"Ini semua karena kebodohanmu, Mas. Kalau begini bagaimana dengan anakku?"Ucap Santi dengan sedih membuat Burhan semakin kesal."Beberapa hari lagi kau melahirkan. Serahkan anak itu pada Alam, kalau tak mau, antar ke panti asuhan saja."Dengan santai Burhan berkata pada adik kandung yang selalu membuatnya kesal. Karena wanita itu, dia kehilangan kehormatannya di depan Alam."Aku tak mau menyerahkan anak ku pada orang lain, Mas," ucap Santi pelan."Terserah kau saja. Muak aku mendengar kebodohanmu itu."Burhan berdiri lalu keluar dari rumah sakit. Pak RT mengikuti dari belakang, karena mereka datang bersamaan."Percuma menunggu Alam pak RT. Ibunya tak bisa menunggunya terlalu lama, dia butuh perawatan, jadi serahkan pada dinas sosial saja."Pak RT menarik napas. Dia sebenarnya merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena wanita itu sekarang, hanya memiliki Alam saja."Kalau tak tega, bawa saja ke rumah dan rawat dia pak RT."Burhan berkata dengan nada ketus. Dia semakin kesal
"Apa kau tak salah dengar, Dek. Mana mungkin dia bebas secepat ini?"Asma terkejut saat mendengar tentang kebebasan Burhan. Dia taunya pria itu masih harus mendekam di penjara, paling tidak dua tahun lagi."Sudah banyak yang bilang, Mbak. Dia bahkan langsung mendatangi Alam dan membuat perhitungan," ujar Lidya."Perhitungan bagaimana maksudmu Dek, jelas kan cepat."Asma semakin penasaran, dia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi tadi siang. Karena sibuk di luar dia jadi ketingalan berita."Apa!"Asma berteriak karena Lidya berbisik, tentang apa yang terjadi pada Alam."Iya Mbak, sialnya lagi barang itu di lemparkan mas Burhan kearah anjing liar, yang selalu berkeliaran karena kelaparan, maka habislah barang keramat Alam."Asma menutup mulutnya antara geli dan mual. Dia bergegas lari menuju ke kamar mandi."Lebai lu mbak, dulu aja mbak pasti suka main lonceng milik Alam."Ucap Lidya sembari tertawa cekikikan."Lidya tutup mulutmu, tak pantas bicara begitu pada saudari yang lebih tua."
Asma terdengar beristigfar. Membuat ibu dan adiknya menatap dengan cemas. Untunglah dia segera meraih gelas dan meminumnya air yang ada di dalamnya."Kenapa mbak?"Tanya Lidya dengan cemas."Tidak apa-apa, tapi masakan ibu sangat enak. Asma mau tambah lagi ikannya."Asma mengambil sepotong lagi ikan gulainya dan langsung menikmati dengan pelan. Mereka lalu menikmati makan malam itu dengan tenang.Tek ...Tek ....Tek ....Saat sedang membereskan meja makan. Asma dan Lidya mendengar ada yang mengetuk pagar, sang ibu yang hendak membuka pintu kamar, juga berhenti dan melangkah kedepan diikuti anak-anaknya."Intip dulu jangan main buka pintu, Ma."Asma menuruti ucapan ibunya lalu mengintip keluar, dia melihat dua orang pria. Salah satunya pak RT."Mau apa dia malam-malam kemari? Apa tak bisa besok saja, kalau memang ada masalah.?"Asma membuka pintu dan bergegas keluar menuju ke pagar. Ibu dan adiknya menunggu di depan pintu, tak lama Asma membuka pagar dan membiarkan tamunya masuk."Assal
Kedua pria itu segera keluar dari rumah Asma. Burhan menunggu Asma mengunci pagar, baru dia pergi meninggalkan rumah wanita itu."Dia wanita baik karena itu disaat terpuruk. Tuhan mengirim banyak orang-orang baik untuk menolongnya, sayang salah satu penolongnya harus patah hati, karena cintanya terhalang restu."Burhan menatap pak RT. Dia jadi penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada Asma. Setelah menikah dengan Alam."Pedih dan hampir tanpa ada kebahagiaan. Kami tak tau apa tujuan Alam menikahi Asma. Dia bahkan hidup dirumah orang tua Asma, tapi tak bisa membahagiakan istrinya. Dengan tega mengantar bayi mereka ke kampung untuk dirawat mertuanya."Burhan tak menyangka Alam benar-benar sekejam itu. Dia tak berubah sama sekali, apa mungkin ini pembalasan dendamnya, karena Asma adalah cinta pertama Burhan."Puncaknya saat Asma dipermalukan, saat lamaran Rika. Dari situlah Asma membalas semuanya sakit hatinya. Hingga membuat Alam kehilangan rumah sang ibu, lalu berlanjut ketika rumah
Hidup ku benar-benar sudah hancur sekarang. Tanpa senjata pamungkas ku, kini diri ini telah menjadi pria tak berguna."Kau tak perlu bersedih begini, Mas. Percayakan aku akan tetap berada di belakangmu, mendampingi selamanya."Ucapan manis Santi tak membuatku senang. Memangnya untuk apa dia bersamaku, kalau tak bisa melakukan hubungan selayaknya suami-istri."Sudahlah mas tak perlu sedih begitu. Ayo bersiap, mas sudah boleh pulang sekarang."Mendengar kata pulang aku kembali bersemangat. Sudah hampir seminggu, keluargaku tak ada yang datang menjenguk. Entah kenapa mereka tak ada yang datang. Bahkan tak ada kabar dari mbak Ani dan ibu."Aku pesankan taksi online dulu. Setelah itu kita turun, Mas."Aku mengangguk setelah mendengar ucapan Santi. Lalu melihat laci meja, baru sadar kalau dompet dan ponsel ku tak terlihat."Mana dompet dan ponselku, San?"Bukannya menjawab wanita itu justru menatapku dengan heran. Aku jadi bingung dengan tatapan matanya."Sejak datang kemari memang tak ada
ALAM :Aku berlari masuk kekamar tapi tak terlihat keberadaan ibu. Dimana wanita itu kenapa tak terlihat dimanapun."Assalamu'alaikum, Mas Alam."Aku bergegas keluar, setelah mendengar seseorang mengucap salam. Ternyata pak RT yang datang mau apa dia kemari."Ada urusan apa kau kemari pak RT? Warga kena musibah, bukannya diurus kau justru membiarkan saja."Aku melampiaskan emosiku, karena pria itu hanya dua kali datang, saat aku masuk rumah sakit. Dia seolah lepas tangan begitu saja."Mas sabar dulu, jangan kurang ajar pada pak RT."Aku melotot saat mendengar ucapan Santi. Bisa-bisanya dia menasehati aku didepan pria itu."Kau memang tak tau diri, Lam. Sebagai warga kau Selalu menyusahkan, aku bisa saja mengusirmu kapan saja, karena di sini kau hanya penyewa rumah bukan pemilik rumah. Jadi jaga bicaramu itu, aku datang untuk memberitahu, ibumu ada di panti jompo, karena tak ada warga yang sudi merawatnya. Makanya lain kali jaga prilaku, kalau ada masalah kan ada yang bantu."Panti jom
ALAM :Santi mendekat dan memelukku dengan erat. Entah apa yang dicari wanita ini, hingga setia bersamaku yang sudah tak sempurna ini."Secepatnya kita menikah kita minta bantuan pak RT," ucap ku pelan."Kau mau minta bantuan apa lagi, Lam. Hidupmu benar-benar menyusahkan ya."Aku dan Santi terkejut ternyata pak RT masih ada. Dia duduk menatap kami berdua sedari tadi."Sudah senang hidup bersama Asma. Kau berani membuatnya sakit hati, mungkin ini balasan atas kejahatan mu pada anak dan istrimu, Lam. Lihatlah betapa hancurnya hidup kalian semua."Aku mengusap wajahku. Pak RT berkata dengan nada ketus, tapi aku tau dia berkata benar. Bisa saja ini hukuman karena membuang wanita sebaik Asma."Tolong bantu aku menikah siri dengan Santi, pak RT. Ku mohon anggap ini sebagai permintaan terakhir."Aku menatap pak RT dengan tatapan memohon. Semoga dia mau membantuku kali ini."Terserah kau saja. Katakan apa yang harus aku lakukan, ingat ini terakhir kalinya kau menyusahkan aku."Aku tersenyum
"Selamat siang saudara Alam."Alam menatap pria yang berdiri di depannya. Dari postur tubuh dan tatapan matanya, dia tau itu penagih hutang."Iya, sebelumnya maaf kalau ini berurusan dengan hutang. Kalian tertipu sama sepertiku, seseorang mengambil identitas ku untuk meminjam pada kalian."Alam berkata pelan berharap pria di depannya mau mengerti."Itu bukan urusan kami, identitasmu yang masuk ke kantor, jadi kau yang bertangung jawab."Ucap Pria itu ketus."Apanya yang tidak bisa? Kalian yang ceroboh, kenapa menimpakan padaku? Sebaiknya pergi dari sini sebelum aku teriaki kalian rampok."Alam menunjuk pada segerombolan pria. Membuat para penagih hutang itu cemas juga."Ini belum selesai kami akan terus mengejarmu."Alam menarik napas karena Ani, dia harus menghadapi masalah seperti ini. Dia berpikir harus secepatnya mencari wanita itu."Tunggu dulu!"Para penagih hutang itu berhenti dan menatap Alam. Mereka ingin tau apa yang hendak di katakan pria itu."Kalau mau uang kalian kembali
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari