"Aku mau pulang saja, Bu. Kita lakukan pengobatan alternatif dulu, kalau tak berhasil baru kita ke dokter spesialis."Aku harus menghemat meski punya banyak uang, hasil menjual barang-barang mewah Rika, tapi kalau untuk membayar dokter tentu akan cepat habis uangku itu."Mau pulang kemana, An. Apa kau siap berhadapan dengan keluarga itu lagi?"Ibu benar, apa aku sanggup berhadapan dengan ibu mertua? Tentu wanita itu akan menyalahkan aku karena jadi penyebab anaknya menjadi gila."Aku akan bertahan, sampai kita bisa mendapatkan uang dari Asma, Bu."Aku sudah memutuskan untuk tetap berada di rumah kontrakan ibu mertua. Disana aku bisa menumpang, tanpa perlu mengeluarkan uang."Apa kau yakin, An. Ingat Alam masih di penjara, sedangkan Rika sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Apa kau sanggup merawat ibu mertuamu itu."Ibu benar aku harus memikirkan wanita lumpuh itu. Tanpa Alam bagaimana aku menghidupi ibunya."Kita cari barang berharga di kamar ibunya Alam, Bu. Hanya dengan cara itu kita b
Santi terdiam dia tak bisa bicara, karena Alam benar-benar marah. Dia terlihat kesal saat ibu tersenyum sinis padanya. Sedangkan Alam, mendorong kursi roda ibunya masuk kerumah."Kau baru pulang Lam, istirahatlah. Nanti saja kita bicarakan pernikahanmu dengan Ani."Aku hampir tertawa saat melihat Santi mendengarkan ucapan ibu. Hatinya tentu sakit, karena beberapa hari ini dia yang merawat ibunya Alam."Kenapa kau duduk di kursi roda, An. Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa Asma bilang terpaksa mengeluarkan aku, karena ibu dan Rika membutuhkan dukungan. Mana Rika kenapa sepi tak ada suaranya?"Alam mencoba masuk ke kamar ibunya dan Rika, tapi tak terlihat sosok sang adik. Aku memberitanda agar ibu yang bicara."Adikmu masuk rumah sakit jiwa, Lam. Karena dia memukul Ani hingga cedera, tak hanya itu dia juga membunuh seorang pria yang mencoba menolongnya."Alam terduduk lemas, dia tak menyangka adiknya akan berakhir seperti ini. Aku dan ibu tersenyum melihat betapa hancurnya pria itu."S
Alam :Hatiku hancur kala melihat adik bugsuku yang cantik, harus berakhir seperti ini. Entah dosa apa yang dia perbuat, sampai harus berakhir di rumah sakit jiwa."Dia seperti mengalami tekanan yang sangat luar biasa, Mas. Ada ketakutan mengendap jauh di dalam hatinya. Dan ada sebuah kebenaran yang harus diketahui keluarganya."Aku menatap dokter yang menangani Rika adikku. Pria itu terlihat menarik napas dan mengajakku menuju ruangannya."Adik anda tengah hamil. Apa mas Alam mengetahuinya atau ini akibat dari perbuatannya membintangi film begituan?"Dokter bertanya pelan. Aku menatap pria itu lagi, dia segera meminta maaf tapi aku merasa dia tak bersalah."Bisa jadi, Dokter. Saya tak tau pasti, itu anak suaminya atau benih dari para pria rekan kerjanya."Dokter mengangguk seolah mengerti tapi aku justru heran melihat pria itu seolah bingung."Apa ada yang anda ketahui, Dok?""Saya heran kalau dia rela membintangi film begituan. Kenapa dia bisa menjadi gila, saya juga menemukan banya
Alam :"Dulu kau buang anakmu, Mas. Kenapa baru sekarang mau kau akui, sudahlah dia bahagia kok bersama neneknya yang kau bilang miskin. Atau karena sekarang kami sudah kaya, makanya kau menyesal."Kurang ajar Asma dan adiknya sama saja. Kompak sekali kalau mempermalukan ku."Masih ada jaman sekarang pria tak punya perasaan. Membuang anak hanya karena jelek, apa dia lupa banyak cara mempercantik diri."Terdengar suara seorang wanita dan di lanjutkan dengan wanita lain."Sudah tak punya perasaan tambah lagi tak punya malu. Sudah membuang ludah di jilat lagi, dasar menjijikan."Aku mengepalkan tangan, saat mendengar dua orang wanita berbicara dengan nada kesal."Tapi wanita itu seperti familiar, dimana aku melihatnya ya?"Wanita satu lagi menatap kearah Asma. Dan tak lama dia berteriak dengan gembira."Dia pemilik Butik terkenal itu. Teman baik pak Adam, rekan bisnis suamiku."Aku terkejut tak menyangka Asma begitu terkenal dan itu karena si pria brengsek Adam. Semoga Raisa berhasil men
Alam :Ampun, suara keras Lidya justru membuat lorong tempat kami bertemu jadi dipenuhi banyak orang. Mereka menatap tajam padaku yang kini berada ditengah-tengah para wanita."Kau paksa istrimu mengantar anaknya ke kampung, tanpa meninggalkan uang sepeserpun. Sedangkan kau tau mertuamu tak memiliki uang, bahkan usianya juga sudah tua. Kau bahkan mengancam mbak Asma membuang anaknya, kalau tak menurutimu saat itu."Lidya benar-benar menguliti ku di depan umum. Dia tak perduli meski Asma memintanya diam, entah apa yang dia pikirkan sampai berbuat begitu. Pakai acara menangis pula, membuat semua orang semakin menatapku dengan penuh kebencian."Kau tak usah banyak bicara, Lidya. Kau tak tau apa yang sebenarnya terjadi jangan asal bicara." Ucapku lirih agar Lidya berhenti bicara namun aku salah."Asal bicara kau bilang? Benalu tak tau diri seperti mu, memang harus disadarkan. Kau menumpang hidup dirumah orang tuaku, tapi tak kau nafkahi mbak Asma dengan layak. Setelah bercerai kau mau me
Bug ...plak ..plak ....Alam terkejut, dia tak menyangka kalau akan disambut sebuah tendangan dan tamparan. Dia mengusap bibirnya yang berdarah, lalu menatap kearah pintu rumah. Dia melotot saat melihat siapa pelakunya."Burhan apa yang kau lakukan, setan!"Alam membanting barang yang dia bawa dan berlari mengejar Burhan. Saudara laki-laki Santi itu sudah bersiap dengan kuda-kudanya."Kau sudah jadi pria dewasa rupanya. Berani melawan kau sekarang, jangan sampai aku kencingi lagi wajahmu, Lam."Untuk sesaat Alam teringat, bagaimana saat Burhan mengencinginya."Kau melupakan rasa malu itu, sekarang justru adikku yang kau perlakukan seperti ini."Alam tertawa dia merasa ini saatnya membalas perbuatan Burhan. Sahabat sekaligus musuh besarnya."Memangnya kenapa? Kau tak akan pernah melihatnya, Burhan. Betapa puasnya adikmu saat aku setubuhi, dia bahkan minta tambah berkali-kali."Alam tertawa dengan nada mengejek, dia tak melihat betapa marahnya Burhan kali ini. Wajah pria itu terlihat be
Wanita itu seolah tak perduli dengan apa yang terjadi. Dia mendorong kursi roda anaknya, lalu menutup pintu dari dalam."Untung si bodoh itu belanja dulu. Kalau tidak habislah uang kita, apalagi harus merawat mertuamu yang tak berguna itu."Ucap ketus ibu Ani."Ibu jangan banyak bicara, lihat keluar masih ada orang tidak. Kita harus pergi dari sini sekarang juga."Ani mengeluarkan benda dari dalam saku bajunya. Terlihat senyum licik di wajah wanita itu."Delapan puluh juta, lumayan juga aku harus mengambil semuanya.""Mengambil apa, An. Itu ponsel dan dompet siapa?"Ani tak menjawab hanya tersenyum membuat ibunya jadi penasaran."Ibu bersiap saja, kita pergi sekarang. Percuma kita disini, setelah pulang Alam pasti akan depresi berat."Wanita itu menarik napas dan mengikuti permintaan anaknya. Dia senang, akhirnya Ani memilih meninggalkan keluarga tak berguna ini."Cepat Bu, taksi kita sudah datang."Ani memanggil ibunya yang terlihat kesusahan membawa barang dan memapah cucunya. Dia p
"Ini semua karena kebodohanmu, Mas. Kalau begini bagaimana dengan anakku?"Ucap Santi dengan sedih membuat Burhan semakin kesal."Beberapa hari lagi kau melahirkan. Serahkan anak itu pada Alam, kalau tak mau, antar ke panti asuhan saja."Dengan santai Burhan berkata pada adik kandung yang selalu membuatnya kesal. Karena wanita itu, dia kehilangan kehormatannya di depan Alam."Aku tak mau menyerahkan anak ku pada orang lain, Mas," ucap Santi pelan."Terserah kau saja. Muak aku mendengar kebodohanmu itu."Burhan berdiri lalu keluar dari rumah sakit. Pak RT mengikuti dari belakang, karena mereka datang bersamaan."Percuma menunggu Alam pak RT. Ibunya tak bisa menunggunya terlalu lama, dia butuh perawatan, jadi serahkan pada dinas sosial saja."Pak RT menarik napas. Dia sebenarnya merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena wanita itu sekarang, hanya memiliki Alam saja."Kalau tak tega, bawa saja ke rumah dan rawat dia pak RT."Burhan berkata dengan nada ketus. Dia semakin kesal
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari