“Yah, Bunda mana?”
“Baru pulang yang ditanyain bunda, tanyain ayahnya dulu kek!”
“Lah, Ayah udah di depan mata, nggak perlu ditanya udah kelihatan.”
“Dasar, Anak Bunda!”
“Iyalah, kalau anak tetangga entar malah jadi tanda tanya.”
Begitulah Arsyil dan Pak Beni. Dua pria berbeda usia, tetapi keakrabannya sudah seperti teman nongkrong saja. Arsyil baru pulang dari kampus. Mengecek ponsel sebentar dan kembali ditaruh, sebab tak ada yang penting.
“Bunda lagi belanja,” ucap Pak Beni dengan mata mengarah pada layar I-pad dan jari-jari menari di atasnya.
“Tumben Ayah enggak nganterin?”
“Udah Ayah tawarin. Katanya pergi bareng Amira.”
“Hah? Bareng ayangnya aku?”
“Hm.”
Amira menoleh ke area parkir. Benar, motor kesayangan gadis cantik yang tak lain sepupunya itu terparkir di sana. Motor bebek dengan full stiker Donal Duck itu sangat Amira kenal.“Ada apa, Mir?”“Bu, saya ke sana sebentar, ya. Itu kayaknya sepupu saya, deh.” Amira menunjuk dua orang perempuan.“Oh ... iya, iya.”Amira bergegas menghampiri Tarissa. Sepertinya gadis yang sebentar lagi akan menanggalkan status remajanya itu baru pulang kerja. Seragamnya saja masih dipakainya.“Udah, Sa ... enggak usah nangis. Masih syukur lu tahu kebusukan tunangan lu sebelum kalian resmi menikah.”Tarissa berjongkok. Sesengukan sembari menyembunyikan wajah, menunduk dengan lengan sebagai tumpuan. Sementara di depannya teronggok keresek putih dengan beberapa cup es krim dari gerai ini.“G-gue nggak
"Jadi serius lu udah punya tunangan, Dra?”Andra hanya mengangguk dengan tatapan fokus, sebab sedang mengemudi.“Lu serius suka sama itu cewek? Bukan cuma buat senang-senang aja kek yang kita jalanin?”Giandra tersenyum miring. Sebejat apa pun seorang pria, ia tetap menginginkan wanita baik-baik sebagai pendamping hidup. Hubungan tanpa status yang ia jalani dengan Ivana memang sudah lama dilakoninya, bahkan jauh sebelum pria hitam manis itu mengenal Tarissa.Namun, jauh di dalam hati, Giandra ingin mengakhiri hubungan tidak sehat yang masih mengepungnya. Pria yang bekerja sebagai kepala divisi di salah satu perusahaan besar di Jawa Tengah itu tak ingin berlarut-larut bermain api dengan Ivana. Akan tetapi, ia sudah kecanduan seks dengan wanita hyper itu.“Ndra?”Lelaki yang sedikit melamun itu tersentak.&ldqu
Jet pribadi super mewah yang ditumpangi Juan Ekananda mendarat dengan selamat dini hari di Jenderal Ahmad Yani International Airport, Semarang. Eka tersenyum saat bisa kembali menghirup udara di Kota Lumpia, tanah kelahirannya.Ia akan memakai topeng untuk menanggalkan sementara semua kesan glamor dan perfeksionis sebagai seorang CEO di negara ayahnya berasal. Hanya segelintir orang terdekat yang tahu persis apa pekerjaan Eka di Korea. Biarlah banyak orang beranggapan jika Eka ke Korea sebagai TKI. Itu jauh membuatnya lebih baik, daripada harus dikejar-kejar ibu-ibu yang menginginkan memiliki menantu sultan.Mobil jemputan dan dua orang bodyguard siap mengawal Eka. Duda tampan itu akan mlipir sebentar ke salah satu flat milik teman karibnya. Dia seorang polisi yang juga berstatus duda. Sama seperti nasib Eka, istri teman baiknya itu berpulang dengan membawa anak yang sedang dikandungnya. Bedanya, Adam–nama teman Eka–sudah memilik
Arsyil mengabaikan ponselnya yang masih menyambung dengan Eka. Ia tak peduli, sebab kedatangan Amira mampu mengalihkan dunianya. Ya, begitulah indahnya cinta. Terkadang manisnya memang membuat lupa segalanya, dan pahitnya hampir membuat orang gila. Amira sengaja datang pagi-pagi mengingat ucapan Bu Zahro saat di supermarket. Eka akan terbang malam hari dan kemungkinan akan sarapan pagi di rumah bersama keluarga. “Loh, ada anak ganteng juga,” seru Arsyil melihat Gala yang digandeng Amira. “Papa Cil ....” “Hallo, Sayang! Tos dulu, dong!” Gala dengan semangat menepuk telapak tangan Arsyil yang disodorkan kepada anak itu. “Udah mandi?” Anak tampan itu mengangguk. “Wih, keren. Papa Cil baru selesai olahraga. Mau mandi, tapi masih keringetan. Gala mau main PS, nggak?” Keponakan Abib menoleh kepada mamanya. “Boleh, Ma?” Amira tersenyum. “Boleh, tapi jangan terlalu dekat dan jangan lama-lama, ya, Sayang. Enggak boleh nakal.” Sebenarnya ini bukan pertama kali Gala main ke rumah Bu Za
Amira menoleh dan mendapati sumber suara yang memanggilnya. Pak Beni berdiri di dekat sofa, di belakang tubuh Amira.“Eh, Pak Beni.” Amira berdiri dan mengusap jejak air matanya.“Enggak mau ganti nama panggilan ke saya, Mir?”“Heuh?” Amira tak mengerti dengan kalimat pertanyaan dari ayah pacarnya itu. Namun, Pak Beni malah terkekeh.“Gala lagi tidur. Biarin dia nyenyak. Enggak usah dibawa pulang dulu.”Sejujurnya ... Amira tak mau jika Eka datang sebelum ia pergi dari rumah sang pacar. Bukan apa-apa, tetapi ia sungkan jika harus bergabung dengan keluarga Pak Beni yang mungkin akan saling melepas rindu dengan Eka.“Duduk, yuk, Mir!” ajak sang tuan rumah. “Kamu pasti capek habis bantuin bundanya anak-anak masak. Istirahat bentar, sambil nunggu Gala.”Amira mengangguk d
“Sudah, sudah. Ngobrolnya lanjut nanti,” sela Bu Zahro yang langsung menyongsong Eka untuk masuk. “Semua makanan kesukaanmu sudah tersedia di meja, Sayang. Yuk, makan dulu!”Lapar mata dan juga lapar perut membuat wajah tampan Eka berbinar saat menatap berbagai sajian di meja makan.“Uwah… Arsyil jadian laper, Bun.”“Ayah juga.”
“Buk, ini ada titipan dari Bu Zahro,” ucap Amira seraya meletakkan susunan rantang di meja makan.“Walah, ngapain repot-repot dibawain segala, Mir?”“Tadinya Mira enggak dibolehin pulang, Buk. Suruh makan siang bareng di sana sekalian nunggu Mas Eka dateng. Ya mana aku mau? Malulah. Makanya sebagai gantinya, Bu Zahro bawain itu. Yaudah, enggak ada alasan lagi buat nolak.”Wanita berkulit bersih itu segera mencemol rambut panjangnya agar tak gerah. Langkahnya mulai ke sana kemari untuk mengambil susu dari dalam kulkas dan menyeduhnya untuk sang jagoan.“Yah ... padahal Ibuk sama Rissa baru selesai masak ini.”“Enggak pa-pa, Buk. Yang dari Bu Zahro bisa ditaruh kulkas dulu. Bisa diangetin buat entar malam.”“Iya juga, sih,” jawab Bu Tami. “Yawis, Ibu tak ke samping dulu mau ambil jemu
Abib memperhatikan Nasya dengan alis terangkat sebelah. Ditanya malah bengong, begitu pikir Abib.“Sya!” Abib melambai-lambaikan tangannya di depan wajah temannya itu. “Hallo ... Nasya Mikayla Madava. Can you hear me?”Nasya mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. “Eh, iya, Bib. Kenapa?”“Lu butuh aqua? Kayak enggak konsen gitu.”Nasya hanya tersenyum canggung. Abib izin permisi sebentar untuk mengambilkan tamunya air minum. Namun, di tembok ruang tengah, ia bertemu dengan tiga perempuan yang tengah cosplay jadi cecak-cecak di dinding, diam-diam mengintip dan menguping.Amira, Tarissa, dan ibunya hanya nyengir kuda setelah ketiganya sedikit terkejut melihat kedatangan Abib yang tiba-tiba. Mereka hanya penasaran dengan wanita cantik yang baru pertama bertandang ke rumah Bu Tami sebagai tamunya Abib. Pasalnya, anak jejaka Bu Tami itu ta
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d