Asma menarik napas lega saat melihat ibu dan kedua anaknya. Setelah melihat sopirnya dia segera memerintahkan untuk pergi ke luar kota."Kau tak membawa Yuni dan Sri Ma? Kenapa?"Mendengar pertanyaan ibunya Asma hanya menarik napas, bukan tak mau tapi dia mau tenang tanpa takut apapun lagi. Sri tak bisa pergi jauh karena ada orangtua yang harus dia hidupi, sedangkan Yuni dia kenal baik dengan Adam bisa saja suatu hari dia menghubungi Adam. Itu juga yang menjadi ketakutannya selama lima tahun ini."Kita akan pergi jauh untuk memulai hidup baru Bu, kalau ibu berat meninggalkan Lidya, ibu bisa kembali dengan bang Ramon."Wanita itu mengelus rambut putri sulungnya. Dia sudah memilih untuk menemani Asma karena dia yakin Lidya bisa menghadapi masalahnya jika Asma pergi.*****"Asma berhenti."Asma dan ibunya terkejut saat melihat siapa yang memanggil. Mereka tak menyangka tertangkap semudah itu."Mau kemana kau? Bukankah sudah aku bilang. Beri kesempatan untuk membuktikan, kalau aku tak ber
"Maafkan mama, mulai besok kita akan hidup dengan normal. Tak perlu lagi berlari seperti ini."Asma memeluk putranya, dia juga melihat putrinya yang duduk di belakang. Shila hanya tersenyum kearahnya."Kita sudah sampai rumah."Ramon berkata pelan, membuat Asma terkejut karena tak menyangka sudah memasuki pintu gerbang rumah George. Dia segera meminta satpam menutup pintu sebelum ada yang datang."Bu bawa anak-anak masuk, biar aku hadapi mereka. Sekarang tak bisa lagi menghindar harus berhadapan langsung."Asma mendekati pintu gerbang, tanpa membuka dia bertanya pada Adam dan Alam. Mau apa keduanya datang."Asma beri kesempatan aku bertemu Shila, dia anakku juga tolong jangan egois."Asma tertawa lalu menatap sinis pada Alam. Pria yang dia kira pernah depresi itu ternyata hanya penipu."Untuk apa kau mau menemuinya? Bukankah kau tak pernah mengaggapnya anak. Tolong jangan membuatku semakin muak padamu, jika kau berkeras aku bisa membuatmu lenyap dari dunia ini tanpa diketahui oleh ora
"Anak mama ganti baju dulu, biar mama lap dengan air hangat, setelah itu tidur deh."Asma mencium Alkafi lalu mulai mengelap tubuh anaknya dengan air hangat. Kemudian memberi bedak dan minyak kayu putih setelah itu dia menidurkan putranya. "Semua akan baik-baik saja sayang, kita tak akan terpisahkan. Mama janji kita akan selalu bersama selamanya."Asma memeriksa jendela dan pintu. Saat melihat keluar dia melihat Adam masih berada di dekat pagar. "Dia masih keras kepala. Apa tak bisa dia memikirkan aku, yang sudah dia sakiti sedemikian rupa. Jika menginginkan kesempatan, bukankah seharusnya dia mencari bukti dan tunjukkan padaku."Asma berujar dalam hati. Dia kesal karena pria itu mencoba membuat hatinya luluh, dengan melakukan hal bodoh itu. Dengan ragu dia memegang gagang pintu untuk menemui Adam."Dia tak boleh bermalam di luar, tak enak jika dilihat warga yang jaga malam."Setelah berpikir cukup lama. Asma memilih keluar menemui Adam, dia tak mau warga sekitar bergosip tentangnya
"Mana wanita itu?"Adam bertanya pada dua orang pria berbadan besar. Mendapat pertanyaan dari Adam, keduanya menunjuk ke arah kamar yang terkunci dari luar."Buka pintunya, kau mau bertemu wanita itu."Salah satu dari pria itu segera mengambil kunci dan membuka pintu. Tampak seorang wanita meringkuk di sudut kamar gelap tanpa jendela."Dudukkan dia. Aku ingin dia bicara, apa yang terjadi lima tahun yang lalu."Salah satu dari pria itu menarik tubuh sang wanita dan memintanya duduk. Meski terlihat takut tapi wanita itu masih bisa menatap sinis pada Adam."Aku ingin kau katakan, apa yang kau ingat kejadian lima tahun lalu di hotel xxx. Aku rasa kau tak mingkin lupa, karena tadi kau menemui mantan istriku."Mendengar pertanyaan Adam. Wanita itu tertawa kecil membuat Adam mengerutkan keningnya. Dia heran karena wanita itu seolah tidak takut sama sekali padanya."Kau mau mendengar apa Mas? Mau dengar kalau kau begitu gagah saat meniduriku. Mungkin kau lupa, betapa hebatnya kau waktu itu, b
"Apa kabar Ma? Pasti enak hidup tak bergerak begini. Aku senang setidaknya kau tak perlu lagi berbuat kejam pada banyak orang."Adam menatap wanita yang selama ini dia anggap mama kandungnya. Wanita yang berwajah baik, ternyata iblis yang sangat kejam."Apa mama tau? Kalau mama Ambar kembali. Dia masih secantik dulu, aku rasa papa akan kembali jatuh cinta karena ilmu mama sudah luntur."Adam tersenyum melihat mata Riska bergerak dengan liar. Dia pasti sedang marah besar kali ini, tapi Adam tak perduli, dia justru memanggil suster dan meminta barang pribadi Riska."Ini semua barang milik ibu Riska Pak, semua tercatat disini, ada tandatangan saksi saat barang-barang ini di simpan."Adam melihat ada tandatangan Umar. Dia orang yang membawa Riska kerumah sakit atas perintahnya, saat itu dia bergerak untuk melindungi mamanya."Baik terima kasih Sus, biar saya temani mama disini."Adam mulai memeriksa tas milik Riska, namun tak menemukan hal yang mencurigakan. Kemudian beralih pada ponsel w
Adam terkejut mendengar ucapan Aji. Dia segera menepis prasangka itu, karena dengan Raisa mamanya baik-baik saja."Waktu itu kau tak terlalu mencintai Raisa Mas, kemudian kau jadi bucin akut pada Mbak Asma mungkin itu salah satu penyebab mama Riska jadi seperti itu."Adam kembali mengelengkan kepalanya. Dia masih tak percaya, wanita yang dia panggil mama memiliki perasaan padanya.Dreet ....Saat Adam dan Aji sibuk dengan pikiran mereka. Terdengar panggilan dari ponsel Adam. Pria itu langsung menerima, setelah tau siapa yang menghubunginya.[Temui aku segera, ada yang harus kau lihat]Adam berlari setelah mendengar suara Umar. Dia tau pasti pria itu sudah menemukan sesuatu dari ponsel wanita yang menjebaknya."Mas mau kemana? Buru-buru amat."Adam tak menjawab dia hanya melambaikan tangan. Aji menarik napas karena sendirian dirumah sakit, untuk menemani papa dan mama sambungnya."Apes amat, aku yang terdampar disini sendirian."Aji mengambil ponsel dia ingin menghubungi Lidya, tapi ama
"Selamat siang Bu Asma, ada tamu yang ingin bertemu."Asma segera meminta sekretarisnya membawa tamu yang ingin menemuinya. Dia terkejut saat melihat George dan istrinya tersenyum dengan bahagia."Ya Allah, kalian datang kemari tanpa memberi kabar."Asma berlari menghampiri George dan istrinya. Wanita itu sangat bahagia bertemu dengan orang yang telah banyak membantunya."Kau yang terlalu sibuk, hingga tak bisa diganggu sama sekali."George dan istrinya tersenyum, membuat Asma malu karena merasa menjadi orang yang tak tau membalas budi."Hai, jangan dimasukkan ke dalam hati. Kami hanya bercanda."Asma tertawa agar George dan istrinya tidak merasa tak enak hati. Dia senang karena akhirnya bisa bertemu dengan mereka."Syukurlah semua berjalan dengan baik. Bahkan kami terbebas dari teror juga sejak kau pergi, disini aku mendapat kabar kau juga bisa hidup tenang sejak wanita itu tumbang. Siapa sebenarnya wanita itu hingga punya kekuasaan begitu besar."Asma mendengarkan ucapan George. Dia
"Apa tak bisa kau memberi kesempatan Adam sekali saja Ma? Ibu rasa dia tak mungkin melakukan hal bodoh itu. Ingat perjuangannya saat mengejarmu dulu."Asma menarik napas setelah mendengar ucapan ibunya. Untung George dan istrinya sudah kembali ke Surabaya, setelah dua hari menjenguknya."Ibu tak melihat apa yang aku lihat, jadi tolong jangan membuatku menjadi istri yang kejam, walau sekarang sudah bercerai dengan mas Adam.Rasa jijik itu sampai sekarang membuatku mual. Bahkan hanya melihat wajahnya sudah membuatku muntah Bu, aku sudah berbaik hati memberinya waktu seminggu, tapi sampai sekarang tak ada bukti yang menunjukkan dia tak bersalah."Asma meletakkan sendok makannya, lalu keluar untuk melihat Alkafi yang bermain di luar bersama Sri. Gadis itu masih dia ijinkan kerja, sedangkan Yuni telah pergi bersama Adam."Sri biarkan ibu yang menemani Alkafi, kamu bisa makan dulu."Mendengar ucapan asma, Sri segera beranjak pergi setelah Asma berada dekat dengan anak asuhnya."Anak mama sed
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari