“Kau marah?”
Hide melirik ke arah Ayu, yang memajukan bibirnya sampai beberapa senti ke depan. Sejak tadi, Ayu juga tidak mau memandang ke arah Hide, ia terus memandang ke arah depan atau ke luar jendela mobil.
“Kau tadi mengatakan akan libur seharian. Kenapa tiba-tiba memaksa untuk pulang?” Ayu menggerutu masih dengan bibir yang cemberut.
Ayu tahu tidak ada urusan urgent yang harus dikerjakan oleh Hide. Pekerjaannya sangat santai. Ia tidak mengerti kenapa Hide menolak untuk tinggal di kota sampai sore nanti.
Ayu masih ingin mengunjungi tempat yang lain, tapi Hide dengan tegas menolak dan mengatakan mereka harus kembali ke rumah setelah makan siang.
Yang membuat Ayu paling jengkel, saat bertanya kenapa, Hide sama sekali tidak menjelaskan alasan mereka harus kembali. Hanya mengatakan mereka harus segera pulang. Jelas saja Ayu cemberut setelah itu.
“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukan padamu saat sampai di rumah n
“Berdiri di sini.” Miura menuntun Ayu yang tubuhnya masih basah.Pada akhirnya ada yang menyuruh Ayu mandi, agar tubuhnya bersih dan kini Ayu berdiri hanya menggunakan pakaian dalam. Siap untuk memakai shiromuku itu.Kimono itu terlihat begitu bersih, sampai Ayu takut akan membuatnya kotor saat menyentuhnya. Kimono itu bukan terbuat dari kain putih polos. Ada berbagai simbol yang terbordir di permukaannya.“Bangau… sakura… anggrek.” Ayu menyebut beberapa bentuk motif yang dikenalinya pada kimono itu. Semua dibordir dalam warna putih yang sama dengan kain dasar, menyamarkan bentuk motif saat dilihat dari kejauhan.“Mereka benda yang dianggap membawa keberuntungan dan nasib baik,” kata Miura, sambil mengangkat kedua tangan Ayu ke atas, agar lebih mudah memasang obi—sabuk ka
Iring-iringan pengantin memasuki beranda kuil dengan diiringi musik yang berasal dari ryuteki, hocchiku dan nohkan. Meski namanya berbeda, tapi semua alat musik itu berbentuk seruling. Hanya bentuk dan bahan pembuatnya yang berbeda. Tentu nada dan suara yang dihasilkan akan berbeda juga.Ayu mungkin akan menikmatinya jika saja tidak sedang bekerja keras berkonsentrasi agar tidak jatuh. Berat kimono yang dipakainya mulai membuat tubuhnya tidak nyaman, dan Ayu takut sekali ia akan membuat kekacauan dengan terjatuh.Ketakutan itu bahkan mengalahkan ketegangan yang tadi dirasakannya. Tapi Hide masih merasakan ketegangan itu. Tangannya yang menahan tubuh Ayu masih sangat dingin oleh keringat. Hide merasa heran, karena jelas ia tidak merasakan hal yang sama saat menikah dengan Karin.Saat itu mereka melakukan pernikahan ala barat&mdas
Ayu sudah nyaris tertidur saat Hide membawanya pulang. Tapi terbangun saat Hide menurunkannya di futon. Tidak ada ranjang di rumah itu, Hide terpaksa membaringkan Ayu pada futon dan itu membuatnya terbangun.“Aw!” Ayu mengeluh karena obi yang dipakainya menyakiti punggung. Obi itu berukuran cukup besar, tentu akan terasa mengganjal saat ia berbaring.Ayu langsung duduk sambil memandang sekitar. Ia melepaskan rambut palsu yang ada di kepalanya, lalu menatap satu-satunya benda hidup lain di kamarnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Hide, sambil melambaikan tangan di depan wajah Ayu. Ia bangun tapi kesadarannya tidak sempurna.Ayu tersenyum dan menangkap tangan itu. “Tentu saja aku baik-baik saja… Danna—sama.” Ayu kembali mengulang panggilan itu sambil merangkup pipi Hide.&
“Lavender!” Ayu berseru dengan sekuat tenaga, dan berlari menghampiri bentangan luas taman lavender yang muncul di hadapan mereka. Hide untung saja gesit dalam mengejar, jadi tidak ada drama Ayu berguling-guling di tanah.“Jangan berlari tiba-tiba seperti itu.” Hide menegur.“Tapi itu indah!” Ayu menunjuk warna ungu terhampar di depannya. Ayu lalu menghirup aroma segar di udara yang tentu juga berasal dari kumpulan bunga itu.“Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?” Ayu berseru sambil mengangkat tangan di udara.“Bekerja keras. Aku harus menemukan tempat yang membuatmu terkesan.” Hide berdiri di samping Ayu, tapi lebih tertarik untuk memandang wajah Ayu ketimbang padang lavender.Dan soal kerja keras itu adalah bohong. Ayu pada dasarnya akan mudah terkesan dengan pemandangan indah apapun, dan karena ingatannya bersih, maka semua pemandangan adalah baru untuknya.Hide hanya perlu m
“Ini sangat Wow.” Ayu membuat gerakan membuka jari di samping kepalanya, untuk mengungkapkan jika otaknya kembali penuh oleh keindahan. Kali ini ia terpesona oleh pemandangan yang ada di luar kamar hotelnya.Ayu menoleh untuk mencari Hide, karena tidak mendengar tanggapan apapun atas ucapannya itu. Tapi rupanya Hide belum mengikutinya masuk ke kamar.Hide masih tertahan di pintu, bicara pada bellboy yang ikut membawa barang mereka ke kamar. Entah tentang apa, dan Ayu tidak ingin tahu.Ia kembali memalingkan wajah untuk melihat ke luar jendela. Kamar hotel itu bisa dikatakan unik. Bentuk hotel itu secara keseluruhan mengikuti gaya barat—bahkan namanya saja Furano La Terre.Tapi kamarnya merupakan campuran klasik Jepang. Ada ruangan ber-tatami dengan meja rendah tapi ada ranjang juga. Tapi Ayu jelas ti
Sapuan bibir Hide, menghilangkan daya dalam tubuh Ayu. Tubuhnya pasrah dan menggelayut sepenuhnya dalam pelukan Hide, semakin terasa hangat saat lidah Hide mendesak bibirnya untuk membuka.Ayu hanya bisa menurut saat Hide mendorong perlahan ke dinding, merangksek, meminta apa yang selama ini dinantikannya dengan sangat sabar. Hide melepaskan bibirnya, menyusuri pipi dan rahang Ayu, lalu mendesakkan gigitan gemas pada lehernya.“Ini bukan mimpi… kau milikku… kau benar-benar menjadi milikku…” Hide bergumam, sedikit kebingungan karena nafsunya bercampur dengan haru dan kebahagiaan.Sangat tidak mudah mempercayai bagaimana Ayu saat ini bisa menjadi miliknya. Setelah sekian lama—bertahun-tahun hanya percaya jika Ayu adalah sesuatu yang mustahil untuk diraih. Benda terlarang yang seharusnya tidak untuk disentuh olehnya.“Ya… Aku di sini.” Ayu membalas dalam bisikan, lalu melakukannya dengan lebih rapi.
Bahagia dan bersemangat saja, tidak bisa menggambarkan emosi Ayu saat ini.Deretan stal yang ada di kedua sisi jalan, memperlihatkan aneka barang dagangan, serta bermacam permainan membuat Ayu nyaris tidak berkedip. Mata Ayu yang melebar sempurna, memantulkan cahaya—dari lampion beraneka ukuran yang ada sekitarnya, saat ia memutar tubuhnya ke segala arah. Seakan tidak ingin melewatkan satupun detail semua benda yang ada di sekeliling.Ayu tidak mengingat dirinya menyukai festival musim panas, tapi ia langsung tahu jika hal itu benar, satu detik setelah ia melihat keramaian. Tidak ada satu kata pun yang bisa menggambarkan perasaannya dengan benar. Semua terasa indah, bahagia, menyenangkan, tapi sekaligus lebih dari itu. Kesempurnaan level tertinggi.“Bagaimana kalau kita membeli itu?” usul Hide, setelah berapa saat menem
“Kau cantik,” kata Ryu.“Apa… Kau waras atau tidak? Aku baru saja menyebut banyak hal, dan hanya itu yang bisa kau katakan?” Kyoko mendesis—terpaksa mendesis karena tidak bisa berteriakMereka sedang ada di tengah pesta yang kemarin disebut Kyoko. Pesta dimana Ryu seharusnya tidak ada, karena pesta itu hanya untuk para pemegang saham di MOL, dan juga beberapa pegawai pada tingkat manajemen yang cukup tinggi.Kyoko tadi mendapat kejutan saat melihat Ryu dengan santai melenggang masuk. Tentu saja Ryu memakai dalih menjadi wakil dari Hide untuk datang. Tidak ada yang berani melarangnya jika sudah seperti itu.“Kau sudah bersusah payah untuk masuk ke pesta ini, dan hanya itu yang ingin kau bahas?!” Kyoko kembali mendesis jengkel.Sebelum Ryu memujinya tadi, Kyoko sudah me
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m