“Buk, ini ada titipan dari Bu Zahro,” ucap Amira seraya meletakkan susunan rantang di meja makan.
“Walah, ngapain repot-repot dibawain segala, Mir?”
“Tadinya Mira enggak dibolehin pulang, Buk. Suruh makan siang bareng di sana sekalian nunggu Mas Eka dateng. Ya mana aku mau? Malulah. Makanya sebagai gantinya, Bu Zahro bawain itu. Yaudah, enggak ada alasan lagi buat nolak.”
Wanita berkulit bersih itu segera mencemol rambut panjangnya agar tak gerah. Langkahnya mulai ke sana kemari untuk mengambil susu dari dalam kulkas dan menyeduhnya untuk sang jagoan.
“Yah ... padahal Ibuk sama Rissa baru selesai masak ini.”
“Enggak pa-pa, Buk. Yang dari Bu Zahro bisa ditaruh kulkas dulu. Bisa diangetin buat entar malam.”
“Iya juga, sih,” jawab Bu Tami. “Yawis, Ibu tak ke samping dulu mau ambil jemu
Abib memperhatikan Nasya dengan alis terangkat sebelah. Ditanya malah bengong, begitu pikir Abib.“Sya!” Abib melambai-lambaikan tangannya di depan wajah temannya itu. “Hallo ... Nasya Mikayla Madava. Can you hear me?”Nasya mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. “Eh, iya, Bib. Kenapa?”“Lu butuh aqua? Kayak enggak konsen gitu.”Nasya hanya tersenyum canggung. Abib izin permisi sebentar untuk mengambilkan tamunya air minum. Namun, di tembok ruang tengah, ia bertemu dengan tiga perempuan yang tengah cosplay jadi cecak-cecak di dinding, diam-diam mengintip dan menguping.Amira, Tarissa, dan ibunya hanya nyengir kuda setelah ketiganya sedikit terkejut melihat kedatangan Abib yang tiba-tiba. Mereka hanya penasaran dengan wanita cantik yang baru pertama bertandang ke rumah Bu Tami sebagai tamunya Abib. Pasalnya, anak jejaka Bu Tami itu ta
Tiga hari keluarga Pak Beni berada di kota Demak. Dulu, almarhum Pak Husein dan keluarganya memang pernah lama menetap di Demak. Begitu pun dengan rumah Bu Rima berada, tetapi lain kecamatan. Namun, setelah Pak Beni menikahi Bu Zahro, keduanya pindah ke Semarang. Pak Husein dan sang istri meninggal saat Arsyil masih SMP. Kakek dari Eka dan Arsyil itu berpulang terlebih dahulu. Selang seminggu, tepat usai tahlilan hari ketujuh, nenek keduanya menyusul. Sungguh impian sehidup sesurga yang diidam-idamkan banyak pasangan. Di hari kelima Eka kembali ke kampung halaman, pagi ini ia berniat menyapa para tetangga. Diawali dari bertegur sapa dengan para jamaah pejuang Subuh di masjid dekat rumah Pak Beni. Eka mendapat sambutan hangat. “Masya Allah ... ini Mas Eka?” sambut seorang Ustaz. “Iya, Ustaz.” Eka tersenyum dengan serta merta menyambut tangan pemimpin salat berjamaah itu. “Kapan sampai Indonesia, Mas?” “Sebenarnya sudah empat hari yang lalu, Ustaz. Cuma di hari kedua, saya dan ke
Beberapa hari ini Abib dan Arsyil memang disibukkan dengan kegiatan kuliah mereka. Makalah dan PPT banyak menyita waktu keduanya. Namun, berbeda dengan Abib yang banyak mengeluh, Arsyil terlihat lebih menikmati kegiatan study-nya.“Syil, gue perhatiin lu enjoy banget sama kegiatan kuliah. Tumben?”“Males salah, rajin salah,” jawab Arsyil dengan pandangan tak beralih dari layar lepi.Abib mengernyit melihat sikap Arsyil yang biasa saja. Tak khawatir atau uring-uringan. Tampaknya Arsyil tak tahu jika abangnya sering main ke rumah Bu Tami dan menemani Gala bermain. Memang tak ada yang perlu dicurigai apalagi dikhawatirkan. Bang Eka hanya sekadar bermain dan Gala pun senang jika ada teman baru. Namun, Abib menangkap maksud lain Eka yang menurut cerita ibunya sering menyambangi Gala saat Amira di kafe dan Abib kuliah.“Lé, Eka tiap hari main ke sini.” Bu Tami ber
Usai menunaikan salat Zuhur di masjid kampus, Abib dan Arsyil mampir dulu di kantin untuk mengisi nutrisi sebelum menghadapi kelas terakhir. Kampus Tunas Muda sedang disibukkan dengan pemilihan anggota dan ketua BEM terbaru. Nasya yang memang sudah menjadi anggota dari Badan Eksekutif Mahasiswa itu terlihat sibuk, karena kabarnya dia akan maju menjadi wakil BEM saat si wakil terdahulu akan didapuk menjadi ketua. Wanita cantik yang semakin cantik saat mengubah penampilan tomboinya itu sempat mengajak Abib untuk ikut serta menjadi anggota BEM yang baru. Namun, Abib menolak dengan alasan enggak bisa ninggalin kafe, kasihan kakaknya. “Bib, serius elu enggak mau nyalonin diri buat jadi anak BEM? Mayan, kan, bisa berduaan terus sama si Nasya.” “Kagak minat gue. Males ribet. Lu mau emang?” “Enggak, deh, makasih,” sahut Arsyil yang mulai menyantap baksonya. Seperti sebuah aplikasi chat LINE, yang line di mulut line di hati. Mulut Abib memang bilang enggak minat menjadi anak BEM, tetapi h
Amira mengerutkan kening melihat adiknya yang terlihat tak seperti biasanya. Apa iya jomlo baik hati itu sudah mulai terkontaminasi dengan kealayan Arsyil dalam menggombali kakaknya? Abib memejamkan mata dengan tiduran di sofa panjang. Dipijatnya pangkal hidung hingga merambat di keningnya.“Kening kamu sakit juga, Bib?” tanya Amira.“Hm!” jawab Abib dengan masih memejam.“Mau dicium juga?”Arsyil tergelak. Meledek temannya yang terlihat sangat begok ketika cemburu, tetapi gengsi untuk mengaku. Ya, terkadang jatuh cinta memang selucu itu.“Beda, Yang. Dia mau dicium, tapi sama–““Heh, anak jurig kemasan saset! Diem gak lu!” potong Abib dengan mata melirik tajam.“Amboi ... tak kuase aku.” Arsyil sangat suka menjaili sang calon adik ipar.Ami
“Gue kira bakalan sulit ketemu lagi sama sang komisaris Grand Adiwilaga Hotel and Resort.”Alan tergelak dan memeluk tubuh Eka, lalu menepuk-nepuk punggung salah satu sahabatnya itu.“Gue juga enggak nyangka bisa ketemu lagi sama pangeran Daewoon Corporation. Bisa juga lu curi-curi waktu,” jawab Alan. “Adipati sama prajurit enggak ikut?”Keduanya tergelak dan duduk di sebuah sudut kafe yang sengaja di-reservasi oleh Adam.
“Mau lari ke mana lu?” tanya salah satu dari mereka. “Badan doang teger. Apa nggak bisa kerja sampai harus nyuri susu bayi?”Mata Eka terbelalak dan menatap kotak susu yang berada di tangannya. “Ny-nyuri?”Ia tak mengerti apa-apa. Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Eka segera membuka topi dan juga maskernya.“S-saya bukan pencuri!” elak Eka. “Tadi ada orang yang tiba-tiba ngasih kotak susu ini ke saya.”“Halah ... gak usah berkelit. Lu cukup meresahkan. Tidak hanya sekali dua kali kedapatan mencuri di toko kami. Mana baju lu enggak pernah ganti. Kreatif dikit jadi maling. Minimal ganti baju,” ucap seseorang yang bisa jadi pemilik atau mungkin pramuniaga toko yang barangnya dicuri.Eka menggeleng dengan tangan masih memegang kotak susu tersebut. Tiba-tiba ia menyesali kenapa Adam dan Alan harus pulang lebih
Lima menit sebelum kejadian ....Mobil yang dikendarai Kim Yoora dan sang asisten yang tak lain adalah anak dari mantan ART-nya berhenti sebentar di sebuah kafe. Katanya, gadis asli Indonesia itu mau mengambil sesuatu pada temannya yang bekerja sebagai waitress. Namun, belum berhenti di area parkir, keributan tampak terjadi di sana.“Non, tunggu di mobil saja, ya. Di luar kayaknya terjadi sesuatu. Saya ke dalam cuma sebentar, kok.”Yoora hanya mengangguk. Namun, rasa bodoh amatnya mulai terusik kala banyak para wanita yang mulai berbondong-bondong ikut meramaikan keramaian di sana. Yoora penasaran dan mulai menurunkan kaca mobil. Seseorang yang sedang melintas pun ia panggil.“Mbak, maaf, ada ribut-ribut apa, ya, di depan?”“Oh, itu. Pencuri susu bayi ketangkap.”Alis rapi Yoora bertaut. “Seheboh itu?”&n
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d