“Apa…” Dokter itu jelas terkejut, dan langsung mundur menjauh dari Ayu. Bukan bermaksud kasar, tapi Hide yang mendekati Ayu membuatnya sedikit takut.Wajah Hide berubah menjadi menyeramkan begitu mendengar permohonan Ayu.“Aku tidak akan izinkan!” geram Hide, meraih tangan Ayu—menyentak, meminta Ayu untuk memandang dirinya.“Aku tidak mau! Aku tidak akan membawa…”“Itu anakku, dan kau akan menjaganya.” Hide mendesis menatap mata Ayu yang basah. Biasanya Hide akan menyerah pada permohonan dan air mata Ayu. Tapi tidak untuk kali ini. Hide terus menatap tajam, sampai pandangan Ayu beralih.“Maaf, tapi kami tidak bisa melakukan prosedur yang Anda minta tanpa persetujuan dari ayah bayi yang ada dalam kandungan Anda.” Dokter yang ada di sudut ruangan itu menjelaskan secepat mungkin. Dia menjelaskan karena sudah jelas tidak ingin berada dalam sisi buruk Hide.“Terima kasih. Kami akan pulang.” Hide menyerahkan kartu kredit pada perawat yang juga menunggu dengan kebingungan di dekat pintu. Per
Ayu mengeratkan genggaman tangannya pada tas, sementara kakinya melangkah turun dari kereta—lima stasiun lebih cepat dari biasanya. Ayu berjalan cepat—agar tidak terbawa arus rombongan penumpang yang ingin berpindah kereta—menuju pintu keluar. Ayu menatap sekitar, dan melambai memanggil taksi. Tujuannya sedikit jauh.Ayu sama sekali tidak menyadari saat ada orang yang juga memanggil taksi dengan begitu cepat, sementara tangannya memegang ponsel di telinga sibuk bicara. Pemandangan biasa, yang tidak biasa adalah saat taksi yang ditumpangi pria itu membuntuti taksi yang ditumpangi Ayu tepat di belakangnya.Tapi Ayu tidak mungkin curiga. Keberadaan taksi adalah umum saat jam sibuk seperti ini. Dan pikiran Ayu juga terlalu sibuk untuk memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Ayu terus meremas kedua tangan yang ada di pangkuan. Meredakan keraguan dan juga terus menanamkan pikiran jika apa yang dilakukannya adalah paling benar. Pilihannya seharusnya benar.Kurang lebih dua puluh menit kemudi
Ayu mendengar suara pintu terbuka, dan hanya melirik. Hide membawa nampan makanan, lalu menatap nampan makanan tadi malam, yang sama sekali tidak disentuh oleh Ayu. Dan ini adalah hari kedua Ayu melakukannya. Semenjak berada di kamar ini, Ayu sama sekali tidak menyentuh makanannya.Hide sudah mengurungnya selama dua hari, dan tidak bicara. Hide hanya datang untuk mengantar makanan, dan sudah. Ini karena Hide tidak ingin rasa marahnya menjalar lebih jauh. Kenekatan Ayu sudah terlalu jauh menurutnya.Tapi Ayu juga tidak tertarik untuk bicara, dan jelas juga tidak tertarik untuk menyentuh semua makanan yang dibawa oleh Hide. Ayu merasa tubuhnya lemas—ia hanya bisa berbaring di ranjang—tapi masih tidak berniat untuk makan menyentuh makanan yang dibawa oleh Hide. Meskipun itu nasi kari kesukaannya.Ini adalah perlawanan. Ayu memaksakan diri untuk tidak makan, karena tahu apa yang dilakukannya akan membuat Hide paling marah. Ayu paham juga apa yang dilakukannya akan membahayakan bagi janin
Sayangnya, Ayu tidak bisa mengobrol di kereta. Jangankan mengobrol, Ayu bahkan tidak melihat Kaito saat kereta berangkat.Banyaknya penumpang, mendesak—memisahkan mereka. Kaito entah berada di mana, sedang Ayu kebingungan terhimpit di dekat pintu tanpa bisa bergerak.Untung saja Ayu berhasil menemukan Kaito saat beberapa orang yang ada di sekitarnya mulai turun, dan tidak lagi terhimpit.Ayu bisa lebih bebas memandang sekitar tanpa penghalang. Lalu tampak Kaito melambai ke arahnya, tapi Kaito terjebak juga—tidak bisa bergerak.Ayu mengacungkan angka tiga dengan jaringnya, lalu menunjuk ke arah pintu keluar di sebelah kirinya. Itu adalah isyarat jika ia akan turun tiga stasiun mendatang. Ayu turun di stasiun yang biasa—yang ada di dekat kantor Shingi Fusaya. Kaito mengangguk mengerti.Ayu ingin memastikan, tapi sayangnya Kaito kembali terdorong menjauh. Tapi setidaknya Ayu berhasil memberitahu dimana dia akan turun.Ayu menerjang—berjuang sekuat tenaga—beberapa orang saat turun. Lebih
“Kita sampai?” Ayu tersentak bangun, merasakan mobil Hide sudah berhenti.Tapi tidak ada jawaban. Ayu melirik ke samping dan tidak mendapati siapapun duduk di kursi kemudi. Ayu menegakkan punggung dan sedikit panik, mengira dirinya sendirian. Tapi ada sesuatu turun dari tubuhnya. Mantel berwarna tanah gelap. Mantel milik Hide yang menutupi tubuhnya. Itu melegakan karena berarti Hide ada di dekatnya.Ayu memandang keluar mobil, dan akhirnya melihat Hide bersandar pada kap mobil. Tampak asap mengepul di sekitar kepalanya. Asap rokok yang membuat Ayu mengernyit. Seingatnya Hide sudah berhenti merokok dulu.Ayu membuka pintu, dan Hide menoleh. Dengan reflek dia mematikan rokok dengan menekannya pada kap mobil dan memasukkan sisanya ke dalam kemasan di kantong.“Dimana kita?” Ayu bingung saat melihat matahari oranye yang condong ke barat di hadapannya, dan pemandangan pantai di depannya sangat asing.“Sendai.” Hide mendorong tubuhnya duduk di atas kap mobil, sementara Ayu ternganga“Sendai
Kaito tersentak, saat merasakan ada tangan yang tiba-tiba menimpa pinggangnya. Kaito membuka mata, tapi memejam lagi karena kepalanya terasa sangat berat dan pusing.Kaito mengernyit dan menekan pangkal hidungnya. Merasa jika dia bermimpi karena seharusnya tidak ada siapapun yang tidur di sampingnya. Sudah beberapa lama Ayu pergi dari rumah. Tapi kemudian Kaito memaksakan diri membuka mata, karena sadar jika berat beban yang menimpa pinggangnya adalah nyata. Dan Kaito juga menyadari jika tubuhnya saat ini berbaring di ranjang—di atas matras empuk, bukan di atas futon. Kaito berbalik ke samping dan membelalak. “Apa yang kau lakukan disini?”Kaito bergeser menjauh, sambil menyambar selimut menutupi tubuhnya. Kaito menyadari tubuhnya polos tanpa apapun.Karin—yang ada di sampingnya, menggeliat. Dan Kaito memaki dalam hati, karena keadaan tubuh Karin juga polos tanpa pakaian seperti dirinya. Karin perlahan membuka mata menatap Kaito—beberapa detik terdiam, lalu memekik. “AGHH!” Karin be
Ayu memalingkan wajahnya yang memerah, malu. Seperti pencuri yang terpergok“Kita sebenarnya ada di mana?” tanya Ayu. Berhasil menemukan pertanyaan. Dan jelas tidak ingin membahas kenapa mereka berada di ranjang yang sama.“Hotel. Aku tidak sanggup menyetir sampai ke Tokyo kemarin malam. Jadi aku berhenti di sini,” jelas Hide, sambil menyingkirkan selimut dan mengusap kepalanya. Menguap dan berdiri menuju kamar mandi.Ayu hanya mengangguk. Tidak akan marah karena Hide mengambil keputusan yang benar. Menyetir dalam keadaan mengantuk sangatlah berbahaya. Ayu kini ingat apa yang dilakukannya sebelum tidur. Mereka sempat berhenti untuk makan, dan setelah berangkat lagi, perutnya terasa mual. Ayu meminum pil anti mual terakhir yang diberikan dokter beberapa hari lalu. Dan setelahnya Ayu tertidur. Hide yang memindahkan Ayu kamar ini, dan Ayu sama sekali tidak menyadarinya.“Kita sarapan, setelah itu kita kembali ke Tokyo,” kata Hide setelah keluar dari kamar mandi.“Ya.” Ayu menyingkirkan s
Rasa bersalah memang akan sangat mempengaruhi keberanian dan rasa percaya diri dengan amat mudahnya. Itu yang terjadi pada Ayu. Sejak tadi Ayu tidak bisa mengangkat kepala, dan seluruh tubuhnya terasa sangat rapuh. Ayu sedang merasa gentar karena rasa bersalah.Jika menghitung mulai hari dimana dia mencoba menemui Kaito, sampai ke pantai dan harus menginap dua malam—karena mualnya masih cukup parah, maka ada total delapan hari Ayu telah absen tanpa alasan jelas. Hari ini Ayu datang yang ke kantor dengan mempersiapkan hatinya. Mempersiapkan hati jika sekiranya akan dipecat. Ayu sudah menetapkan akan mencari kerja hari ini juga malah.Tapi Ayu berencana memohon pada Watanabe untuk memberinya surat rekomendasi yang akan membuatnya memiliki pengalaman meski beberapa minggu. Berharap akan lebih mudah mencari pekerjaan nantinya. Ayu meletakkan tasnya di meja, duduk terpekur menunggu nasib. Menunggu Watanabe memanggilnya.“Nakamura-san?”Ayu tersentak dan menoleh, terlihat Mori yang baru sa
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m