Aku berbalik menatap sumber suara yang ternyata mas Adam. Heran bagaimana bisa aku bertemu dia disini. Saat melirik kearah mas Alam, ternyata pria itu sudah menghilang."Cepat amat dia kabur, takut kali ketemu bosnya disini," ucapku lirih."Apa kau bicara sesuatu, Ma?"Aku mengelengkan kepala, karena percuma memberitahu mas Adam soal Alam."Stop, hentikan mas, mau apa memasukkan semua barang itu ke dalam troli ku?"Aku mendengus kesal dan mengembalikan semua, barang-barang yang tadi dia masukkan kedalam troli ku."Apa yang kau lakukan, aku hanya menitipkan semua belanjaan itu. Nanti aku yang bayar semua."Aku berhenti memindahkan barang-barangnya dari troli ku. Lalu berdiri tegak didepannya, sembari menunjuk kearah tumpukan troli yang berjejer dengan rapi."Disana banyak troli, Mas. Kenapa harus memakai punyaku?""Karena belanjaan mu masih sedikit, nanti kalau sudah penuh kita ambil troli lagi."Dia memberiku tanda untuk jalan terlebih da
Mas Adam menekan kata yang dia ucapkan. Memangnya mau kemana? Aku meninggalkan barang sebanyak ini di atas troli."Naik, biar mas letakan semua barang ke mobil. Aku segera naik dan duduk di belakang, mas Adam melotot dan berdiri di sampingku."Tak ada sopir, apa iya aku dijadikan sopirnya." Ucapnya."Cerewet ah."Aku segera pindah ke depan. Pria itu tersenyum dan kembali memindahkan barang-barang ke dalam mobil, lalu pergi setelah meletakkan troli di tempat aman."Mau makan malam dulu atau ....""Langsung pulang."Aku memotong ucapannya, melihat tingkahnya aku takut berbuat kesalahan lagi. Tak tega melihat wajahnya, saat aku bicara sesuatu yang mungkin membuatnya sakit."Tunggu dulu, mas ada urusan sebentar."Dia meminggirkan mobil dan segera turun. Aku melihatnya berlari ke penjual pinggir jalan. Dia pasti membeli martabak dan lontong sate."Untuk apa sebanyak itu, Mas?"Aku bertanya karena dia benar-benar kembali, membawa banyak bun
Ciiit ...brak ....Adam terkejut dia segera menginjak rem. Saat sebuah mobil tiba-tiba memotong dan berhenti tepat di depannya.Saat dia sedang menarik napas, terdengar ketukan di kaca mobil. Rahangnya mengeras saat melihat siapa yang datang dan mengetuk jendela mobilnya."Mau apa kau Raisa. Kalau mau mati jangan ditempat umum, kau mau menyusahkan aku?"Adam keluar dan langsung memarahi wanita yang berpakaian sangat minim. Adam sampai memalingkan wajahnya karena malu."Kau ...."Adam tak mampu bicara, dia hanya bisa menunjuk kearah wanita yang berusaha memeluknya."Lepaskan, jangan sentuh aku!"Adam mendorong wanita itu hingga jatuh, dia sama sekali tak berusaha menolong. Hingga membuat seorang pria keluar dari mobil yang menghadang tadi. Pria itu langsung menolong sang wanita."Alam sedang apa kau disini? Kau kenal ...?"Adam tak melanjutkan pertanyaannya, karena kini dia paham apa yang tengah terjadi."Aku tak menyangka, koneksi mu bisa sampai pada Raisa, Lam. Tapi aku tak heran jug
Adam menghubungi asistennya yang menangani kantor cabang dan dia terkejut saat mengetahui kalau Alam telah mengundurkan diri."Pasti Raisa memberi tawaran yang mengiurkan, sehingga pria itu mau berhenti dari pekerjaannya. Tambah satu lagi korban mu, Sa."Adam duduk di pinggir tempat tidur dia memikirkan rencana, Raisa. "Jika dia berani menyentuh Asma, aku akan pastikan dia menyesal."Adam membaringkan tubuhnya dan menatap layar ponsel. Menggeser menuju galeri dan tersenyum, saat melihat wajah seorang wanita yang diam-diam dia ambil."Asma."Adam menatap wajah Asma yang berhasil dia ambil secara diam-diam. Mana mungkin Asma akan memberikan fotonya, pada sembarang orang apalagi padanya."Bagaimana, Mbak Asma. Apa mas Adam baik-baik saja?"Di kamarnya Asma terlihat mulai tenang. Entah kenapa dia merasakan sebuah firasat tadi, sehingga tanpa sadar tangannya menyenggol gelas di samping tempat tidur hingga pecah."Tidak apa-apa, Dek. Sudah biar mbak yang bersihkan itu."Lidya tertawa karen
"Kau yang akan menyesal, Mas. Wanita itu bukan tipemu, selamanya kau akan mengiginkan aku untuk menjadi istrimu."Wanita itu terlihat kesal karena Adam melambaikan tangan, seolah tak perduli dengan ucapannya."Buka pintunya! Apa kalian mau membunuh ku di tempat buruk ini?"Raisa berteriak seperti orang gila, Asma segera membuka pintu untuknya. Lalu dia membalikkan tanda tutup menjadi buka."Kasihan untuk membuka pintu begini saja dia tak bisa."Asma berucap pelan, sembari tersenyum saat melihat Raisa berpaling dan menatapnya."Kau akan menyesal berani melawanku, Asma."Raisa mengancam Asma, sebelum dia pergi menaiki mobilnya."Wanita yang luar biasa."Ucap Asma lirih."Iya luar biasa, karena itu dia pergi dengan pria lain."Asma menatap pria dihadapannya dengan tatapan aneh. Ada orang seperti ini di dunia."Kenapa menatapku begitu?""Ada apa mas Adam kemari dan kapan mengetahui wanita itu kenal dengan Alam?"Asma bertanya balik tanpa menjawab pertanyaan Adam"Alam ya, apa kau masih ce
Tin...tin...Asma menatap mobil yang membunyikan klakson. Dia sudah menepi tapi pengemudi mobil justru berhenti di depannya."Hai ... janda ku masih betah jalan kaki cobalah beli mobil, percuma uangmu banyak kalau tak bisa kau nikmati. Beli mobil atau motor jangan jalan kaki terus.Asma menarik napas disaat suasana hati yang sedang tak enak. Dia justru bertemu si biang rusuh Alam."Terserah kau saja, Lam. Semoga tak menyesal dikemudian hari."Asma kembali melangkah pergi, meninggalkan Alam yang merasa heran dengan perubahan mantan istrinya. Namun tak lama dia tersenyum senang."Sepertinya kau mulai menderita, Ma. Makanya jangan sok mau mendekati Adam, kau tak sebanding dengan Risa mantan istri pak Adam. Secara dia cantik, putih dan seksi kau kalah jauh darinya."Alam melajukan mobilnya, tak perduli meski melihat Asma berjalan kaki pulang. Dia dan Asma tak tau, kalau ada mobil lain sedang mengikuti dari belakang."Apa yang membuatmu begitu sedih, Ma. Apa karena Alam terlihat dekat deng
"Sudah tidak usah berpura-pura lagi, Asma. Aku sudah mengetahui segalanya, kau kuras harta anak-anakku dengan dalih usaha. Aku rasa kau tau bagaimana uang sebanyak itu masuk ke rekeningmu."Asma masih bingung dan tak mengerti, apa yang dikatakan oleh wanita yang telah melahirkan Adam dan Carisa."Gunakan otakmu, Asma. Bagaimana bisa toko online yang baru dibuka, bisa menghasilkan puluhan juta kalau tak ada donaturnya. Adam dan Carisa yang sebenarnya menyumbang padamu, sedangkan pembeli itu fiktif semua."Asma terkejut dia tak menyangka Adam dan Carisa melakukan semua ini untuknya. Jadi semua transaksi yang dia lakukan selama ini bohong."Aku tak menyangka, kau berhasil mengunakan anakmu, untuk meraup untung begitu banyak, Asma. Anak adalah kelemahan Adam dan Carisa, kau mengenai hati mereka untuk menguras hartanya. Sekarang sudah cukup, tolong tinggalkan dia, kau kaum rendahan tak pantas berdampingan dengan kami."Mama Adam melampiaskan kemarahannya, dengan menghina Asma."Cukup! Aku
"Takut kau bilang? Tadi kau bicara panjang lebar, apa tak merasa takut menyakiti aku, Asma!?"Asma menangis, dia terus meminta maaf tapi Adam seolah tak perduli. Pria itu semakin melajukan mobilnya dengan kencang, Asma semakin ketakutan dengan cara Adam mengemudi.Untunglah pria itu berhenti, disebuah tempat yang cukup sepi. Asma segera keluar dan muntah dipinggir jalan.Dia tak mendengar suara ataupun keberadaan Adam. Ternyata pria itu justru menangis disamping mobilnya."Ucapan demi ucapan Asma sunguh membuatnya hancur. Tapi dia juga tak rela kehilangannya, melihat Asma pergi membuatnya gila, itu sebabnya dia menarik Asma pergi, meninggalkan mamanya dan Raisa."Kenapa ... kenapa kau tega padaku, Asma. Apa salahku, sehinga kau bisa bicara sekejam itu?"Asma tak menjawab, dia menghampiri pria yang terlihat sangat hancur itu. Sakit tentu dia juga merasakan hal yang sama."Aku tak bisa berada di sisimu untuk kau miliki, Mas. Tapi aku akan memberi apa yang kau inginkan."Asma hendak memb
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari