Hai, Arsyil lovers😍 Terima kasih untuk yang sudah mengikuti cerita ini dari bab awal hingga di bab ini. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih yang tak terhingga. Jangan ragu berikan kritik dan saran yang membangun di kolom komentar, ya🙏🙏🙏 dan jangan lupa berikan juga komentar kalian buat cerita ini di ulasan depan serta rate bintang 5 ⭐⭐⭐⭐⭐ Ikan hiu minum aqua, i love you semua😘😘😘😘
Tiga tahun kemudian ....“MAMAAA ...!”Amira mengerjap saat mendengar suara putranya yang melengking. Ia pun langsung terduduk, membuat Arsyil jadi ikut kaget ketika sang istri keluar dari dekapannya yang tadi sama-sama masih tertidur.“Gala?”“Kenapa, Yang?” tanya Arsyil dengan suara khas bangun tidur.Wanita dengan kimono tidur bahan satin itu langsung menggelung rambutnya dan turun dari ranjang.“Kayaknya Syila bikin ulah,” ucap Amira sembari berjalan menuju pintu.Arsyil tersenyum dan ikut bangkit dari tidurnya. Ia sangat menyukai keributan di pagi hari. Keributan yang selalu bersumber dari gadis kecilnya. Pasti Syila sudah membuat kekacauan, pikirnya.Amira berlari kecil menuju kamar sang putra. “Kenapa, Kak?”Mata Amir
Seorang wanita turun dari sebuah taksi online tepat di depan rumah megah nan mewah. Rumah dengan dua lantai milik pengusaha muda dan Youtuber terkenal, Arsyil Miftah.Arsyil memang membeli rumah cukup besar di daerah kompleks orang tuanya setelah Arsyila lahir. Ia sudah merenovasinya agar lebih nyaman dan layak untuk keluarga kecilnya. Terlebih untuk Syila yang suka bereksplor di usia emasnya.Wanita dengan dandanan menor itu langsung masuk ketika pos satpam terlihat kosong. Dengan dagu terangkat ia mulai mengayun langkah dan memencet bel berkali-kali dengan tak sabar. Matanya terus bergerak dan mengitari setiap interior rumah yang terlihat sangat elegan dan nyaman.“Maaf, cari siapa, ya?”Sang wanita memutar tubuhnya. Amira mengernyit melihat wanita yang menjadi tamu pertamanya di pagi hari ini. Kacamata hitam yang semula bertengger di hidungnya langsung ia angkat dan kini berpindah di a
Dengan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun dan tanduk yang siap menyeruduk, Amira pun langsung maju dan menarik sebelah tangan Riana agar melepas dekapannya di tubuh sang suami. Tentu saja Amira tak akan pernah mau mengalah untuk yang kedua kalinya. Apalagi pada wanita yang sama!Jika dulu Dewo dan Riana kedapatan berbuat zi*na di depan matanya sendiri, kali ini Amira tak akan membiarkan pelakor itu menghampiri rumah tangganya lagi, apalagi merebut suami keduanya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Dewo yang dulu menyelingkuhinya dengan wanita modelan seperti Riana. Wajahnya standar, hanya menang body saja.Namun, benar kata seorang mantan girlband yang suaminya direbut oleh pelakor. Katanya, “Pelakor itu enggak perlu cantik. Cukup enggak tahu diri saja.” Dengan gerakan cepat, Amira langsung menarik sebelah tangan Riana. Dengan sekali entakkan, wanita tidak tahu unggah-ungguh itu langkahnya langsung terjajar ke belakang. Pak Imran sigap memegangi kedua lengan Riana agar tak kem
“Rumahnya enak, Yah. Nyaman.”“Gala suka?”Anak tampan itu tersenyum. “Kok tanya Gala? Kan, Ayah yang mau beli rumah.”Dewo pun membalas senyum putranya. “Kalau Gala suka, Ayah akan ambil rumah ini. Tapi, kalau Gala enggak suka, kita bisa pilih rumah yang lain yang Gala mau.”“Kenapa begitu?”“Apa yang Ayah punya, suatu saat juga akan jadi milik Gala.”“Maksudnya ... rumah yang akan Ayah beli ini suatu saat akan jadi milik Gala, gitu?”“Nah, betul!”Gala bergeming. Dewo yang berjalan mengitari rumah yang akan dibelinya itu seketika menghentikan langkah. “Kenapa, Nak?”“Gala bingung, Yah.”“Bingung kenapa?”“Sama nenek, G
Beberapa hari ini, Dewo mulai sedikit gelisah. Ia merasa mendapatkan teror dari sebuah nomor yang tidak tersimpan di ponselnya. Isinya sama. Menuntut sebuah nafkah lahir atas anaknya. Anak siapa? Bukannya anak Dewo hanya Gala?Awalnya Dewo hanya mengira jika itu adalah kerjaan orang iseng saja. Namun, nomor itu terus mengiriminya pesan demi pesan. Hingga chat terakhir yang masuk melampirkan sebuah nomor rekening.Dewo menyipitkan mata. Ia mencoba menambahkan nomor yang terdiri dari lima belas digit itu pada daftar penerima baru pada menu transfer di mobile banking-nya.“Gabriel Pangestu?” gumam Dewo.Ya, nomor rekening itu tercatat atas nama Gabriel Pangestu.“Kenapa nama belakangnya mirip dengan namaku?” Dewo terus bermonolog.Dewo sempat memanggil nomor ponsel orang tersebut, tetapi dialihkan. Apa maksudnya, coba?
Dewo memejamkan mata. Kenapa Riana harus datang lagi saat ia ingin berubah? Foto-foto perzinaan antara dirinya dan wanita itu ternyata masih tersimpan. Dan kini, Riana kembali mengingatkannya dengan mengirim beberapa adegan panas itu kepada Dewo. Dibubuhi sebuah ancaman pula. Shit!“Ada apa, Dewo? Kenapa wajahmu berubah?” tanya Bu Tami.“E-eh, enggak pa-pa, Bu. Masalah kerjaan,” jawab Dewo.“Ada masalah apa, Mas?” Arsyil menyahut.Tentu saja suami Amira ingin tahu. Jika Dewo berkata soal pekerjaan, itu artinya menyangkut soal usaha milik keluarga Arsyil.“Oh, b-bukan apa-apa, Pak. Hanya masalah kecil saja antar sesama pekerja. Insya Allah tidak akan berpengaruh pada kinerja pabrik.”Dewo masih tak biasa memanggil Arsyil hanya dengan nama saja walau di luar pekerjaan. Bagaimanapun, Arsyil adalah atasannya. Walau
‘Lalu apa maksudmu mengirimiku foto-foto kita dulu?!’ Dewo sudah mulai terpancing emosi. “Tentu saja untuk mengingatkanmu kalau dulu kita pernah sepanas itu, Sayang.” ‘Dasar gi*la!’ umpat Dewo kesal. Riana tergelak. “Ya, aku memang gila, Dewo. Kenapa kamu baru menyadarinya?” Dewo mengeratkan rahangnya. ‘Di mana kamu sekarang?’ “Enggak jauh dari kalian. Aku ada di sekitar kalian.” Sudah Dewo duga. ‘Kita harus ketemu!’ “Tentu. Tentukan saja tempatnya, Sayang.” Tut! Dewo memutus sambungan. Ia mengusap kasar wajahnya. Cepat-cepat Dewo membagikan lokasi yang ia tentukan untuk tempat pertemuannya dengan Riana, wanita yang sudah membuat Dewo dan Amira bercerai. Sekitar lima belas menit berkendara, Dewo sampai lebih dulu. Yang dia tahu, rumah Riana berada sekitar satu jam dari rumah mantan ibu mertuanya. Mungkin wanita itu akan telat datang. “Eh? Tapi dia bilang ada di sekitar sini,” gumam Dewo pelan. Cepat-cepat langkahnya memasuki bangunan kafe. Pandangannya menyapu ke seluruh
“Kamu ngobrol apa tadi sama Dewo, Yang?”“Ngobrol santai.”“Iya, tahu. Topiknya apa?”“Cie ... kepo.”“Ish!”Arsyil terkekeh dan menjawil gemas dagu Amira.“Ngelurusin soal wanita yang waktu itu ke sini dan bilang mau jadi nyonya itu, lho.”“Terus?”“Dewo sempat kaget.”“Dia bilang enggak siapa itu cewek?”Arsyil mengangguk dan menarik lembut kepala istrinya untuk menyandar di dadanya. Diciumnya dalam-dalam kepala sang istri.“Aku janji akan berusaha semampuku ngelindungi kamu dan Gala dari Riana, Sayang,” ucap Arsyil dengan sungguh-sungguh sembari mengelus lembut rambut istrinya. “Aku tahu, walau tak sesakit dulu, tapi luka itu mas
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d