"Masuklah aku sengaja menyewa rumah ini untuk setahun. Gunanya untukmu tinggal sementara, sampai rumah mbak Asma selesai.""Ma...ma..."Suara itu lagi aku kira berhalusinasi, ternyata ibu memang tak pulang ke kampung."Rumah nenek sudah ibu jual, atas ijin paman dan bibimu. Mereka ingin membantumu, karena itu mereka tak minta bagian dalam penjualan rumah."Jadi ibu akan tinggal di sini bersamamu, begitu juga dengan Lidya nanti kita bicarakan soal hak adikmu, untuk saat ini kau harus berdiri tegak dulu."Lidya, aku baru ingat adik kecilku itu. Dimana dia sekarang, tak mungkin masih di kampung?"Aku disini Mbak tak perlu mencari kemana-mana. Maaf semalam tak bisa ikut main ke kolam renang, karena sibuk mendaftar kuliah."Aku berlari dan memeluk adik kecilku, dia pasti membantu ibu merawat keponakannya setelah pulang sekolah, dia baru tamat dan sekarang baru mendaftar kuliah disini."Tak usah banyak drama ayo kita sarapan."Mak Ijah keluar dari dapur, dia mengajak sarapan tapi dengan nad
(Semua beres Bu, aku sudah berhasil mengambil sertifikat Asma. Sekarang silahkan jadikan dia pembantu di acara lamaran Rika. Begitu juga di acara pernikahan, setelah itu aku akan menendangnya.)Asma tengah berdiri di bawah jendela kamarnya. Saat mendengar percakapan Alam dan ibunya. Wanita itu hanya tersenyum meski tau, barang berharganya telah di curi.(Iya Bu aku sudah mendapatkan nomor bang Danu, dari Ari anak pak Jono.)Saat itu Alam terdengar sangat bahagia. Seolah tak berpikir kalau Asma istrinya, kalau bercerai harus merawat anak kandungnya.Di bawah jendela Asma hanya mampu memukul pelan dadanya, karena mencoba menghilangkan sakit di dalam sana.(Segera Bu, begitu dapat uangnya. Kita langsung membuat rencana pesta dan decorasi pernikahan Rika. Iya kita buat besar-besaran.)"Silahkan lakukan, Mas. Habiskan uang yang kau dapat, setelah itu aku pastikan kau akan menangis darah.Asma berkata dalam hati, dia masih berusaha mendengarkan percakapan Alam dan ibunya yang belum selesai.
"Ingat bantu siapkan makanan di belakang, soal di depan biar aku yang mengurusnya."Seharian Asma bekerja seperti binatang, tak dibiarkan istirahat walau hanya untuk minum segelas air putih. Hingga akhirnya sang adik ipar memanggilnya, hanya untuk pamer barang hantaran."Lihat mbak Asma, beginilah kalau wanita cantik dan berpendidikan tinggi, hantarannya sangat banyak dan mahal. Tas ini puluhan juta harganya, sepatu ini juga kisaran lima puluh jutaan lalu kosmetik ini satu setnya bisa dua puluh jutaan. Masih banyak lagi kau bisa melihatnya, agar tak bermimpi karena belum melihat barang-barang mahal ini."Rika tertawa hingga suaranya menarik perhatian sang ibu, yang kebetulan lewat di depan kamar anaknya."Apa yang kau lakukan disini, Asma. Paling kan matamu percuma kau menginginkan semua itu, karena tak mungkin mau memilikinya. Lebih baik bantu orang menyiapkan makanan untuk calon mantu ibu."Kembali asma harus ke dapur menyiapkan makanan, lalu membereskan bekas makan keluarga itu. Sa
Ibu Alam segera berlari mencoba menolong Alam. Tanpa sadar dia menyentuh selangkangan anaknya yang langsung ditepis dengan kasar."Bodoh sakit tau!"Wanita itu terkejut saat mendengar bentakan anaknya. Dia terduduk karena tak tau harus berbuat apa untuk menolong."Setelah cukup lama berguling Alam mulai terlihat tenang. Mungkin sakitnya mulai berkurang, dia lalu berlutut di depan Danu, pasti karena belum bisa berdiri dengan sempurna."Apa yang salah kenapa kau tendang aku? Memangnya kenapa kalau itu punya Asma, bukankah bagimu mudah untuk merubahnya, walau tanpa tanda tangan perempuan bodoh itu."Plak ...plak ....Dua kali Danu menampar wajah Alam, membuat ibu dan anak itu semakin heran. Tapi mereka benar-benar tak tau apa salah mereka."Salahmu karena ini, bodoh!"Danu melemparkan setifikat milik Asma. Alam memeriksanya tapi tak tau juga masalahnya apa yang membuat Danu begitu marah."Dasar bodoh bagaimana kau bisa mengadaikan setifikat palsu padaku. Untung mbak Asma memberitahuku le
Aku hancur saat melihat wanita itu berlari, hingga jatuh bangun untuk masuk ke dalam rumah. Menangis pun percuma, karena tak mampu membantu wanita yang telah melahirkan aku. Sedangkan Asma si wanita terkutuk itu. Dia memalingkan muka seolah tak sudi melihat ibu yang jatuh bangun masuk rumah untuk melihat sertifikat miliknya. "Sertifikat ibu hilang, Alam! Asma mencurinya dan menyerahkan pada rentenir itu, cepat bangun ambil sertifikat itu lagi."Ibu berlari dan terjatuh lagi, aku lihat kepalanya terantuk batu yang cukup besar. Asma bergerak sebentar lalu kembali memalingkan muka, setelah melihat Rika dan mbak Ani menolongnya."Perempuan setan kau sudah membuat ibuku menderita diusia tuanya, Asma!"Aku berniat bangun untuk menyerangnya, namun sebuah tendangan telak menghujam ulu hatiku. Setelah tersyungkur aku benar-benar tak bisa bergerak sama sekali."Aku sudah cukup bersabar selama ini, Mas. Menelan semua hinaan dan caci maki dari keluargamu, hanya demi kehidupan layak dan bahagia
Mbak Ani tampak gelagapan, dia segera memperbaiki sikapnya. Entahlah sepertinya dia memang tak suka kami tinggal di sini."Aku heran, Bu. Memangnya dimana ibu menyimpan sertifikat rumah, sehingga begitu mudah Asma menemukannya.""Dimana lagi kalau tak di bawah kasur. Ibu lupa Asma itu tugasnya babu, tentu dia tau apa saja barang berharga dan dimana benda itu tersimpan."Aku hampir pingsan saat mendengar jawaban Rika. Hari gini masih ada manusia menyimpan barang berharga, di bawah kasur atau tilam tempat untuk tidur."Tak usah dibahas nyatanya bertahun-tahun aman, baru sekarang aja ketahuan dan hilang."Ibu berusaha membela diri, meski dia tau semua ini kesalahannya. Namun di wajahnya masih terlihat ketidakiklasan hatinya saat harus kehilangan rumahnya."Tempat tinggal kita sudah aman. Sekarang bagaimana caranya kita mendapatkan uang, hidup kita sudah miskin terbalik dengan nasib Asma yang terlihat mulai bagus. Bisa merenovasi rumahnya juga.""Aku yakin pasti itu uang haram, Bu. Mana m
"Tetap aja dinginnya beda kalau dengan kipas angin. Aku mau pakai AC.""Kalau ada uang kau bisa beli AC nanti kita pasang di kamarmu, Ka. Saat ini sabar dulu mengunakan kipas angin."Mbak Ani mulai berkata ketus karena Rika bertingkah seperti anak-anak. Dia tak berpikir permintaannya tak masuk akal di saat seperti ini."Atau kau hubungi saja Seno. Bukankah kalian sudah sah, menikah walau belum pasti."Aku dan ibu terkejut mendengar ucapan mbak Ani. Dia benar pernikahan Rika dan seno sah atau tidak. Karena tak ada kata sah dari penghulu, karena istri pertama seno keburu datang dan bilang tak saja."Apa maksudmu, Mbak Ani. Kau tak suka aku, Ibu dan mas Alam tinggal disini? Ingat rumah ini punya anak pertama ibu Mas Dika, jadi kami yang lebih berhak tinggal di sini.""Cukup, Ka. Mau sampai kapan kau bertingkah seperti anak-anak, aku menyayangi keluarga suamiku, karena itu tetap bersama kalian, apa kau lupa semua masalah ini terjadi karena kebodohanmu.""Sudah cukup kalian bertengkar apa
aku tersenyum melihat mas Alam dan keluarganya pucat pasi, saat mengetahui bukan rumahku yang akan di ambil oleh rentenir tapi rumah mereka.Aku sengaja membuat sertifikat palsu karena curiga dengan sikap mas Alam yang selalu berubah. Kalau tak sudi melihatku menikmati uangnya, kenapa tak dia ceraikan aku dari awal.Lagipula aku selalu dengar dia bilang punya rencana, setiap kali ribut dengan ibu atau dengan mbak Ani. Karena itu aku segera mengamankan diri, terutama rumah yang diberikan bapak dan ibu. Rumah yang menjadi saksi perjuangan orang tuaku. Sejak bapak meninggal dan ibu memilih pulang karena emaknya sudah tua dan sakit-sakitan, sedang semua saudaranya ada di luar kota semua. Hasilnya setelah nenek meninggal ibu di ijinkan menjual rumahnya, untuk membantuku merenovasi rumah bapak."Tujuh ratus juta, Asma. Ibu berhasil menjualnya atas bantuan nak Bagus."Sekali lagi pria itu memberikan bantuan yang tak bisa aku balas. Setiap kali aku mengucapkan terima kasih dia akan bilang, to
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari