Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)
___Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat."Apa-apaan ini?"Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat."Rumah ini milik klien kami, Nona Ayara, dan telah deal oleh calon pembeli. Tapi Pak Ivan dan keluarga bersikeras tak mau pindah. Jadi, klien kami memutuskan untuk merubuhkan rumah ini.""APA? AYARA SUDAH BENAR-BENAR GILA!"Ughh, bahkan telingaku rasanya sakit mendengarnya. Padahal jarak kami jauh sekali. Aku meringis melihat wajah murka itu, agak sedikit khawatir kalau-kalau dia kena serangan jantung. Ah, tapi seingatku, aku selalu memberinya makanan sehat, memperhatikan kalori yang masuk ke dalam tubuhnya dengan cermat. Mas Ivan juga rutin kuantar untuk general chek up."Tidak! Tidak bisa, ini rumah kami berdua yang akan masuk ke dalam harta gono gini. Biarkan saya bertemu Aya untuk menyelesaikan urusan ini.""Maaf Pak, anda tentu bisa membaca, bahwa semua harta milik Bapak telah menjadi milik klien kami, seperti apa yang tertera dalam dokumen yang telah disahkan oleh notaris, sebagai konsekuensi karena anda melanggar perjanjian.""Tapi.. Tapi…""Ivan! Bagaimana ini? Masa rumah ini mau dirubuhkan? Aduh istrimu itu, mengerikan sekali!"Teriakan Mama membuatku tersenyum."Mas, jangan diam saja. Aku mau tinggal di rumah ini…" Si perempuan ikut merengek."Diamlah Gita!" bentak Mas Ivan. Dia lalu menoleh pada Pak RT."Pak, tolong bantu saya untuk jadi penengah. Bapak kan sudah kenal saya dan Aya sejak lama."Pak RT berdehem sejenak."Menurut pengacara Mbak Aya, kalian akan segera bercerai, betul itu Pak? Saya juga sudah membaca semua dokumen dan yakin bahwa Mbak Aya benar. Jadi maaf, saya tidak bisa membantu. Sebaiknya, Pak Ivan segera keluar dari rumah ini seperti yang diinginkan Mbak Aya.""Apa?!""Dan oh ya, siapa perempuan ini? Saya hanya mengenal Bu Risna Ibu anda dan adik anda."Pak RT menunjuk perempuan selingkuhan Mas Ivan yang tadi dipanggilnya Gita."Dia… emm… dia calon istri saya.""Hemm… dan kalian sudah tinggal bersama sebelum menikah? Astaga." Kali ini kulihat Trisha menggeleng-gelengkan kepala.Keempat orang itu tampak salah tingkah. Mas Ivan lalu memandang Trisha."Saya perlu bertemu dengan Ayara.""Dia tidak mau ditemui. Kami tim pengacaranya diberi wewenang mutlak untuk mengatur semua urusannya.""Astaga. Dasar pengecut!" umpat Mas Ivan.Aku meradang. Dia mengataiku pengecut, apa dia tak pernah bercermin? Apa dia tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya aku dengan segala pengkhianatannya selama ini? Melihat bagaimana dekatnya Gita dengan keluarga Mas Ivan, aku taksir mereka telah lama membohongiku.Aku tidak pernah dilahirkan jadi orang pengecut, Mas. Tapi, setiap langkah yang kuambil selalu penuh dengan perhitungan. Rasa sakit itu adalah cambuk bagiku untuk bisa melangkah sambil mengangkat kepala. Tunggu saja, kita pasti akan bertemu lagi, tapi tidak sekarang."Maaf Pak Ivan, saya sebagai ketua RT, tidak mengizinkan kompleks kami dikotori oleh praktek perzinahan. Silakan meninggalkan tempat ini dengan baik atau mungkin anda lebih suka menyelesaikan di kantor polisi."Wajah Mas Ivan memucat."Katakan dimana Ayara sekarang?"Dia masih bersikeras."Ayara akan menemui anda, tapi tidak sekarang. Tingkah anda benar-benar mempermalukan kaum lelaki." Angga rupanya tak tahan lagi."Oh ya, klien saya yang baik hati, menitipkan ini," Trisha mengeluarkan amplop dari dalam tasnya, "Anda boleh mengambilnya jika setuju untuk pergi.""Kalau tidak?""Alat berat kami siap untuk menghancurkan rumah ini.""Gila! Gila!"Mas Ivan mengumpat-umpat seperti orang kerasukan. Aku tertawa geli.Kamu benar-benar salah karena mengira aku lemah, Mas. Setelah semua harta ini, hal paling menyakitkan yang akan kamu rasakan adalah, kehilangan Lucia.Di layar ponsel, aku melihat Mama mertuaku merebut amplop dari tangan Trisha dan menghitung isinya."Sepuluh juta Ivan. Ayara benar-benar menghinamu!"Mama memban-ting ampop itu ke lantai. Mas Ivan terlihat bingung, sementara Trisha langsung mengambil ponsel dan menghubungi sopir eskavator."Masuk, Pak, silakan mulai hancurkan saja."Semua mata terbelalak, menatap alat berat yang mulai bergerak itu. Disini, jantungku juga mulai berdetak kencang. Kukuatkan hati melihat kehancuran istana tempatku bernaung selama ini."STOOPPPP! oke oke! Kami akan pergi! Dasar sialan! Awas kau Ayara. Aku tahu kau melihat! Tunggu saja pembalasan dariku! Perempuan sun-dal!"Aku menekap dada, menenangkan jantungku yang gemuruh. Astaga mulutmu Mas, jadi itulah aslinya dirimu. Rupanya selama ini, kau memakai topeng di depanku.Angga mengangkat tangan, menahan sopir alat berat."Hati-hati dengan mulut anda, Pak. Jika klien kami tidak berkenan, anda bisa dituntut atas pasal perbuatan tidak menyenangkan." tukas Trisha dengan suara tenang.Mas Ivan sepertinya menyerah. Dia memungut amplop di atas lantai."Beri kami waktu dua jam untuk membereskan semuanya.""Oke. Dan ingat, anda tidak diperkenankan membawa barang apapun kecuali pakaian dan benda pribadi.""Aarrgghh!"Teriakan marah Mas Ivan yang kudengar sebelum akhirnya aku mematikan layar ponsel. Kutarik napas dalam-dalam. Lakukan saja apapun yang ingin kamu lakukan. Aku telah bersiap."Mama!"Suara teriakan Cia membuatku terkejut bukan kepalang. Adrenalin terasa mengalir lagi secara mendadak, membuat dadaku berdenyut aku berlari keluar dan mendapati Lucia berdiri di teras."Lautnya Banjir!"Aku mengerutkan kening. Laut banjir? Oh, ternyata, laut sedang pasang. Pantai yang landai tidak terlihat karena air laut meninggi. Tapi, karena ada pembatas dari batu dan semen, air laut tidak meluap keluar. Padahal pemandangan itu nyaris setiap pagi kami lihat, tapi tetap saja membuat Cia takjub.Maafkan Mama, Nak. Mama membawamu ke tempat ini. Tapi Mama pastikan kamu nggak akan kekurangan apapun. Dan Mama janji, ini nggak akan selamanya.***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)PoV IVANUntuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa."Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati."Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh.""Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepa
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)"Saya Banyu, Banyu Biru."Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri."Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain."Ya Allah, ini kenapa, Non?!"Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi."Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Ma
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (9)Banyu Biru, dia seperti alien, yang dengan massif, menelusup masuk dan mendekat langsung ke sasaran. Cia, yang selama ini kehilangan sosok Ayah yang hobi bertualang, seperti mendapatkan penawar atas dahaganya. Usianya memang baru lima tahun. Biasanya di usia itu, gadis kecil sepertinya mencari figur lelaki idola dari Sang Papa."Om Banyu bawa apa?"Aku berdiri di balik gorden, menatap keluar, membiarkan pintu rumah terbuka hingga suaranya menelusup masuk. Di teras, Mbak Atik sedang menyapu. Disini kami harus rajin membersihkan lantai. Angin laut amat suka menerbangkan pasir-pasir halus hingga ke dalam rumah kalau kau membuka pintu. Tapi kali ini, kubiarkan pintu terbuka, ingin mendengar percakapan mereka."Ayo kita lihat!"Mbak Atik sibuk melirik-lirik ke dalam rumah, dan ketika mata kami bertemu, aku menyilangkan telunjuk di bibir, menyuruhnya diam."Wow!"Teriakan takjub Cia terdengar. Dari sini, aku dapat melihat Banyu menggelar tikar dari pandan, d
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (10)Dulu, saat aku menerima Cia dalam hidupku, Ibu menentang habis-habisan. Cia yang lahir diluar nikah, dari benih Mas Ivan dan selingkuhannya yang entah siapa itu, membuat Ibu marah besar. "Pokoknya Ibu nggak setuju, Aya. Kenapa harus ambil anak orang yang tak jelas asal usulnya?""Tapi dia anak Mas Ivan, Ma.""Lalu siapa Ibunya? Bagaimana kalau Ibunya ternyata seorang PSK?""Anak itu nggak bersalah. Dia nggak boleh menanggung dosa orang tuanya.""Kalau dia punya penyakit bawaan atau turunan dari Ibunya?""Artinya, aku harus punya hati seluas samudra untuk merawatnya. Dan semoga karena hal itu, Allah mau memberiku keturunan dari rahimku sendiri."Ibu menggeleng-gelengkan kepala."Dasar keras kepala!"Aku bersimpuh, meletakkan kepala di atas pangkuan Ibu. Sementara Ayah hanya tersenyum menatap kami. Sejak dulu, keputusan Ibu akan menjadi keputusan Ayah, tapi bukan berarti Ayah kalah dari Ibu. Bagi Ayah, seperti itulah caranya menghormati istri yang dia
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (11)Kami saling tatap, matanya yang dulu pernah kukagumi karena berwarna coklat gelap, indah dan tajam itu, kini menatap dengan sorot marah. Aku berbalik, melanjutkan langkah memasuki gedung pengadilan. Setengah jam lagi, sidang akan dimulai, dan ketiga sahabatku belum juga muncul. Tapi, aku tak perlu gelisah. Aku mengenal mereka, nyaris seperti aku mengenal diriku sendiri."Jadi, kamu benar-benar akan cerai dengan Ivan?"Mama menahanku di depan pintu. Dapat kulihat bagaimana dia berusaha menahan diri untuk tidak mengamuk melihat perseteruan aku dan putranya.Aku mengangguk, mengambil tangan Mama dan menciumnya sekilas. Biarlah kutunjukkan adab yang baik padanya untuk terakhir kali. Meski nyatanya, aku tahu, di belakangku, Mama kerap menghina karena aku tak juga hamil."Iya, Ma. Maafkan aku selama ini kalau ada salah."Mama mendesah, sementara aku sama sekali tak mau menoleh pada Diska, yang menatap dengan pandangan sinis. Adik bungsu Mas Ivan ini mungkin
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (12)Aku keluar dari ruangan itu masih sambil bergidik, membayangkan tangannya mengelus dadaku. Ternyata, wanita itu selama ini mengincarku. Dia menunggu sampai aku menjadi duda. Astaga.Aku masuk ke ruanganku sendiri dan mengunci pintunya, tiba-tiba merasa takut Bu Ristie akan datang dan mencoba memperko… Aaarggg, gila! Gila! Gila!Apa yang harus aku lakukan? Menerima tawarannya demi mendapat uang besar dalam waktu singkat? "Kita nggak perlu menikah, Ivan, anak-anakku tak akan setuju. Mereka semua sudah besar. Bahkan sebaiknya, tak perlu ada orang tahu. Kau hanya perlu selalu ada setiap kali kubutuhkan.""Kudengar, kau berseteru dengan mantan istrimu. Dia mengambil semua hartamu, benar? Bagaimana kalau, untuk langkah awal, kau pindah dulu ke apartemen milikku yang kosong."Sepanjang dia bicara, aku tak sanggup berkata-kata. Panas dingin, gemetar, geli dan jijik. Dia mungkin sebaya Mama dan mertuaku. God, aku bahkan tak mampu membayangkan bercin-ta dengann
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (49)Angel Natasha, ternyata adalah sepupu Banyu yang baru selesai menamatkan sekolah menengah atasnya di Jakarta. Dia pulang ke kampung halaman kami, karena diterima kuliah di Universitas Lampung. Tapi, bukan itu yang membuat perutku mulas saat dikenalkan padanya. Sebagai adik sepupu, Angel terlalu manja pada Banyu."Sayang, Angel itu adik sepupuku," ujar Banyu tadi. Wajahku pastilah sudah merah padam. Aku cemburu pada sepupunya yang seorang anak kecil. Sungguh memalukan. Banyu lalu menggandeng tanganku dan Cia, berjalan beriringan menuju Villa Banyu. "Jangan bilang-bilang aku cemburu padanya," bisikku jengah sebelum Banyu mengetuk pintu."Hemm, jadi, kamu mengakui kalau kamu cemburu?" Banyu ikut berbisik di telingaku, takut kedengaran oleh Cia.Aku membelalakkan mata, dan Banyu malah berhenti melangkah, menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan menatap mataku dalam-dalam. Dan aku seperti terhipnotis, tak mampu mengalihkan pandangan dari matanya. "T
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (48)"Loh, Mbak Atik nggak ikut ke pantai? Banyu dan Cia berdua saja?"Aku terkejut saat melihat Mbak Atik ada di rumah, malah sedang ikutan membuat kacang bawang dengan Mbok Irah. Kacang itu cemilan favorit kami sekeluarga dan buatan Mbok Irah, tak ada duanya."Nggak, Mbak. Saya nggak enak. Masa' bertigaan aja kesananya."Aku tertawa, "Ya, nggak apa-apa, aku percaya kok sama Mbak Atik. Mbak Atik kan sayang sama aku, nggak mungkin mau nikung, hihihi … " Mereka berdua ikut tertawa."Lah, yang mau ditikungnya juga nggak mau loh, Mbak. Ya masa Mas ganteng mau turun level sih. Eh, tapi ngomong-ngomong, Mbak Aya jangan lempeng banget juga, Mbak. Tunjukin dikit kalau Mbak cinta sama Mas Banyu. Ada cemburu-cemburu dikit gitu."Sehabis mengatakan itu, Mbak Atik tertawa. Dia memang sudah seperti kakakku daripada hanya seorang ART. Aku tertawa."Aku malu, Mbak. Aku kan sudah pernah menikah. Dia belum. Aku nggak mau keliatan ngejar-ngejar dia, atau manja-manja. Aduh
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (47)PoV AYARAHari itu juga, polisi menggeledah rumah Diska, rumah peninggalan orang tuanya yang dia tempati sendirian sepeninggal kedua orang tua dan kakaknya. Selain polisi dan wartawan, kerumunan tetangga sekitar, bahkan orang-orang entah dari mana datang bergerombol, hingga menyebabkan Kemacetan sejauh setengah kilometer. Semua orang ingin tahu seperti apa kehidupan gadis cantik yang ternyata seorang pembunuh berdarah dingin itu. Dan keadaan semakin gempar, saat polisi keluar membawa sebuah kantong mayat berwarna kuning.Jenazah Gita ditemukan disana! Dalam keadaan diawetkan oleh campuran kapur sirih dan tembakau. Jenazah yang sudah berusia beberapa hari itu, ditidurkan diatas dipan kamar paling belakang.Aku menyaksikan semua itu di depan layar televisi. Duduk bersama Ayah dan Ibu dengan tubuh merinding sekujur badan. Membayangkan bagaimana Diska berhari-hari lamanya, berada satu rumah dengan sesosok mayat. Tidur dan makan sambil menghirup udara yang