untuk apa juga wanita itu menghubunginya? Namun, Friska tak mau banyak mengambil pusing, soal mertuanya saja sudah cukup membuat hati dan kepalanya hampir meledak penuh kesal.Kemudian ia hanya membalas seperlunya saja, yang menunjukkan kalau ia bersedia untuk bertemu. Gladies juga yang menyarankan lokasi tempat mereka akan bertemu. Friska hanya mengikutinya saja.“Apa pun yang mau dia bicarakan, aku tetap harus mengambil sikap tegas juga, Ris.” Besok paginya Friska berbincang dengan suaminya di telepon. Memberi tahu soal ajakan Gladies.“Iya tapi apa perlu kalian bertemu? Aku yakin, wanita itu hanya ingin mempermainkan kamu aja, Sayang! Maksudku ... mungkin aja dia mau memperkeruh keadaan!” ujar Faris di seberang panggilan.“Itu kekanak-kanakan banget, Ris. Lagian, anggap aja ini sebagai teguran awal buat Gladies supaya gak mengusik hidup kita!” kata Friska.Faris menghela napas di seberang panggilan.“Sayang, selain membahas soal kedekatan dia sama mam
Gladies tersenyum tipis. Ia memang selalu berlebihan dalam hal apa pun, bahkan tanpa persetujuan orang tuanya, ia berani menjanjikan kerja sama antara perusahaan orang tuanya dengan perusahaan keluarga Faris. Itu fatal sekali.Untung saja Faris memiliki saham besar di perusahaan keluarganya sehingga apa pun yang terjadi tetap harus atas persetujuannya. Friska pun tidak tega melihat kegusaran ayahnya karena kesalahpahaman itu. Karena dana yang disuntikan pada perusahaan Gandha bukan jumlah yang main-main.“Oke, aku mengerti. Tapi terlepas soal itu semua, aku benar-benar minta maaf karena telah membuat kamu sedih, Friska. Karena mertuamu lebih sayang padaku dari pada kamu!” ucap Gladies yang kali ini mengalihkan topik.Sementara Friska hanya mendengus perlahan. Baginya Gladies seperti ABG yang hobi-nya mencari pengakuan.Friska menyeringai kecil seolah sangat jijik dengan pernyataan Gladis yang sama sekali tidak membuatnya merasa direndahkan. Justru Friska semakin memahami wanita sepert
Wajah gadis itu tampak penuh dengan kesedihan dan keterkejutan.“Ada apa, Yoana? Kenapa kamu menangis?" tanya Zafriel yang tampak terheran. Kemudian Yoana duduk di kursi yang berdekatan dengan Friska.Friska pun mengusap bahu Yoana yang bergetar. Perempuan itu masih berusaha keras untuk menenangkan diri sambil terisak-isak."Orang tua kami ...," suaranya gemetar.“Kamu harus mencoba untuk tenang, Yoana," ujar Friska sambil mengusap lembut bahu Yoana.Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Zafriel dan Friska memberikan Yoana waktu yang untuk bisa mengendalikan diri.Akhirnya, Yoana bisa mengatur napasnya kemudian perlahan menjelaskan.“Mama dan Papa ... mereka mengalami kecelakaan tunggal, Kak,” ucap Yoana dengan suara parau.“Benarkah? Kecelakaan?” Zafriel bertanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.“Mereka mengalami kecelakaan beberapa jam lalu di Malaysia. Saat aku akan menyusul ke sana, pihak rumah sakit mengabari kalau mereka tidak bisa diselamatkan dan... meninggal.” Yoa
“Apa yang Anda bicarakan, Bu Ratna?” Farida seolah tercenung melihat kedatangan Raden Arya juga ibunya itu.“Ucapanmu itu sudah sangat keterlaluan! Bukan hanya ucapan bahkan sikap dan perilakumu pada cucuku sudah tidak bisa dimaafkan!” tandas Mbah Putri.“Tapi apa yang saya bicarakan itu semua fakta! Memang Friska yang bermasalah dalam hal ini!” ujar Farida yang masih tampak angkuh.Mbah putri menghela napas dan menyeringai sinis. Sementara Friska hanya berdiri mematung. Ia enggan untuk bersuara lagi. Lelah berdebat dengan orang tua yang sangat egois itu.“Memangnya kamu punya bukti apa sampai mengira cucuku mandul? Apakah kamu sudah melihat rangkaian pemeriksaan medis? Lalu, bagaimana jika ternyata putramu yang bermasalah?” Mbah Putri menatap penuh menantang.“Itu tidak akan terjadi!” balas Farida.“Bu, sudahlah. Ingat! Apa tujuan kita datang ke rumah sakit ini!” bisik
“Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa sih dia ambisi banget sama keluarga itu?” Kini Amara yang terlihat sangat kesal.“Itulah, kelemahan papa, tidak bisa mengendalikan keinginan mamamu yang satu itu!” ucap Gandha.“Itu bukan kelemahan Papa. Tapi emang Mama-nya aja yang gak bisa di kasih tau!” ketus Amara.“Ya udah. Sekarang kita ke rumah sakit aja!” sambung Amara. Saat melihat ayahnya dalam keadaan yang kurang sehat.“Loh kenapa ke rumah sakit? Kita kan mau ke bandara!” kata Gandha.“Gimana aku bisa pergi kalau keadaan Papa kayak gini? Yang ada nanti Papa kenapa-napa sendirian!” ujar Amara yang melepas seat belt dan hendak menggantikan ayahnya untuk mengemudi mobil.“Papa udah lebih baik kok, Nak.” Gandha berusaha tersenyum.“Ya udah, kalau gitu kita pulang aja ke rumah. Papa harus istirahat biar aku balik ke Jerman lusa aja!” ujar Amara.Jadilah, Amara dan ayahnya memilih untuk pulang ke rumah. Sementara itu di lain tempat, Friska dan ayahnya beserta Mbah Putri sudah berada di sebu
“Apa-apaan ini?” gumam Friska yang masih tak percaya. Degup jantunya seperti berhenti berdetak.“Kami yakin, Zafriel adalah pria yang tepat untukmu. Dia pasti bisa membahagiakan kamu seperti Faris!” ucap Arya dengan yakin.“Tidak!!” tolak Friska cepat dan tegas. Membuat suasana menjadi semakin tegang. Friska tak pernah sebelumnya terlihat sangat tegas dan marah dihadapan keluarganya.Mungkin kali ini emosinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya karena satu persoalan, yaitu perihal keturunan. Suatu hal yang sangat sensitif di beberapa kalangan yang begitu mengharapkan.“Sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lebih jauh lagi! Ini sudah terlalu berlebihan, Pa!” Napas Friska naik turun dengan berat. Tubuhnya mulai merasakan getaran akibat menahan tangis dan emosi. Daripada meledak, Friska memilih untuk menyudahi pertemuan itu.“Apa pun yang terjadi denganku