Jangan Ajari Aku Kata Sabar (12)Aku keluar dari ruangan itu masih sambil bergidik, membayangkan tangannya mengelus dadaku. Ternyata, wanita itu selama ini mengincarku. Dia menunggu sampai aku menjadi duda. Astaga.Aku masuk ke ruanganku sendiri dan mengunci pintunya, tiba-tiba merasa takut Bu Ristie akan datang dan mencoba memperko… Aaarggg, gila! Gila! Gila!Apa yang harus aku lakukan? Menerima tawarannya demi mendapat uang besar dalam waktu singkat? "Kita nggak perlu menikah, Ivan, anak-anakku tak akan setuju. Mereka semua sudah besar. Bahkan sebaiknya, tak perlu ada orang tahu. Kau hanya perlu selalu ada setiap kali kubutuhkan.""Kudengar, kau berseteru dengan mantan istrimu. Dia mengambil semua hartamu, benar? Bagaimana kalau, untuk langkah awal, kau pindah dulu ke apartemen milikku yang kosong."Sepanjang dia bicara, aku tak sanggup berkata-kata. Panas dingin, gemetar, geli dan jijik. Dia mungkin sebaya Mama dan mertuaku. God, aku bahkan tak mampu membayangkan bercin-ta dengann
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (13)"Aya, kamu benar-benar harus pulang kesana sekarang? Ibu masih kangen sama Cia."Ibu memasukkan kotak-kotak berisi makanan kesukaan Cia ke dalam paper bag. Semalam, kami mengadakan acara makan bersama di rumah Ayah. Ayah, Ibu, Cia dan para ART termasuk Mbak Atik, ditambah tiga sahabatku plus suami Elena yang pendiam. Meski begitu, ternyata dia cocok berbaur dan ngobrol dengan Ayah. Aku bersyukur, suami Elena tidak melarang istrinya tetap bersahabat dengan kami, meski ada Angga sebagai satu-satunya lelaki. "Iya, Bu. Aya masih betah disana, Cia juga.""Hemm … apa bukan karena ada seseorang yang membuat kamu betah?"Aku menoleh, mengeruhkan alis sambil menatap Ibu."Siapa?""Ya nggak tahu, seseorang mungkin."Ibu masih berteka-teki, dan entah kenapa aku justru teringat pada Banyu. Aku teringat pada tawanya yang renyah, pada sorot matanya yang teduh tapi tegas, bahkan pada lengannya yang kokoh menggendong Cia waktu itu."Ibu pengen kamu cepat move on. Lel
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (14)Aku tak bisa mencegah Cia dekat dengan Banyu. Karena statusku yang masih dalam masa iddah, langkahku terbatas. Kubujuk hatiku untuk meyakini, bahwa lelaki itu adalah orang yang baik. Sebagai ganti diriku, Mbak Atik mengawal Cia setiap hari, belajar berenang. Matahari baru saja naik ketika anakku sudah menginjakkan kakinya yang mungil di atas pasir, ceria menyambut hari. Mbak Atik nyaris kewalahan mengejar Cia yang melesat secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Di halaman, Banyu menyambut dan mereka berlari ke pantai dengan riang gembira. Sungguh, melihatnya ceria dan puncak kebahagiaanku.Aku kembali membuka laptop, meneruskan kisah yang baru saja kutulis. Kisah tentang seorang wanita yang menikah dengan lelaki yang ternyata seorang psikopat. Delapan Hari Saja Menjadi Istrimu, kisah yang baru kutulis bab enam belasnya, telah berhasil masuk best seller di platform online tempatku bernaung selama ini. Sesaat kemudian, aku telah tenggelam, bertrans
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (15)"Alasan apa yang Om sertakan dalam surat pemecatannya?"Di seberang sana, Om Reynand menghela napas panjang."Aya, Om punya banyak orang yang bisa dengan cepat menyelidiki sesuatu. Ivan, menjalin hubungan dengan wakil direktur di perusahaan. Seorang wanita setengah baya.""Apa?!"Aku terkejut bukan kepalang. Oh, sudah sejauh itukah dia? "Pemecatan Ivan, juga terpaksa berdampak pada Bu Ristie. Dia terpaksa Om pecat juga sebelum skandal hubungan mereka menyebar di kantor."Aku nyaris berhenti bernapas mendengarnya. Jadi, wanita yang mengangkat telepon kemarin, adalah Bu Ristie. Aku memang tidak mengenalnya, hanya tahu namanya saja."Aya, kamu mungkin harus bersiap. Jika dia tahu kamu keponakan Om, mungkin dia akan tahu bahwa kamu yang meminta Om melakukan ini.""Iya, Om. Aya sudah siap menghadap Ivan.""Jangan sungkan minta bantuan Om, Aya. Mungkin, Om akan segera pulang mengingat perusahaan sedang genting."Mungkin sudah saatnya aku kembali ke sana. Pe
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (16)Cia, maafkan Mama. Kali ini, Mama terpaksa menyakitimu. Kamu memang masih terlalu kecil untuk menyaksikan perseteruan kedua orang tuamu. Sekuat apapun Mama berusaha menghindarimu dari melihat ini semua, tetap saja, kamu memang harus tahu.Aku menyuruh Ivan menunggu di teras, di bawah tatapan Ayah yang mengawasinya dengan mata tajam. Saat aku ke kamar Ibu untuk menjemput Cia, dia ternyata sudah tahu."Papa kenapa marah-marah diluar?" tanyanya dengan mimik wajah takut.Aku memeluknya erat-erat."Cia tahu kan, Papa dan Mama sudah berpisah? Jadi, Papa mau membawa Cia, mau memisahkan Cia dari Mama."Maaf, Mas. Kamu sendiri yang meminta aku melakukan hal jahat ini, membuat Cia membencimu. Aku tak rela, Cia jatuh ke tanganmu, diasuh lelaki tak bermoral yang hobi bertualang di pelukan banyak wanita."Cia nggak mau!" serunya spontan, memeluk dan menangis kencang. Aku mengusap-usap punggungnya."Kalau begitu, bagaimana kalau Cia bilang sendiri sama Papa?"Cia ma
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (17)PoV AYARASemalaman hingga pagi, aku tidur sambil memeluk Cia. Berharap jika besok dia bangun, dia telah lupa pada kejadian malam ini. Oh anakku, betapa menyedihkan kisah hidupmu. Seharusnya, Papamu tak pernah datang kalau hanya untuk menyakitimu. Orang yang mengaku orang tuamu, malah berlomba-lomba menyakiti perasaanmu."Ibu, Mbak Atik, Cia nggak lihat kan waktu Ayah nampar Ivan dan bawa dia keluar?""Nggak Ay. Cia langsung Ibu bawa masuk. Apa akhirnya Ayahmu nampar Ivan juga?"Ibu yang memang sudah gemas dari dulu pada mantan suamiku itu, malah bertanya dengan mimik antusias.Aku mengangguk, tapi tak mau menjelaskan lebih lagi. Kubawa Cia naik ke kamarku di lantai atas. Gadis kecil itu memeluk leherku erat-erat, dan jika biasanya sebelum tidur selalu ada celotehan yang lucu, malam ini, dia tidur tanpa berkata-kata, hanya menelusupkan tubuh di dalam pelukanku. Sikapnya menunjukkan, dia takut seseorang tiba-tiba merenggutnya dariku. Balas dendamku pad
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (18)Enam hari sudah berlalu sejak tes DNA. Belum pernah aku segelisah ini. Setiap hari, aku memandangi Cia, tak mau sedikit saja kehilangan waktu bersamanya. Kucoba untuk menenangkan hatiku sendiri, tapi setiap kali mencoba, aku semakin gelisah. Karena terlalu cinta, maka aku menjadi lemah karenanya."Bagaimana jika Cia ternyata benar-benar anak Jelita, Yah? Apa Aya akan memberikan Cia padanya?"Aku menghentikan langkah, tanpa sengaja mendengar percakapan Ayah dan Ibu di meja makan. Aku berhenti dan berdiri dibalik tirai."Tidak, Bu. Ayah tak bisa membiarkan Aya hancur. Dia sudah berusaha terlalu keras untuk kuat dan tegar selama ini. Tapi, Cia adalah kelemahannya. Ayah akan lalukan apa saja asal Aya dan Cia tak berpisah.""Kenapa jadi begini? Harusnya, Aya membawa Cia ke luar negeri sekalian," keluh Ibu.Semua orang memikirkan perasaanku. Bahkan Mbak Atik, yang diam-diam sering menatapku, dan mengalihkan pandangan sambil mengusap mata saat aku memergokiny
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (19)Aku pulang dengan hati bungah. Hatiku yang gelisah seminggu kemarin lenyap sudah. Setelah berpisah dengan Trisha, aku mampir ke toko kue, membeli donat dengan aneka topping kesukaan Cia, dan beberapa kue lain untuk seluruh orang di rumah. Aku ingin merayakan hari ini.Apakah aku berlebihan? Bukankah perempuan itu, Ibu kandung Cia, bisa datang kapan saja? Aku menggelengkan kepala. Biarlah, biar saja. Aku masih punya waktu mempersiapkan diri, dan terutama, mempersiapkan hati anakku."Mama! Mbak Atik beli susu coklat banyak!"Cia langsung menyambut sambil memberi laporan. Aku merangkul dan mengangkatnya dalam gendongan. Kami saling menatap, menempelkan keningku dengan keningnya yang mungil. Rasanya ingin menangis karena haru, tapi dia akan bertanya lagi kenapa aku menangis."Cia anak Mama, Cia anak Mama!" seruku berulang-ulang sambil menciuminya.Cia tertawa geli, meronta-ronta dalam gendonganku. Ayah dan Ibu yang mendengar, langsung keluar rumah dan men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (49)Angel Natasha, ternyata adalah sepupu Banyu yang baru selesai menamatkan sekolah menengah atasnya di Jakarta. Dia pulang ke kampung halaman kami, karena diterima kuliah di Universitas Lampung. Tapi, bukan itu yang membuat perutku mulas saat dikenalkan padanya. Sebagai adik sepupu, Angel terlalu manja pada Banyu."Sayang, Angel itu adik sepupuku," ujar Banyu tadi. Wajahku pastilah sudah merah padam. Aku cemburu pada sepupunya yang seorang anak kecil. Sungguh memalukan. Banyu lalu menggandeng tanganku dan Cia, berjalan beriringan menuju Villa Banyu. "Jangan bilang-bilang aku cemburu padanya," bisikku jengah sebelum Banyu mengetuk pintu."Hemm, jadi, kamu mengakui kalau kamu cemburu?" Banyu ikut berbisik di telingaku, takut kedengaran oleh Cia.Aku membelalakkan mata, dan Banyu malah berhenti melangkah, menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan menatap mataku dalam-dalam. Dan aku seperti terhipnotis, tak mampu mengalihkan pandangan dari matanya. "T
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (48)"Loh, Mbak Atik nggak ikut ke pantai? Banyu dan Cia berdua saja?"Aku terkejut saat melihat Mbak Atik ada di rumah, malah sedang ikutan membuat kacang bawang dengan Mbok Irah. Kacang itu cemilan favorit kami sekeluarga dan buatan Mbok Irah, tak ada duanya."Nggak, Mbak. Saya nggak enak. Masa' bertigaan aja kesananya."Aku tertawa, "Ya, nggak apa-apa, aku percaya kok sama Mbak Atik. Mbak Atik kan sayang sama aku, nggak mungkin mau nikung, hihihi … " Mereka berdua ikut tertawa."Lah, yang mau ditikungnya juga nggak mau loh, Mbak. Ya masa Mas ganteng mau turun level sih. Eh, tapi ngomong-ngomong, Mbak Aya jangan lempeng banget juga, Mbak. Tunjukin dikit kalau Mbak cinta sama Mas Banyu. Ada cemburu-cemburu dikit gitu."Sehabis mengatakan itu, Mbak Atik tertawa. Dia memang sudah seperti kakakku daripada hanya seorang ART. Aku tertawa."Aku malu, Mbak. Aku kan sudah pernah menikah. Dia belum. Aku nggak mau keliatan ngejar-ngejar dia, atau manja-manja. Aduh
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (47)PoV AYARAHari itu juga, polisi menggeledah rumah Diska, rumah peninggalan orang tuanya yang dia tempati sendirian sepeninggal kedua orang tua dan kakaknya. Selain polisi dan wartawan, kerumunan tetangga sekitar, bahkan orang-orang entah dari mana datang bergerombol, hingga menyebabkan Kemacetan sejauh setengah kilometer. Semua orang ingin tahu seperti apa kehidupan gadis cantik yang ternyata seorang pembunuh berdarah dingin itu. Dan keadaan semakin gempar, saat polisi keluar membawa sebuah kantong mayat berwarna kuning.Jenazah Gita ditemukan disana! Dalam keadaan diawetkan oleh campuran kapur sirih dan tembakau. Jenazah yang sudah berusia beberapa hari itu, ditidurkan diatas dipan kamar paling belakang.Aku menyaksikan semua itu di depan layar televisi. Duduk bersama Ayah dan Ibu dengan tubuh merinding sekujur badan. Membayangkan bagaimana Diska berhari-hari lamanya, berada satu rumah dengan sesosok mayat. Tidur dan makan sambil menghirup udara yang